Minggu, 30 Agustus 2009

Perlunya Semangat dan Keimanan

B
anyak kita lihat sekarang ini kejadian, orang tidak lagi melihat mana yang benar dan mana yang salah, malahan lebih mengutamakan untuk menang walau berbuat salah, sehingga orang mencari sesuatu dengan jalan pintas, dimana mana terjadi kekerasan, penipuan, perampokan dan pembunuhan, ini disebabkan oleh krisis keimanan, yang melanda kehidupan manusia.
Ditengah situasi krisis yang sesulit apapun, sesungguhnya hanya ada satu kunci yang hendaknya selalu kita pegang, yaitu Semangat.
Semangat memang satu kata yang sering hilang dari kamus hidup kita. Kalaupun tidak hilang, minimal cahayanya meredup. Redupnya semangat ini akan mengikis optimisme yang pada gilirannya akan berimbas pada kadar keimanan kita sebagai hamba kepada Khaliknya. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda “Al Imanu yazid wa yankus”. Artinya: “Iman itu naik dan turun”. Dengan naik dan turunnya keimanan manusia, maka berpengaruh juga naik turunnya kepada semangat diri kita. Karena itulah dalam hidup ini, semangat dan keimanan memiliki suatu hubungan yang sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan. Seorang yang sedang turun keimanannya pasti akan turun pula semangat untuk beribadah, belajar, berikhtiar mencari rejeki. Ataupun segala perbuatan yang baik dan bermanfaat lainnya. Begitu pula sebaliknya, jika keimanan kita sedang naik, maka kadar semangat kitapun akan menjadi naik, sehingga kita selalu optimis dalam menghadapi tantangan.
Beban hidup yang sedang kita hadapi bersama sekarang ini memang berat dan beraneka ragam bentuknya. Namun bagi kita umat Islam tidak boleh ikut hanyut akibat penderitaan ini. Terlebih sampai kehilangan gairah hidup atau pesimis memandang seolah-olah hidup ini semakin gelap. Kita harus mempunyai harapan hidup yang lebih besar atau bersikap optimis dan penuh keyakinan bahwa pertolongan dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah : Dalam surat Alam Nasyrah ayat 5-6 yang artinya
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Kita harus yakin bahwa sesulit apapun penderitaan kita, Allah pasti akan menolong apapun penderitaan hambanya. Asalkan kita masih memiliki iman dan selalu beramal shaleh disertai dengan kesabaran.
Dalam menghadapi kehidupan yang penuh goncangan dan kesengsaraan ini hendaknya kita selalu bersikap tegar, sabar dan lapang dada. Dalam satu Syair arab dikatakan ”Palaitaka tahlu, walhayaawatu mariirah, walaitaka tardha, wal’anaamu ghadbaan” artinya “Biarlah engkau bersikap manis walaupun hidup terasa pahit, dan biarlah engkou tetap ridho walaupun semua
manusia menunjukkan kebencian”.
Dalam kehidupan ini, bahwa tiap jiwa manusia membutuhkan makanan lahiriah dan batiniah, terkadang kita melupakan hal tersebut dan hanya mementingkan lahiriahnya saja.
Semangat dan keimanan adalah zat yang harus di isi kepada manusia untuk menaungi batiniah menjaga berbagai macam ibadah yang dapat menjadi obat dalam menghadapi krisis semangat dan keimanan.
Dapat kita lihat beberapa waktu yang lalu sering kita dengar alunan lagu “Tombo Ati” atau obat hati yang dinyayikan oleh Opick; yang dapat membetengi krisis Iman, yaitu :

1. Membaca Qur’an dan maknanya.
2. Mendirikan sholat malam.
3. Berkumpul dengan orang sholeh dalam
4. majlis ilmu.
5. Perbanyak puasa sunnah, dan
6. Berzikir pada setiap waktu.
Kalau ini kita terapkan dengan Ikhlas Insya Allah kerisis semangat dan keimanan secara pelan namun pasti akan hilang dari diri kita. Agar keimanan kita tetap terpelihara dan terjaga serta terus mengalami peningkatan kualitas, untuk memeliharanya dapat kita lihat dalam sabda Rasulullah Saw. yang artinya :
“Ada lima hal yang merupakan bagian dari keimanan, barang siapa di dalam dirinya tidak terdapat lima hal itu, maka ia tidak memiliki keimanan.

1. Ketundukan kepada perintah Allah,
2. Menerima ketentuan Allah.
3. Berserah diri kepada Allah, Tawakal kepada Allah, dan
4. bersikap sabar kepada ketentuan Allah”.

Menyadari kondisi kita sebagai manusia yang ada kalanya semangat dan keimanannya turun, maka Allah akan selalu menerangi hati kita dengan pelita kebenaran. Dan dengan kesadaran pribadi tersebut selanjutnya diaplikasikan dengan tertanamnya tekad dalam hati untuk memperbaiki diri kita sendiri.
Seseorang yang semangatnya terikat dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah memasuki samudra yang tak bertepi. Ia akan mendapatkan apa yang dicita-citakannya, meskipun cita-citanya teramat tinggi dan tubuhnya lemah. Semangatnya itu akan membuatnya, mengantarkannya untuk memperoleh sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh
tubuhnya yang lemah.
Betapa sering sesuatu (amal) yang sedikit menjadi bernilai banyak karena niat yang baik dan betapa sering sesuatu amal yang banyak menjadi sedikit (nilainya) karena niat yang buruk.
Jika ada seseorang mengaku bahwa dirinya berniat baik, maka perhatikanlah amalnya. Sebab, setiap amal akan menunjukkan niat pelakunya. Jika amalnya baik, itu menunjukkan bahwa niatnya baik, dan jika amalnya buruk, itu menunjukkan bahwa niatnya buruk pula.
Sesungguhnya Allah hanya memperhatikan semangat dan niat seseorang, barang siapa yang semangatnya tertuju untuk Allah, meskipun perbuatannya belum sesuai dengannya, maka dapat diharapkan suatu saat perbuatannya akan mengikuti semangatnya.
Seseorang yang semangatnya tertuju kepada kemaksiatan, kemudian dia berbuat kezaliman serta kemaksiatan dan pada saat yang sama lisannya berzikir kepada Allah, maka ucapan lisannya tersebut justru akan menjadi saksi yang memberatkan dirinya.
Sedangkan seseorang yang semangatnya tertuju kepada Allah, meskipun pada saat itu anggota tubuhnya masih melakukan perbuatan yang tidak diridhai, maka suatu saat anggota tubuhnya akan menjadi baik.
Barang siapa anggota tubuhnya taat kepada Allah, tetapi anggota tubuhnya tertuju kepada kemaksiatan, maka suatu saat anggota tubuhnya akan mengikuti semangatnya itu, karena itulah Rasulullah Saw. bersabda yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak memandang paras muka dan bentuk tubuh kalian, akan tetapi Dia mendang hati dan niat-niat kalian.”
Beramallah untuk Allah sesuai dengan kadar semangat dan niatmu dengan Ikhlas, karena Allah akan memberikan pahala sesuai dengan kadar semangat dan niat, bukan menurut kadar amal. Sebab gudang gudang Allah Ta’ala telah penuh dengan ibadah.
Ada Malaikat yang sujud sejak sebelum diciptakan dunia hingga hari kiamat, dan ada pula yang terus menerus rukuk, mereka semua menikmati zikir sebagaimana telah kita ketahui. Jika demikian adanya, lalu apalah artinya amal kita.
Dengan demikian jelaslah bagi kita, bahwa semangat dan keimanan harus dijaga, dan dirawat serta ditingkatkan kwaliatasnya, dengan sikap ketulusan kepada Allah Swt. Mudah-mudahan bathin kita akan menjadi tersinari dan tenang di dalam menjalani realitas kehidupan ini.

