Minggu, 26 April 2009

Ulama Ahli Ibadah Juga Manusia

Manusia adalah manusia, seluas apa pun ilmunya, sedalam apa pun pengetahuannya, setinggi apa pun kemuliaannya, sekuat apa pun ibadahnya dan sebesar apa pun ketakwaannya, dia tetap manusia yang tidak akan pernah keluar dari lingkaran kemanusiaan. Sama dengan manusia lainnya, terjadi padanya apa yang terjadi pada manusia; marah, rela, suka, benci, sedih, bahagia, tertawa, menangis, benar, salah, takut, berharap, menerima, menolak dan seterusnya. Hal seperti ini tidak seorang pun terlepas darinya termasuk seorang ulama ahli ibadah.
Ini adalah salah satu kisah Bani Israil yang disampaikan oleh seorang yang masuk Islam di kalangan mereka. Kisah ini tentang seorang ulama Bani Israil yang istrinya meninggal dunia, maka dia memutuskan untuk menyendiri, menutup diri dari masyarakat karena kesedihannya yang sangat. Lalu ada seorang wanita yang nekad menemuinya. Wanita ini membuat perumpamaan yang menggambarkan keadaannya tanpa dia menyadari. Maka ulama ini bisa mengambil manfaat dari perumpamaan yang dibuat wanita itu. Dia membuang kesedihannya dan kembali bergaul dengan orang-orang.
Imam Malik dalam al-Muwattha' meriwayatkan dari Yahya bin Said dan al-Qasim bin Muhammad bahwa dia berkata, "Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mendatangiku bertakziyah. Muhammad berkata, "Di kalangan Bani Israil terdapat seorang fakih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia beristri, dia mengagumi dan mencintai istrinya. Istrinya wafat, dia sangat bersedih karenanya dan sangat menyesalinya sampai dia menyendiri di rumah dan menutup diri, menghindari orang-orang. Tidak seorang pun yang menemuinya.
Ada seorang wanita yang mendengarnya, dia mendatanginya dan berkata, “Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.” Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu, wanita ini berkata, “Aku harus bertemu dengannya.”
Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu bahwa ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata, “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu. ‘Alim itu berkata, “Suruh dia masuk.” Wanita itu masuk dan berkata, “Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.” Alim itu bertanya, “Apa itu?”
Wanita ini berkata, “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Wanita itu berkata, “Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.” Laki-laki itu menjawab, “Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya.” Wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu, apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu.” Laki-laki ‘alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini berguna baginya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya: Muwattha', Kitabul Janaiz Bab al-Ihtisab min al-Mushibah nomor 43. Syaikh Syuaib al-Arnauth berkata tentang hadits ini dalam Jami'ul Ushul (6/339), "Sanad kepada Muhammad bin Kaab al-Qurazhi shahih."

Syarah

Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mengunjungi al-Qasim bin Muhammad menghiburnya dalam rangka wafatnya istri. Maka Muhammad menceritakan kisah seorang laki-laki ahli ibadah dan agama dari Bani Israil yang ditinggal wafat oleh istrinya yang sangat dikagumi dan dicintainya. Maka laki-laki itu sangat bersedih. Saking sedihnya dia menyendiri, mengucilkan diri dari orang-orang dan tidak mau ditemui oleh siapa pun.
Datanglah seorang wanita yang hendak menemuinya meminta fatwanya. Wanita ini menunggu di pintunya. Dia menolak mengatakan masalahnya, dia ngotot harus berbicara langsung. Ketika dia bertemu, dia bertanya tentang suatu kaum yang meminjaminya perhiasan yang banyak dan baik. Dia memakainya dan meminjamkannya. Kemudian pemiliknya memintanya, apakah dia wajib mengembalikannya?
Laki-laki ini terkejut dengan sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat mudah, dia menjawab harus dikembalikan.
Padahal wanita ini hanyalah membuat perumpamaaan perhiasan yang dipinjam dengan istrinya. Istri berada di sisinya sebagai pinjaman dan semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan pinjaman. Harta, keluarga dan anak-anak. Allah pasti mengambil kembali titipanNya. Manakala wanita ini mengarahkan pandangan laki-laki itu kepada persamaan antara keadaannya dengan keadaan perhiasan pinjaman, maka dia tersadar dan mengoreksi kekeliruannya.