“Beban menyimpan rahasia lebih ringan dari pada perasaan hawatir akan terbongkarnya rahasia yang kau ceritakan kepada
orang lain”

Kejayaan Kita Yang Sesungguhnya

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan Allah, Kamipun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dengan seketika, maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa”. (Al An’am : 44)



T
erdapat banyak hadits yang menerangkan bahwa kenikmatan yang diberikan kepada orang yang tidak beriman disebabkan amal baik mereka atau penangguhan terhadap dosa-dosa mereka didunia ini. Siapa saja dari masyarakat yang tidak beriman yang melakukan perbuatan baik pasti cepat maju dan mewah, dan mereka ditangguhkan adzab atas dosa-dosa mereka, sedangkan orang-orang mukmin dikenakan adzab didunia ini atas dosa-dosa yang mereka buat.
Sebuah hadits menyebutkan ujian bala’ senantiasa bersama orang mukmin, dia diuji dengan dirinya, hartanya, anak-anaknya dan sebagainya, sehingga tertebus amalan-amalan buruknya dan dia meninggalkan dunia ini dalam keadaan bebas dari dosa-dosa. (Tirmidzi)
Penindasan, kezholiman, kelicikan dan pencabulan adalah perbuatan yang akan diperhitungkan didunia, baik orang Islam maupun non Islam. Begitu juga mereka yang mencemooh dan mengejek para Nabi dan Rasul Allah, mereka akan di adzab oleh Allah. Dalam keadaan begini Allah tidak akan menangguhkan hukuman keatas mereka. Beberapa peristiwa yang meriwayatkan kemusnahan kaum terdahulu yang telah diceritakan di dalam Al-Qur’an adalah bukti dan saksi yang nyata atas perkara ini. Bila suatu kaum jatuh atas sebab kezholiman, adzab dari langit datang menolong orang yang tertindas. Sesuai Firman-Nya : “Aku mendengar panggilan orang yang tertindas dan memperkenankan panggilannya, walaupun dia orang kafir. Maka dengan ini hendaklah kita semua sadar bahwa siapa saja yang menindas (tidak membuat keadilan), dia pada hakikatnya tidak menindas orang lain tetapi telah menindas dirinya sendiri.
Kejayaan bagi orang-orang Islam dan orang kafir tidaklah sama, Allah telah memisahkan mereka. Hanya kejahilan dan ketidak sadaran terhadap agama yang menyebabkan kita berfikir, apa saja yang memberikan kejayaan kepada orang-orang kafir akan membawa kesejahteraan orang-orang Islam juga. Tanamkan dihati bahwa tempat yang sebenarnya bagi mengadzab orang-orang kafir terhadap dosanya ialah di akherat dan kadangkala saja didunia disebabkan beberapa alasan tertentu. Bagi perbuatan baik yang mereka lakukan, maka Allah membalas didunia ini saja, tidak diakherat. Alasan ini adalah munasabah karena orang kafir tidak mengakui akherat maka mengapa pula menerima ganjaran diakherat.
Seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra. mengenai maksud surat Hud ayat 15. Beliau mengatakan bahwa harga amal kebaikan mereka dibayar dengan kesehatan dan kesenangan, dengan anak-anak dan harta. Tetapi ingat, ini tidaklah bermakna bahwa Allah wajib membayar (mengganjari) mereka didunia, hal ini di batasi dengan syarat yang telah diterangkan pada surat Bani Israil ayat 18, jika Allah menghendaki.
Said bin Jubair ra. telah memberikan penerangan yang sama terhadap surat Hud diatas. Amalan kebaikan mereka akan diganjari didunia ini. Qatadah ra. juga meriwayatkan bahwa Allah SWT. memberikan ganjaran keatas perbuatan baik mereka didunia ini dan apabila tiba hari akherat, tidak ada satu perbuatan baikpun yang belum diberikan ganjaran. Dan bagi orang-orang mukmin amal kebaikan mereka akan diganjari didunia ini dan (diatas keimanan mereka) diganjari juga di akherat. Mujahid rah. a mengatakan perbuatan baik orang kafir akan diganjari sepenuhnya didunia ini. Maimun bin Mehran mengatakan jika seseorang ingin mengetahui derajatnya dalam pandangan Allah mestilah melihat amalnya sendiri, karena dia akan mendapatkan hasil dari perbuatannya, apakah ia orang mukmin atau kafir. Orang mukmin diganjari didunia dan akherat, sedangkan orang kafir dibayar kembali hanya didunia ini.
Muhammad bin Ka’ab rah. a menyatakan bahwa orang kafir yang telah melakukan perbuatan baik walaupun sebesar zarrahpun pasti diganjari didunia ini melalui anggota badannya, keturunannya dan keluarganya yaitu melalui kesehatan badan dan kekayaan/keuangan sehingga apabila dia meninggal dunia ini, tidak ada satu perbuatan baikpun yang belum diganjari. Dan bagi orang Islam yang telah melakukan perbuatan maksiat walaupun sebesar zarrah akan diadzab didunia ini melalu anggota badannya, keturunannya dan keluarganya yaitu melalui berbagai penderitaan jasad dan keuangan sehingga apabila ia meninggal dunia tidak ada satu perbuatan maksiat yang belum dibalas dengan siksaan.
Sulaiman bin Amir ra. bertanya kepada Rasulullah SAW., ”Bapakku begitu menjaga hubungan keluarga, menepati janji dan melayani tamu dengan baik dan ramah. Apakah amalan ini akan memberikan faedah kepadanya?” Rasulullah SAW. bertanya, ”Apakah ia meninggal sebelum kedatangan Islam?” Beliau menjawab, ”Ya”. Rasulullah SAW. bersabda, ”Dia (bapakmu) tidak akan diberi ganjaran di akherat walau bagaimanapun, keturunannya akan mendapat faedah. Kamu tidak akan mendapat kehinaan, dimalukan atau kemiskinan disebabkan amal kebaikan yang dilakukan oleh bapakmu yang telah meninggal dunia”.
Berdasarkan penerangan diatas kita dapati sebagian orang kafir maju dan jaya didunia, padahal tidak terdapat amalan baik mereka. Ini mungkin disebabkan amalan baik dari leluhurnya. Dari Anas ra., Rasulullah SAW. bersabda, ”Siapa yang inginkan sesuatu sedangkan masih bergelumang dengan perbuatan maksiat maka dia tidak akan mendapat apa yang diinginkan itu. Hasil dari usahanya bertentangan dengan yang diinginkannya bahkan akan lebih dekat kepada apa yang ditakutinya (tidak diinginkan)”. Orang-orang Islam yang masih melakukan dosa-dosa dan perbuatan buruk yang mengharapkan kemajuan dan kemakmuran, akan senantiasa dinafikan dari itu, dan menginginkan kemewahan orang kafir dengan mengikuti jejak mereka, tanpa segan dan malu adalah asbab kegagalan.
Ada suatu adat bagi tentara Persia dan Romawi, apabila tentara mereka dapat menaklukkan musuh, maka mereka akan memenggal panglima perang musuh untuk dihantarkan kepada Raja atau Kaisar mereka sebagai tanda kebanggaan, kemasyhuran dan kegembiraan. Pada masa Khalifah Abu Bakar ra. dalam suatu peperangan dengan Romawi, tentara Islam dapat mengalahkan tentara Romawi dan memenggal kepala panglimanya untuk dihantarkan kepada Khalifah Abu Bakar ra. melalui Atbah bin Amir ra., menerima hal ini Khalifah menyesali dengan sangat akan perbuatan itu, Atbah bin Amir ra. berkata, ”Wahai pewaris/pengganti Nabi, mereka juga membuat kepada kami dengan cara yang sama”. Khalifah menjawab, ”Oh apakah kita akan mengikuti adat istiadat dan amalan orang-orang Roma dan Parsi, jangan bawa kepadaku kepala siapapun. Kitab Allah dan Sunnah Rasul sudah cukup untuk kita ikuti”.
Satu ketika Khalifah Umar bin Khattab ra. bepergian ke Syria terdapat tanah becek dan berair disatu jalan. Beliau turun dari untanya, menanggalkan sarung kakinya yang terbuat dari kulit dan meletakkannya diatas bahu, lalu berjalan dilumpur dan air tersebut sambil memegang tali unta ditangannya. Abu Ubaidah ra. berkata, ”Kamu telah melakukan sesuatu yang mana orang Syria sangat memandang rendah hal tersebut”. Umar ra. menepuk Abu Ubaidah ra. dan berkata, ”Jika ada orang selain kamu, yang menyatakan demikian, sudah tentu aku akan menghukumnya dengan hukuman yang dapat dijadikan peringatan. Kita dahulu hina dan Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan dengan selain Allah, maka Allah akan menghina kita”.
Kejayaan dan kemakmuran orang-orang Islam hanyalah terletak didalam mengikuti agama ini dengan sepenuhnya. Orang Islam dizaman awal telah mencapai mercu kejayaan dengan beramal agama sepenuhnya, siapapun yang mengetahui sejarahnya tidak dapat menafikkannya. Menentangnya dapat menjerumuskan kita kepada kehancuran dan kemusnahan didunia dan akherat. Walaupun berbagai konsep yang kita ajukan, beribu-ribu keputusan dibuat, berapapun terbitan artikel dan buletin disebar dan dibaca bila semuanya tidak menurut perintah Allah dan cara Nabi-Nya tidak akan mencapai kejayaan. Cuma hanya satu jalan saja mengikuti perintah Allah dengan menjalankan sunnahnya serta menjauhkan dari dosa-dosa dengan berpegang kepada agama-Nya saja. Disini marilah kita berfikir satu perkara lagi. Katakanlah pada masa ini Islam dihina, kesemua perintah-Nya dianggap kuno, ulamanya dianggap berpandangan singkat tetapi adakah suatu kebenaran bahwa orang tua kita dahulu telah menaklukkan beribu-ribu kota, meruntuhkan dua negara super power (Romawi dan Persia) waktu itu. Mereka juga telah mengilhamkan berjuta-juta manusia memeluk Islam dan mendirikan Daulah Islamiyah serta kerajaan Islam sesudahnya di berbagai kawasan, sedang mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Islam, dimanakah agama Islam saat ini, apakah hanya dikitab-kitab saja bukan pada umatnya.
Khalifah Abu Bakar ra. telah mengutus Khalid bin Walid ra. sebagai panglima perang untuk menaklukkan orang-orang murtad, nasihatnya pada waktu itu, ”Inilah kalimat Syahadat ..........., Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Barangsiapa menafikkan azas ini, hendaklah kamu berjuang menentangnya”.
Khalifah Umar bin Khattab ra. telah mengutus Atbah bin Ghazwan ra. sebagai panglima perang melawan Persia, ketika itu Beliau memberi arahan : ”Senantiasa menjaga ketaqwaan semaksimal mungkin. Berhati-hatilah menjalankan keadilan bila memberi keputusan. Dirikanlah shalat dimasa yang ditentukan, ingatlah kepada Allah dimana tempat dan memuji-Nya”.
Pada masa Abu Bakar ra. menjadi
Khalifah, terdapat satu peperangan besar yang masyhur di Ajnadin, panglima Romawi telah mengirim mata-mata yang berbangsa Arab untuk mengetahui kedudukan orang-orang Islam dan mempelajari arah atau gerakan orang-orang Islam sepanjang siang dan malam, sebagai orang Arab dia mudah saja bergaul dengan mereka. Berikut ini laporannya kepada panglima Romawi, ”Orang-orang ini Rahib (ahli ibadah) diwaktu malam dan Ksatria (penunggang kuda) diwaktu siang, yaitu sujud didalam shalat sepanjang malam dan diatas kuda sepanjang hari. Jika anak raja mereka sendiri mencuri sesuatu, tangannya akan dipotong demi keadilan dan jika dia sendiri melakukan perzinahan, ia juga akan dirajam dengan batu hingga mati”. Banyak peristiwa begini telah diriwayatkan didalam kitab-kitab hadits, inilah kenyataan (hakikat) yang mengagumkan hati orang-orang kafir. Setelah mendengar laporan mata-mata tersebut panglima Romawi itupun berkata, ”Jika apa yang kamu laporkan benar, maka lebih baik kita ditanam hidup-hidup didalam bumi dari pada menghadapi mereka diatas bumi”. Suatu ketika terdapat tahanan dari Romawi yang melarikan diri dari orang-orang Islam. Kaisar Romawi bertanya tentang keadaan orang Islam ketika orang tersebut ditawan. Dia menjawab, ”Bahwa orang-orang itu adalah Rahib (ahli ibadah) diwaktu malam dan Ksatria (da’i) diwaktu siang, mereka tidak mengambil sesuatu walaupun dari kafir dzimmi (orang kafir yang dilindungi) tanpa membayar harganya, bila bertemu mereka saling mengucapkan dan menjawab salam”. Kaisar Romawi berkata, ”Jika laporan itu benar, maka mereka akan menjadi raja-raja bagi kerajaannya”.
Semasa peperangan Antakia, Yazid bin
Abi Sufyan ra. mengirim surat kepada Khalifah Abu Bakar ra. memberi laporan : ”Puji-pujian bagi Allah dan sejahtera atas Rasul-Nya, daku merasa sukacita menyatakan bahwa Kaisar Romawi mengetahui akan penyerbuan kami kearahnya, Allah telah mengisikan kehatinya dengan ketakutan dan kegentaran dan dia mengelakkan pertempuran dan mengundurkan diri ke Antakia”. Sebagai jawabannya, ”Suratmu telah memberitahu akan kegentaran Kaisar Romawi dan pengundurannya ke Antakia. Sesungguhnya Allah telah menolong kita melalui Malaikat-Malaikat-Nya bila kita menyertai peperangan dibawah sunnah Rasulullah SAW. Memang sebenarnya kepada agama ini saja kita menyeru manusia dan atas sebabnya jua Allah SWT. telah menolong kita dengan menggentarkan musuh”.
Romawi mempunyai jumlah tentara yang sangat banyak sedangkan orang Islam terbatas. Amr bin ’Ash ra. memberitahu Khalifah Abu Bakar ra. mengenai keadaan tersebut, sebagai jawaban Abu Bakar ra. menulis, ”Kamu orang-orang Islam tidak akan dapat dikalahkan karena jumlah tentara yang sedikit, kamu pasti dapat dikalahkan walaupun jumlah tentara yang banyak dari musuh jika kamu terlibat didalam dosa-dosa”. Rasulullah SAW. telah menerangkan dengan sepenuhnya jalan yang membawa kepada kebaikan dan kemajuan atau jalan yang membawa kepada kemaksiatan dan kejatuhan. Orang-orang dahulu dari kita yang shalih (taqwa) telah mengikutinya dan telah berjaya, sedangkan kita tidak menyadari akan nilai sabdanya dan tidak pula mengambil pelajaran dari para pendahulu kita.
Wallahu a’lam.