Faidah

1. Seorang ulama bisa lalai terhadap apa yang mereka ketahui dan mengerti sebagaimana alim fakih ini lalai terhadap kewajiban bersabar pada waktu turunnya musibah yang diketahui oleh semua orang.
2. Bahwa apa yang Allah ambil hanyalah apa yang Dia titipkan kepada kita. Dia adalah pemiliknya sejati, kapan Dia mengambil dan bagaimana Dia mengambil adalah terserah Dia.
3. Orang pandai lagi berakal agar menunjukkan kesalahan dan kelalaian orang lain seperti yang dilakukan oleh wanita ini terhadap alim itu. Ilmu dan pemahaman bukan monopoli kaum laki-laki saja. Tetapi dimiliki bersama. Wanita ini telah menyadarkan laki-laki alim.
4. Tidak ada halangan bagi wanita berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia jika dia bisa menjaga diri dari mudharat dan tidak terjerumus ke dalam hal yang diharamkan.
5. Pentingnya membuat perumpamaan. Perumpamaan menghilangkan syubhat, melenyapkan kesulitan, meluruskan orang yang melenceng dan memberi nasehat kepada orang yang sesat dengan cara yang halus namun mengena.
6. Menghibur orang-orang dengan berita orang-orang terdahulu yang sama dengan keadaan orang yang diberi nasehat. Wallahu a'lam.

Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Kepada Ulama Dan Adab-adabnya


Keutamaan

• Orang-orang sholeh itu dalam jaminan Allah. Siapa yang mengganggu mereka, akan dituntut oleh Allah SWT. (Muslim)
• Jangan meremehkan ulama atau orang sholeh. Barangsiapa meremehkan orang sholeh, lenyaplah (keutamaan) akheratnya. (Sofyan bin Uyainah Ra.)
• Jangan sekali-kali membenci ulama sholeh. Barangsiapa memusuhinya, Allah menyatakan perang dengannya. (Bukhari)

Mendatangi ulama

• Barangsiapa menziarahi ulama dengan ikhlas karena Allah, maka ia akan diseru, “Selamat bagimu. Selamat perjalananmu, dan selamat menjadi penduduk Surga”. (Tirmidzi)
• Barangsiapa duduk bersama ulama, maka akan bertambah ilmu ma’rifatnya. (Abu Laits Samarqandi)
• Diantara keutamaan menziarahi ulama adalah sabda Rasulullah SAW., “Orang-orang yang belajar dan hilir mudik ke pintu orang ‘alim, Allah mencatat baginya setiap huruf dan setiap langkah sama dengan ibadah satu tahun, dibangunkan untuknya sebuah kota di Surga, bumi senantiasa memohon ampun baginya dan ia terbebas dari adzab Neraka”. (Abu Laits Samarqandi)

Bergaul dengan ulama

• Tanda mencintai ulama adalah banyak bergaul dengan mereka. (Bukhari, Muslim)
• Bersahabat dengan ulama, mengakibatkan dibangkitkan bersama mereka di akherat. (Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)
• Barangsiapa mencintai ulama, berarti mencintai Rasulullah SAW. dan barangsiapa mencintai Rasulullah SAW., berarti mencintai Allah. (Abu Laits Samarqandi)
• Dianjurkan agar mendekati ulama yang mengajarkan kepada empat perkara yaitu:
1. Dari keragu-raguan kepada keyakinan
2. Dari takabur kepada tawadhu’ (rendah hati)
3. Dari permusuhan kepada nasehat
4. Dari rakus dunia kepada zuhud. (Abu Laits Samarqandi)
• Barangsiapa duduk bersama ulama, tetapi ia tidak bisa menghafal ilmu darinya Allah tetap akan memberinya tujuh kemuliaan, yaitu :
1. Keutamaan orang belajar
2. Terhindar dari dosa, selama ia duduk di majelis itu
3. Diturunkan rahmat, ketika ia mengunjungi rumah ulama itu
4. Diturunkan berkah padanya, selama mendengarkan ulama itu
5. Para malaikat membentangkan sayap baginya
6. Setiap langkahnya akan menaikkan satu derajat, menghilangkan satu dosa dan menambah kebaikan. (Abu Laits Samarqandi)
• Hendaklah bersabar dalam bergaul dengan ulama. (Al-Kahfi : 28)
• Dianjurkan agar meminta do’a istighfar dan nasehat dari ulama shalihin. (Muslim)
• Umara’ pun hendaknya senantiasa mendekati ulama dan meminta do’a dan istighfar dari mereka. (Muslim)
* Seperti Umar bin Khattab Ra. Meminta do’a dan istighfar dari Uweis Al-Qarni
• Hendaklah meminta kepada alim ulama sholeh agar nama kita disertakan dalam do’a-do’a mereka. (Abu Dawud)
• Dianjurkan agar berlindung kepada Allah dari ‘abid yang jahil, dan ulama yang fajir (pendosa). (Abu Sufyan)