MENGGAPAI KEBERKAHAN

Berkah atau barakah merupakan sebuah kata yang penuh makna. Dari zaman ke zaman, umat Islam berlomba-lomba untuk mencari keberkahan tersebut di dalam setiap segi kehidupannya. Ada yang mengharapkan keberkahan rezeki, keberkahan ilmu, keberkahan tempat dan sebagainya.
Dalam hidup ini, setiap manusia tentu ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya. Karena itu, kita selalu berdo’a dan juga meminta orang lain mendoakan agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Secara harfiah berkah memiliki arti “tumbuh dan bertambah”. Dengan pengertian lain keberkahan adalah kebaikan yang bersumber dari Allah semata, yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya, sehingga apa yang kita peroleh dan kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak memperoleh keberkahan.
Allah SWT tidak memberikan keberkahan kepada semua manusia, Dia hanya akan memberi keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa kepanya. Janji Allah untuk memberikan keberkahan kepada orang yang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firmannya yang artinya. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.(Al-A’raf :96).
Keberkahan disebutkan juga dalam Hadis Rasulullah Saw. yang artinya :
“Ya Allah, berkatilah buah-buahan kami, berkatilah kota kami, berkatilah takaran sha’ kami dan berkatilah takaran mud kami.” (HR.Muslim).
Dari ayat dan hadis di atas membuktikan bahwa berkah sangat penting dan dibutuhkan. Jika Allah memberikan keberkahan kepada sesuatu, maka sesuatu itu akan mendapatkan kebaikkan yang banyak dan berkesinambungan. Karena manfaat berkah sangat besar, maka umat islam dari zaman kezaman berusaha mencari keberkahan tersebut dalam setiap celah kehidupan.
Apabila manusia baik secara pribadi, maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah SWT, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperoleh cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupannya. Disinilah letak pentingnya bagi kita memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya.
Keberkahan tidak semata diukur dengan banyaknya harta benda yang kita miliki, banyak harta belum tentu berkah, sebab justru bisa mendatangkan malapetaka bagi kita. Bahkan, para ulama membagi keberkahan dalam tiga bentuk, yakni diantaranya :
Pertama, berkah dalam keturunan, yakni dengan lahirnya generasi yang sholeh. Generasi yang kuat imannya, luas ilmunya dan banyak amal sholehnya, ini merupakan suatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang berkualitas yang merupakan dambaan bagi setiap manusia.
Kedua, berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk kebaikkan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun memperbanyak amal saleh, karena itu Allah menganugrahi kepada kita waktu, baik siang maupun malam Sudah begitu banyak manusia yang mengalami kerugian dalam hidup, karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sementara salah satu karakteristik waktu dengan baik, adalah tidak akan bisa kembali lagi. Karena itulah, setiap kita harus mengimani kebenaran Al-Qur’an yang merupakan wahyu dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik berhasil ditempuh dengan penggunaan waktu yang efisien dari Allah, sehingga tidak akan kita temukan kelemahannya didalamya, selanjutnya kita membaca serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa
Ketiga, keberkahan dalam soal makanan yakni makanan yang halal dan baik, yaitu halal jenisnya dan juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak menghalalkan segala cara dalam mencarinya untuk memperoleh nafkah. Disamping itu, makanan yang diberkahi juga adalah halal atau baik, yakni yang sehat dan bergizi, sehinga makanan yang halal itu tidak hanya mengenyangkan tapi juga untuk menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Karena itulah, agar apa yang kita makan juga membawa keberkahan yang lebih banyak lagi, meskipun telah halal dan baik. Makanan itu harus dimakan sewajarnya atau secukupnya, karena itu Allah sangat melarang manusia berlebih-lebihan dalam makan maupun minum.
Jika sekelompok orang makan bersama sekedar menghapus rasa lapar dan tidak dengan rakus serta masing-masing mengutamakan yang lain; masing-masing tidak marah ketika temannya makan lebih banyak darinya, maka mereka akan diberkati.
Diceritakan bahwa sejumlah orang saleh pada suatu malam makan bersama dalam sebuah jamuan yang mereka adakan. Di dalam hati masing-masing telah berniat untuk mengutamakan temannya, tanpa sepengetahuan yang lain. Saat hendak makan, tiba-tiba lampu padam. Merekapun duduk dihadapan hidangan yang telah disediakan, cukup lama sesuai waktu makan sembari bersandiwara seakan-akan ia sedang menyantap makanan yang terhidang. Ketika bangkit meninggalkan tempat makan tersebut, ternyata semua hidangan itu masih utuh, tidak kurang sedikit pun.
Dalam kisah lain diceritakan bahwa salah seorang sahabat mendapat hadiah sebuah kepala kambing, ia kemudian mengirimkan kepala kambing itu kepada temannya dan temannya tersebut menghadiahkan kepala kambing itu kepada temannya yang lain, dan temannya itu menghadiahkan kepada temannya yang lain pula, demikian seterusnya hingga kepala kambing itu kembali kepada orang pertama sekali menghadiahkannya. Mereka melakukan semua ini, padahal mereka semua sangat membutuhkannya.
Demikianlah keindahan orang-orang yang terdahulu bisa berbagi dan apa adanya. Adapun orang saat ini, seorang yang mempunyai makanan yang sangat berlebih, dan mendengar seorang miskin meminta sesuap makanan, ia tidak memberinya apapun, malah kalaupun diberikannya disertai dengan sumpah serapah yang menyakitkan.
Mengutamakan orang lain dan membantunya merupakan dua hal yang berbeda. Ketika kita dalam keadaan membutuhkan, kemudian kita memberikan semua yang kita miliki kepada orang lain, yang sedang dalam keadaan yang membutuhkan juga. Sedangkan kalau kita dalam keadaan membutuhkan, kemudian kita memberikan sebagian yang kita miliki kepada orang lain, maka kita disebut sebagai membantu orang lain. Disinilah perlunya kita sesama umat islam dibutuhkan saling membantu satu dengan yang lainnya, agar kehidupan kita dimasa sulit dapat teratasi, dan bagi orang-orang yang memiliki kelebihan, dapat mensedekahkannya kepada saudara-saudara kita yang membutuhkanya.
Bagi kita kita umat islam, Al-Qur’an merupakan sumber keberkahan, sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek kehidupan, niscaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Setelah membaca uraian singkat ini, semoga kiranya kita kian menyadari bahwa keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu, untuk memperolehnya ternyata harus dengan berdoa dan berusaha secara bersungguh-sungguh, yakni dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa, serta selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dalam hidup ini. Semoga bermanfaat
“Barang siapa menempatkan dirinya dihadapan Allah seperti budak didapan tuannya, maka dia akan meraih semua kesumpurnaan”

Keutamaan dan Faedah Tauhid

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Al An’am : 82)

S
ahabat Abdullah bin Mas’ud ra. menerangkan, ketika ayat ini dinuzulkan terjadilah keragu-raguan dikalangan kaum muslimin. Mereka berkata : Siapakah diantara kita yang tidak melakukan kezhaliman atas diri sendiri.
Sehubungan dengan pertanyaan para sahabat itu maka Rasulullah SAW. bersabda : “Maksud kezhaliman itu adalah syirik. Belumkah kamu mendengar nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya, Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. (Bukhari, Muslim)
Ayat diatas memberi berita gembira bagi orang-orang yang beriman, yang meng-Esa-kan Allah secara murni, yang tidak mencampur adukkan keimanan dengan kesyirikan, mereka akan memperoleh keamanan dan ketentraman dari Allah di akherat.
Seseorang berada dalam hukum kemanusiaannya, apabila tidak dalam pemeliharaan-Nya, tentu akan tergelincir. Berada dalam kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah SAW. bersabda : ”Siapa saja bersaksi dengan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba, utusan-Nya. Isa adalah hamba, utusan dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada Maryam dan ruh yang diutus dari-Nya dan Surga itu benar, Neraka itu benar, maka dia berhak masuk Surga. Allah akan memasukkan dia kedalam Surga sesuai amal perbuatannya.
Dalam hadits qudtsi Allah SWT. berfirman, Wahai anak Adam, walaupun kamu berbuat dosa sebesar isi dunia, kemudian kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu, niscaya Aku akan mendatangkan ampunan yang memenuhi dunia pula untuk mengampuni dosa-dosamu. (Tirmidzi)
Dengan demikian betapa pentingnya tauhid bagi kehidupan seorang muslim. Dengan bertauhid ia akan mendatangkan ampunan. Disamping mengenai keutamaan tauhid tersebut maka tauhid memiliki faedah-faedah, manakala tauhid itu benar-benar diupayakan, direalisasikan dalam kehidupan baik secara individu (perseorangan) maupun secara jemaah.
Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya hakikatut Tauhid, tauhid akan membuahkan buah yang manis dalam arti kehidupan ini.
Tauhid akan memberikan buahnya antara lain :
1. Memerdekakan seseorang dari beribadah dan khudu’ (merendahkan diri) selain Allah. Tauhid akan bisa memerdekakan akal pikiran seseorang dari bentuk khurafat. Memerdekakan kehidupan dari perangai ke-Fir’aun-an.
2. Menjadikan kepribadian penuh hiasan. Tauhid bakal memberikan arahan hidup yang jelas. Ia tidak terombang ambing oleh berhala-berhala yang dipertuhankan oleh musyrikin. Orang yang bertauhid hanya dipenjara oleh syariat Islam saja. Mereka bertauhid mau dipenjara aturan-aturan Allah saja.
3. Dalam Al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Yusuf AS. yang telah berkata : ”Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang lebih baik, Tuhan-Tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (Yusuf : 39).
4. Tauhid sumber ketentraman umat manusia. Sebab pemiliknya akan dipenuhi ketentraman dalam jiwanya. Tidak ada rasa takut, kecuali hanya kepada Allah SWT. Semua lobang rezeki telah tertutup dan hanya kepada Allah saja mereka sandarkan semuanya.
5. Tauhid sumber kekuatan jiwa. Tauhid memberikan kekuatan jiwa kepada pemiliknya. Mereka hanya berharap dan bertawakkal kepada Allah. Mereka ridho dan sabar atas ketentuannya maupun musibah-Nya. Orang-orang yang bertauhid akan senantiasa berpegang teguh kepada sabda Rasulullah SAW. : ”Apabila kamu meminta sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila kamu minta pertolongan, maka mintalah kepada Allah semata”. (Tirmidzi). Jangan sampai kita selalu menyembah-Nya di dalam shalat tetapi keseharian kita malah minta kepada selain-Nya, dalam surat Al Fatihah disebutkan ”hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan”, meminta kepada batu, jenis uang lama (uang Soekarno) untuk kesembuhan penyakit dan lainnya merupakan kesyirikan yang berat disis Allah, karena semua itu merupakan tipuan Iblis untuk menjerumuskan manusia kedalam kebinasaan. Memang pengobatan melalui tipuan Iblis dapat juga mengalami kesembuhan, karena semua permintaan Iblis dikabulkan-Nya, jangankan minta kesembuhan minta panjang umur sampai yaumul Qiyamahpun dikabulkan Allah.
6. Mereka selalu mengingat firman Allah SWT. Artinya : ”Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkan melainkan Dia sendiri”. (Al An’am : 17)
7. Tauhid juga merupakan dasar fundamental persaudaraan dan persamaan hak. Karena Allah SWT. saja merupakan sentral peribadatan.

Itulah buah-buah tauhid yang mesti kita panen sebagai konsekuensi logis, bahwa kita telah menyatakan diri sebagai muslim dan terus berupaya menyuburkan iman dan Islam dalam dada, sehingga mencapai derajat insan muttaqin.
Wallahu a’lam

Menjaga Hati

H
akikat kualitas hidup manusia dimulai dari hatinya, Karena itu disebutkan bahwa hati itu adalah kekuatan inti manusia. Dia adalah sekerat daging yang mampu mengalahkan kekuatan Jasad. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Ingatlah dalam jasad itu ada segumpal daging, jika dia baik, maka baiklah jasad seluruhnya, Jika ia rusak, maka rusaklah jasad itu seluruhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Hadist tersebut menunjukkan betapa pentingnya posisi hati dalam tubuh manusia. Dia tidak hanya sekedar daging, tetapi juga penentu aqidah, penentu budi pekerti, dan penentu segala keputusan dalam hidup kita. Kegundahan hati yang disebabkan oleh problematika hidup yang penuh dengan konplik, persoalan dan tantangan, bisa menyebabkan hati kehilangan cahayanya. Ketika ini terjadi, maka besar kemungkinan kita akan menjadi gagal melampaui ujian hidup.
Ketahuilah, ada hati yang hidup dan ada pula hati yang mati. Tanda-tanda hati yang hidup adalah bersinarnya cahaya akal, sehingga dada menjadi lapang dan gelora nafsu menjadi padam, tunduk, dan lemah, karena pengaruh hawa nafsunya tidak berfungsi lagi. Sebab, jika akal kuat, hawanya menjadi lemah. Rasulullah SAW. bersabda “Setelah menciptakan akal, Allah berfirman kepadanya, ‘Menghadaplah!, Akal menghadap. Allah berfirman lagi kepadanya, Berpalinglah!, Akal berpaling. Kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Diamlah!, Akalpun diam. Setelah itu Allah berfirman, ‘Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan satu ciptaan pun yang lebih kucintai darimu. Dan Aku pasti akan meletakkanmu pada diri makhluk yang paling Kucintai. Denganmu Aku mengambil dan denganmu Aku memberi.’ Setelah itu Allah menciptakan kebodohan, dan berfirman kepadanya, ‘Menghadaplah!’ Ia berpaling. Allah berfirman kepadanya, ‘Berpalinglah’ Ia menghadap. Allah berfirman kepadanya, ‘Diamlah!’ Ia tidak mau diam. Allah kemudian berfirman, ‘Demi keagungan dan KebesaranKu, tidak kuciptakan suatu ciptaan pun yang lebih Kubenci darimu, dan Aku pasti akan meletakkanmu pada makhluk yang paling Kubenci.”
Ketahuilah, hati ini seperti rumah, jika dihuni akan tampak hidup, dan jika tidak, akan rusak karena tak akan terawat dengan baik. Dzikir dan ketaatan merupakan penghuni hati, sedangkan kelalaian dan maksiat adalah perusak hati. Barang siapa lebih banyak berdzikir dan melakukan ketaatan, akan semakin hidup hatinya. Dan barang siapa lalai dan sedikit zikirnya akan mati dengan sendirinya.
Adapun hamba yang hatinya hidup, kita akan melihatnya dicintai masyarakat, berada dalam kesenangan, tenang hatinya, baik perbuatannya, dan berwibawa penampilannya karena cahaya Allah yang memancar dari tubuhnya. Dengan hanya melihat hamba tersebut, jiwa merasakan kenikmatan, Allah SWT. berfirman artinya : “Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (AQ.Al-Hadid 21)
Adapun orang yang hatinya mati, kita akan melihatnya murung, perbuatannya buruk, tidak pernah merasakan ketergantungan dalam keadaan apapun, diliputi kesedihan dan kebencian, tunduk pada nafsu sehingga orang itu menjadi buta dan tidak dapat melihat aib-aibnya. Keadaan ini membuat hati menjadi bingung dan tidak tenang.
Kematian hati, kadang kala diakibatkan oleh sebab-sebab pembawaan, dan kadang-kadang oleh sebab-sebab yang lain yang menyelimuti kehidupan manusia. Adapun hati yang mati karena sebab pembawaan adalah hati yang keras, tidak kan khusyu’, tidak memiliki rasa kasih sayang. Manusia yang berhati seperti ini memiliki fitrah yang buruk, tidak mempunyai kesenangan batin, menyukai keramaian, tidak suka menyendiri, gemar omong kosong dan suka melakukan perbuatan yang sia-sia. Dari itu kita perlu menjaga hati dan nurani, dari berbagai bisikan buruk dan fikiran yang tidak baik. Hati seorang penuh hikmah adalah gudang harta dan sandaran dirinya, setiap kali terlintas dalam fikiran-fikiran buruk, segera dihilangkan dan dialihkan ketempat yang lain dan bermanfaat.
Bisikan yang terbetik dalam hati, sangat beragam, jika tidak segera dihapus, bisikan itu akan melekat kuat dan melahirkan hal-hal yang membahayakan, seperti amarah dan syahwat.
Membersihakan hati dari bisikan dan fikiran yang tidak bermanfaat, harus kita jaga seperti kita menjaga lisan kita, dari ucapan yang tidak pantas untuk diucapkan.
Karena liku-liku kehidupan yang kita lalui adalah semu. Goresan liku kehidupan yang menempel di dalam hati, bisa menyebabkan kehilangan kalbu, Jika hati menjadi gelap, tidak mungkin dapat memancarkan cahayanya, Sinar keimanan tidak dapat menembusnya, Indra keenam akan menjadi tumpul.
Agar hati dan Indra keenam dapat bercahaya, dan dapat mengenal keajaiban-keajaiban Allah. Maka yang harus diperhatikan adalah goresan tentang dunia yang dipandang oleh mata yang kemudian menempel di dalam hati haruslah disingkirkan. Hal itu merupakan belenggu nafsu. Selama nafsu membelenggu hati, maka jangan diharapkan dapat sampai kepada Allah. Orang yang mengharapkan ilmu dari Allah, yang mana dengan ilmu itu dapat menyingkap segala hal yang gaib, haruslah bertaubat dan bertaqwa. Orang yang bertaqwa tidak mungkin melakukan perbuatan buruk dan rendah. Karena taqwa dan perbuatan buruk (maksiat) merupakan dua hal yang bertolak belakang. Maka, mustahil dua hal itu dapat bertemu.
Oleh karena itu, janganlah kita menuruti keinginan-keinginan yang melantur tinggi selangit. Keinginan yang bermuara kepada penguasaan harta benda, kenikmatan dan jabatan duniawi. Jika kita mengumbar keinginan yang sejatinya memiliki nilai rendah itu, maka tak mungkin dapat menggunakan indra keenam yang untuk menyingkap perkara ghaib.
Nafsu memang karunia Allah yang diberikan kepada makhluk yang bernama manusia, tetapi kita harus menjaga sang nafsu dan mengendalikannya, agar tidak terbebaskan dengan begitu saja.
Jika diumpamakan, nafsu itu seperti kuda tunggangan yang liar, yang harus dipegang terus talinya oleh si joki atau diri kita sendiri itulah yang akan diminta pertanggung jawaban kelak dihari kiamat nanti. Ingatlah kita harus menjaga hati kita, tidak mengumbar syahwat terhadap harta, maka kita akan diperbudaknya. Semakin lama makin menggiurkan, sekaligus membutakan mata hati kita, tujuan hidup kita, mungkin akan membelok kepada mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Padahal sebelumnya hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup sekeluarga. Akan tetapi, setelah semua itu terpenuhi, tiba-tiba saja kita ingin mengumpulkan lebih banyak, dan lebih besar lagi.
Jika seseorang merasakan dalam dirinya terdapat ajakan untuk melakukan ketaatan dan seruan untuk membenci kemaksiatan, maka hatinya memiliki cahaya. Cahaya ini akan membimbingnya. Ia bagaikan lampu yang menyala dalam rumah yang gelap. Seandainya tidak ada lampu, maka benda yang paling dekat dengannya ia tak akan mampu melihatnya. Jika cahaya hati tersebut telah bersinar kuat dihati, maka sinarnya akan menjalar hingga ke anggota tubuh.
Dikisahkan bahwa suatu hari seorang ahli bekam mengundang sejumlah orang saleh untuk menyantap hidangan. Dan tanpa sepengetahuan mereka, hidangan yang disajikan ternyata haram. Kendati telah berulang kali berusaha, ternyata mereka tidak dapat menjulurkan tangannya, untuk menikmati hidangan tersebut. Akhirnya mereka meninggalkan rumah ahli bekam itu tanpa memakan apapun.
Demikianlah, hati yang terjaga dan terpelihara, dan bercahaya dan cahayanya dapat menerangi kehidupan.
“Barang siapa yang tidak merasa cukup dengan sedikit harta yang dia miliki, maka harta yang banyakpun tidak akan pernah membuatnya puas. Barang siapa tidak mengamalkan sedikit ilmu yang dia miliki maka ketika memiliki ilmu yang banyak pun dia tidak akan mengamalkannya”
Wallahu a’lam