Berkhidmad dan menghormati ulama

• Wajib menghormati ulama. Barangsiapa tidak menghormati ulama, bukan umat Rasulullah SAW. (Bukhari, Muslim)
• Sebaiknya jangan menduduki tempat yang biasa diduduki oleh ulama tanpa seizinnya. (Muslim)
• Tanda penghormatan dan cinta kepada seseorang (ulama) adalah mentaati ajarannya. (Ali Imran : 31)
• Dianjurkan agar sesering mungkin memberi makan kepada ulama sholeh dan bertaqwa. (Abu Dawud, Tirmidzi)
• Hendaknya mendahulukan mereka dalam pemberian. (Bukhari, Muslim)
• Sunnah memberikan tempat di belakang imam kepada ulama ketika shalat berjemaah. (Muslim)
• Hendaklah menahan diri ketika berbicara didepan ulama. (Bukhari, Muslim)
• Hendaklah mendahulukan ulama dalam menerima jenazah di liang lahat. (Bukhari, Muslim)

Tipe ulama

• Dianjurkan agar membedakan antara ulama dan bukan ulama dalam segi penghormatan. (Az Zumar : 9)
• Disunnahkan agar lebih mendahulukan yang lebih pandai dalam Al-Qur’an. Jika sama, maka yang lebih paham mengenai sunnah Rasulullah SAW., Jika sama, maka yang lebih dahulu berhijrah. Jika sama, maka yang lebih tua usianya. (Muslim)
• Hati-hatilah dan jauhilah ulama yang menjilat penguasa dan rakus terhadap dunia karena mereka adalah pengkhianat. (Abu Laits Samarqansi)

Kepada guru

• Ada tiga pandangan yang bernilai ibadah, yaitu :

1. Memandang muka orang alim
2. Memandang ka’bah
3. Memandang mushaf. (Abu Laits Samarqandi)

• Penuntut ilmu disunnahkan untuk selalu mendo’akan para ulama dan gurunya. (Ahmad bin Hambal)
• Tiga hal yang menjadikan ilmu seseorang bermanfaat :
1. Tawadhu’
2. Semangat belajar
3. Menjaga adab terhdap ulama. (Abu Nashr Samarqandi)

• Ilmu itu mesti didatangi. (Ibnu Malik).
* Artinya kita mesti mendatangi guru, bukan kita yang mengundang guru untuk mengajar kita.
• Hendaknya sering duduk dengan ulama dan sholihin. Dan jangan sering duduk dengan remaja, anak kecil, orang bodoh, karena hal itu dapat menghilangkan kewibawaan. (Abu Nashr Samarqandi)
• Empat hal yang dapat menambah kecerdasan akal, yaitu :
1. Meninggalkan perkataan sia-sia
2. Bersiwak
3. Duduk dengan orang-orang sholeh
4. Duduk dengan para ulama. (Al-Ghazali)

1 komentar:

  1. 1xbet korean【VIP】best live betting sites in Korea
    【www.xbet.co.kr】⚡️⭐, best live betting sites in Korea【Malaysia】 ⚡️⭐, best 188bet live betting 1xbet korean apps in India【Philippines】 ⚡️⭐, best jeetwin betting

    BalasHapus