Keutamaan Da’wah dan Perjuangan Agama

H
ari ini kehidupan kita kebanyakan telah jauh dari tuntunan agama. Semangat menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya telah melemah, kecintaan kepada agama telah memudar, sebaliknya cinta dunia semakin tumbuh subur. Sikap mementingkan diri sendiri telah merajalela, satu sama lain saling menghina dan membuka aib. Akibatnya umat ini telah kehilangan wibawa di mata dunia, sehingga kehinaan demi kehinaan menimpa umat ini.
Padahal dahulu masa Nabi SAW. dan sesudahnya (7 abad pertama hijriyah) umat ini paling berwibawa, disegani dan ditakuti oleh hampir dua pertiga dunia, apalagi dengan diruntuhkannya dua negara adi kuasa waktu itu (Romawi dan Persia). Namun saat ini semua telah hilang karena kita telah meninggalkan kerja utama Rasulullah SAW. (kerja da’wah dan perjuangan agama), sehingga hukum-hukum Allah tidak tegak dimuka bumi ini. Dahulu para sahabat telah mencapai kemuliaan di dunia dan di akherat karena telah menjadikan kerja da’wah dan perjuangan agama sebagai kerja utama mereka, sedangkan kerja-kerja lain hanya sebatas keperluan bukan maksud. Telah menjadi opini umum bahwa bila orang dahulu masuk Islam mereka langsung mengikuti perjuangan dan penyebaran agama yang suci ini.
Renungkanlah sabda Nabi SAW., ”Apabila kamu sekalian hanya mementingkan urusan perniagaan, kalian hanya sibuk menggembala lembu-lembu (peternakan), kalian senang dengan pertanian dan meninggalkan jihad (usaha da’wah dan perjuangan agama), maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tidak akan diangkat oleh Allah sehingga kalian kembali kepada agama kalian yakni kearah da’wah dan perjuangan agama”. (Abu Dawud)
Nabi SAW. telah bersabda ketika haji wada’, ”Laksanakanlah oleh kalian (segala yang datang) dariku, wahai hamba-hamba Allah ....................!”
Da’wah dan perjuangan agama adalah amalan yang paling utama dan paling mulia disisi Allah SWT. Pada zaman dahulu, tidak ada yang melakukan da’wah kecuali para Nabi dan Rasul. Akan tetapi salah satu tanda bahwa Allah SWT. memuliakan umat ini adalah dengan memberikan pekerjaan para Nabi yaitu da’wah.
Firman Allah SWT. : ”Sesungguhnya Kami menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya
saksi-saksi (hari Qiamat)”. (Mukmin : 51)
Allah SWT. memberikan do’a mustajab kepada orang yang da’wah dan memperjuangkan agama yang do’a tersebut dapat menyamai do’a para Nabi. Suatu ketika Nabi SAW. naik keatas mimbar lalu bersabda, ”Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT. berfirman kepada kalian, suruhlah manusia kepada yang ma’ruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum datang masanya dimana kalian berdo’a kepada-Ku, tetapi Aku tidak akan mengabulkan do’a kalian ; kalian minta bantuan kepada-Ku, tetapi Aku tidak akan membantu kalian”.
Asbab da’wah, Allah akan menjaga da’i (orang da’wah) dari fitnah. Fitnah disini maksudnya tidak adanya kejelasan mengenai yang haq sehingga terjerumus kedalam kesesatan tanpa ia sadari. Firman Allah SWT. : ”Sebagian dari mereka ada yang berkata, ”Berilah saya izin (untuk tidak pergi berjihad), dan janganlah kamu jadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”, ketahuilah, bahwasanya mereka telah terjerumus kedalam fitnah ....................... (At Taubah : 49)
Sebagian golongan munafik telah meminta izin kepada Nabi SAW. untuk tetap tinggal dirumah (tidak ikut berjihad), maka Beliau pun mengizinkan mereka, sedangkan Allah mengetahui apa yang ada di dalam dada mereka. Kemudian Allah membuka rahasia hati mereka dengan memberi penjelasan bahwa sesungguhnya fitnah itu dalam meninggalkan da’wah.
Dengan asbab da’wah juga, Allah akan memberikan kemuliaan terhadap orang yang melakukannnya tanpa membedakan di negara mana mereka berada. Usaha da’wah juga dapat menyatukan hati, sebagaimana firman Allah SWT. : ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran : 103)
Dengan sebab da’wah juga Allah akan menjadikan kehidupan seseorang baik laki-laki maupun perempuan tentram di dunia dan kesenangan yang abadi di akherat. Allah SWT. berfiman, ”Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”. (An Nahl : 97)
Amal-amal shaleh (hukum Allah) tidak akan wujud kecuali setelah adanya iman sedangkan iman itu sendiri didapat melalui usaha atas iman (da’wah dan perjuangan agama) sehingga Allah akan memberikan kehidupan yang sejahtera.
Dengan da’wah juga Allah akan memberikan khilafah (kekuasaan) di muka bumi dan memberikan keteguhan jiwa didalamnya. Sebagaimana telah kita dengar perkara-perkara tersebut telah dijanjikan oleh Allah dengan bersyarat, sesuai dengan firman Allah SWT., ”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diredhoinya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq”. (An Nur : 55)
Usaha da’wah merupakan thariqah (jalan) yang akan menyampaikan kepada amal shalih. Lalu apakah da’wah itu? Da’wah yaitu menyeru/mengajak manusia kepada Allah, sehingga manusia kenal kepada Allah, lalu disembahlah Allah dan ditaatilah perintah dan hukum-Nya. Perintah-Nya diutamakan sebelum perintah yang lain, dan ketaatannya juga lebih diutamakan sebelum ketaatan pada yang lain. Kenapa Allah mesti disembah? Karena Dialah yang menciptakan kita, yang memberikan rezeki, yang menghidupkan dan mematikan. Allah memiliki khazanah (gudang kekayaan) yang tak pernah habis. Allah SWT. berfirman : ”Siapakah yang memperkenankan do’a orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amatlah sedikit kamu mengingat-Nya”. (An Naml : 62)
Jadi kita harus menyembah Allah dan mengajak manusia agar menyembah Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Rib’i bin Amir ra., ”Kami adalah kaum yang diutus oleh Allah untuk mengeluarkan (membebaskan) manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada pencipta manusia
dan dari sempitnya dunia kepada luasnya akherat”.
Inilah maksud tujuan da’wah, yakni merealisasikan ’ubudiyah (penyembahan / peribadatan) kepada Allah diseluruh alam. Sedangkan tidak mungkin kita dapat beribadah kepada Allah kecuali bila kita berjalan diatas thariqah (jalan) Rasulullah SAW., Allah SWT. berfirman : ”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (An Nisa’ : 64)
Oleh karena itu, ibadah kita harus sesuai dengan cara dan petunjuk Nabi SAW. Dan mesti ditanamkan dalam hati kita fikir ke negeri akherat. Seluruh manusia akan mati, lalu dimasukkan ke alam kubur, dan keadaan alam kubur ini sesuai dengan amalan masing-masing. Bisa jadi berupa taman dari taman-taman Surga atau satu jurang dari jurang-jurang Neraka. Maka dalam setiap amal perbuatan kita hendaknya senantiasa dibarengi fikir akherat, tentang kubur dan segala kejadian di dalamnya.
Supaya yang haq ini tersebar ke seluruh alam, maka Allah memerintahkan kepada setiap muslim apapun keadaannya, apakah ia miskin ataupun kaya, semuanya wajib da’wah (sampaikan walau satu ayat). Allah SWT. tidak meletakkan syarat atau keahlian khusus untuk melakukan da’wah. Untuk da’wah perlu waktu sebagaimana orang yang kerja (mencari nafkah), dengan cara mendatangi umat diseluruh dunia bukan hanya mengajak orang ketempat kita atau menunggu diundang. Insya Allah hidayah akan tersebar keseluruh manusia, sehingga berjaya didunia dan akherat.
Wallahu a’lam

Klasifikasi Anak Menurut Pandangan Islam

”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kendaraan pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (pertanian/perkebunan). Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (Surga)”. (Al Imran : 14)


K
ehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan pelengkap ”elemen” sebuah rumah tangga, karena hadirnya buah hati tersebut akan dapat mempengaruhi status sosial sebuah keluarga di tengah masyarakat. Disamping itu dengan kehadiran anak dapat lebih mempererat ikatan perkawinan pasangan suami istri.
Sering kita dengar pasangan suami istri yang selalu gelisah setelah sekian lama menikah belum juga dikarunia seorang anak, sehingga tak segan-segan dengan berbagai cara ditempuh baik melalui perantara dokter, obat bahkan seorang dukun-pun didatangi guna mendapat pertolongannya.
Kenyataan ditengah masyarakat ternyata tidak semua anak yang terlahir dapat memberikan kebahagiaan terhadap orang tua, hal ini disebabkan perilaku serta sikap anak tersebut yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bahkan agama. Kondisi seperti ini tidak dapat sepenuhnya kita menyalahkan anak, mungkin kita sendiri yang membuat suatu kondisi sehingga terbentuk jiwa dan perilaku anak yang kurang beradab.
Pada awalnya seorang anak yang lahir kedunia ini sudah ditakdirkan dalam kondisi ”fitrah” suci dan bersih, namun kondisi lingkungan yang berada di sekelilingnya-lah yang akan mempengaruhi karakter anak. Keadaan lingkungan dapat mencakup lingkungan keluarga (kondisi keluarga), lingkungan tempat tinggal (masyarakat) maupun lingkungan pendidikan.
Sebuah mafhum hadits menyatakan, ”Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka orang tuanya-lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi dan Majudsi”.
Output setiap anak yang berbeda-beda tersebut seperti yang telah disebutkan hadits diatas, ternyata berasal dari pendidikan dan asuhan orang tua, yang tentu saja sangat menentukan karakter dan keberadaan anak itu sendiri. Apakah dijadikan hamba Allah atau justru anak yang ingkar terhadap Allah.
Berdasarkan Al Qur’an, maka keberadaan anak didalam keluarga maupun masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Qurrota a’yun (penyejuk mata hati)

”Dan orang-orang yang berkata, ”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah bagi kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Furqon : 74)

Pada tingkatan ini, posisi anak dapat ada dirinya terbentuk dari tiga struktur utama yaitu menjadi penyejuk mata hati, baik bagi orang tua, masyarakat dan mendapat ridho dari Allah SWT.
Pada dirinya terbentuk dari tiga struktur utama yaitu : pertama, fisik yang sehat serta struktur jasmani yang kuat ; kedua, otak serta pola fikirnya tidak hanya diisi dengan teori-teori ilmu keduniaan (ilmu matematika, kedokteran, sosial dan lain-lain), tetapi juga dipenuhi dengan ilmu keakheratan (ilmu tentang dosa, pahala, adanya Surga dan Neraka serta hal yang ghaib) ; ketiga, qolbunya atau jiwanya dipenuhi dengan ketauhid-an, ketaqwaan serta akhlak yang terpuji.

2. Ziinatul hayatiddunya (perhiasan dunia)

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhan serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Al Kahfi : 46)

Pada tingkatan ini posisi anak hanya menjadi suatu kebanggaan kehidupan didunia saja dan tidak tergolong dalam kategori anak yang shaleh, pada dirinya terbentuk struktur fisik yang kuat seperti pada tingkatan pertama tetapi kondisi otak serta qolbunya hanya berisi dan berfikir tentang kehidupan dunia tanpa memikirkan dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akherat. Sepintas orang awam menilai dia berhasil, padahal tergolong orang yang merugi.

3. Adduulakum (musuh-musuhmu)

”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At Taghabun : 14)

Pada tingkatan ketiga ini, posisi anak justru dapat menjadi musuh bagi orang tua maupun masyarakat dalam kehidupan dunia lebih-lebih kehidupan akherat. Pada dirinya terbentuk fisik yang sehat tetapi qolbunya hanya cenderung berfikir tentang dirinya sendiri. Apa yang menurutnya baik itulah yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.

Golongan anak pada tingkatan ini sangat membahayakan, sebab selalu menempatkan harga dirinya terlalu mahal, sehingga dalam fikirannya hanya dia sendiri yang benar tanpa mau mendengar nasehat maupun teguran dari pihak lain. Bahkan menutup kemungkinan justru kita yang akan terbawa arusnya yang selalu mengajak kearah perbuatan yang meresahkan dan mengarah kepada murka Allah SWT.

Selaku orang tua selayaknya berharap untuk mendapat anak dengan kategori ”qurrota a’yun” sehingga selain menjadi pelengkap isi keluarga juga mampu mengajak dan membimbing orang tua menuju jalan ke Surga. Untuk mendapatkan tingkatan anak tersebut sangat perlu dan harus mengarahkan dan membimbing anak sedini mungkin dengan pendidikan yang berbasis agama tanpa melupakan pendidikan umum.
”Pemberian terbaik seorang ayah kepada anaknya adalah pendidikan dan adab yang baik”, demikian sabda Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.

Anak Sholeh Idaman Orang Tua

Umur yang diberikan Allah kepada kita sangatlah terbatas. Kesempatan untuk beramal baik dibatasi oleh panjang dan pendeknya umur yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sehingga amal baik yang bisa kita lakukan hanya sebatas hitungan tahun selama hidup kita. Akan tetapi tidak berarti kita tidak bisa menambah amal ibadah setelah datangnya kematian. Rasulullah SAW. pernah bersabda :
”Apabila meninggal anak Adam, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga amal, yaitu : Shadaqah jariyah, Ilmu yang bermanfaat dan mempunyai anak yang shaleh yang mendo’akannya”.
Orang yang telah mati secara otomatis tidak akan bisa melakukan amal ibadah dan mendapatkan pahalanya, sebagaimana ketika ia masih hidup : shalat, puasa, zakat dan lain-lain.
Semua amal ibadahnya terputus kecuali tiga amal, yaitu :

1. Shadaqah Jariyah

Shadaqah Jariyah seperti menginfaqkan sebagian harta untuk keperluan agama terutama fasilitas peribadatan berupa masjid atau fasilitas pendidikan dan da’wah seperti sekolah agama atau pondok pesantren yang terus bisa dimanfaatkan oleh orang yang masih hidup.

2. Ilmu yang bermanfaat

Ilmu yang bermanfaat yaitu bagi orang yang mempunyai ide dan pemikiran keilmuan. Hal tersebut dapat dituangkan dalam sebuah buku, kitab dan lain-lain yang bisa diambil manfaat oleh generasi selanjutnya, atau secara aktif mengajar ilmu kepada murid-muridnya agar bisa diamalkan secara baik dan benar.

3. Mempunyai anak shaleh
yang mendo’akan orang
tuanya.

Hal yang termasuk bisa menambah amal seseorang meskipun ia telah meninggal dunia adalah anak yang shaleh. Amal baik yang dilakukan anak yang shaleh adalah laksana amal yang dilakukan oleh orang tuanya, karena bagaimanapun juga apa yang dilakukan si anak sehingga bisa melaksanakan shalat, puasa, haji dan amalan-amalan yang lain dengan baik dan benar, semua tidak lepas dari peran serta dan usaha orang tua.
Dalam beberapa kitab syarah hadits diterangkan, seandainya si anak tidak mendo’akan orang tuanya, tapi karena amal shaleh yang dilakukannya tetapi menyebabkan bertambahnya amal orang tua yang sudah meninggal.
Oleh karena itu tidak ada jalan lain meskipun umur dan kesempatan hidup kita sangat terbatas, kita masih tetap bisa beramal bahkan sampai pada hari kiamat dengan menjadikan anak dan keturunan kita menjadi anak yang shaleh dan shalehah.
Nabi Ya’qub AS. pernah berkata kepada putra-putranya, ”Apa yang engkau sembah setelah kematianku?” atau ”Bagaimana dengan ibadahmu setelah kematianku?” Bukan malah mengkhawatirkan bisa tidaknya si anak mencari makan atau harta duniawi dengan sebuah pertanyaan : ”Apa yang engkau makan setelah kepergianku?” karena hal itu sudah dijamin oleh Allah SWT. sebagaimana firman-Nya :
”Dan tidak ada suatu binatang melata di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
Pada zaman khalifah Umar bin Khattab ra. telah tertangkap seseorang yang minum pada bulan Ramadhan, ia jelas tidak berpuasa. Umar berkata kepadanya, ”Celaka kamu, padahal anak-anak kami selalu berpuasa”. Orang itu orang dewasa, tetapi tidak berpuasa sehingga didera delapan puluh kali deraan sebagai hukuman atas dirinya karena minum-minuman keras. Lalu ia diusir dari Madinah dan dikirim ke Syam.
Dari perkataan Umar bin Khattab ra. diatas dapat kita ambil ittiba’ bahwa anak-anak dizaman Beliau sudah terlatih dan terbiasa berpuasa. Semangat agama pada diri anak-anak waktu itu adalah hasil didikan orang tuanya.
Jika kita menginginkan anak-anak kita menjadi baik, mempedulikan dan mengamalkan agama dengan benar, maka sangat penting membiasakan pendidikan agama kepada mereka sejak kecil. Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan menjadi kesukaannya setelah dewasa.
Para sahabat ra. membiasakan pendidikan agama bagi anak-anak mereka sejak kecil dan menumbuhkan perhatian agama pada diri mereka. Sehingga setelah dewasa mereka menjadi pejuang-pejuang agama.
Sayangnya kita berbuat sebaliknya. Apabila anak kita terbiasa dengan perbuatan yang buruk kita malah membiarkan dan tidak berusaha mencegahnya. Kita mengatakan, ”Ah nanti jika besar akan menjadi orang baik”.
Padahal karena keburukan itu selalu dilakukan dan tertanam sejak kecil, maka ketika dewasa, keburukan itu tertanam kuat dan menjadi kebiasaan.
Apabila ini terjadi maka akan membawa kerusakan didunia, di akherat kita akan mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam.

Ibadah ; Jalan Rezeki Utama

Semula banyak orang berfikir bahwa hasil usaha dia adalah seukuran kerja, seukuran usaha, seukuran proyek, seukuran dagangan atau seukuran modalnya. Begitulah selama ini fikiran kita bekerja. Tidak pernah terfikirkan bahwa hasil usaha bisa diperbesar lewat jalan ibadah, dan jalan usaha bisa diperluas lewat jalan ibadah.
Banyak diantara kita yang tidak berani berfikir bahwa jalan ibadah bisa menambah dan memperluas rezeki. Padahal Al-Qur’an menyampaikan, ”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan permulaan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang bathil .....”. (QS Al-Baqarah : 185)
Petunjuk menurut ayat diatas termasuk petunjuk untuk mencari rezeki dari yang Maha Memiliki segala perbendaharaan rezeki.
Ada wacana ”Ibadah itu harus Ikhlas, tidak boleh beribadah karena dunia-Nya, harus karena wajah-Nya semata”, Firman Allah : ”Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS Al-An’am : 162)
Kalau kalimatnya seperti itu, siapa yang berani memberikan kritik. Namun orang-orang mencari dunia milik Allah lewat jalan ibadahpun tidak mesti juga serta merta dikatakan tidak ikhlas. Bagaimana kalau mereka secara cerdas memisahkan antara keikhlasan dalam ibadah dan do’a, memisahkan keikhlasan amal dan harapan. Artinya ketika mereka menjalankan ibadah, mereka tahu dengan ilmunya bahwa dengan beribadah, dunia akan Allah dekatkan, tapi pada saat yang sama, mereka beribadah sepenuh hati kepada Allah. Harapan pun dia gantungkan semata hanya kepada Allah. Bahwa dia menempuh jalan ibadah, sebab karena Allah dan Rasul-Nya memberi petunjuk demikian. Karenanya, harus percaya dan mengikutinya.
Firman Allah : ”Katakanlah, Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS Al-A’raf : 158)
Contoh salah satu bentuk ibadah adalah sedekah. Lalu Allah memberitahu bahwa kalau sedang disempitkan rezekinya, bersedekahlah. Nanti Allah akan buat apa-apa yang sulit, jadi mudah. Firman-Nya : ”Dan orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS Ath-Thalaq : 7)
Kalau kita sedang diberi nikmat kesulitan, percaya dan berkenan mengikuti dengan harapan agar benar-benar kesulitan kita dimudahkan Allah. Jalan-Nya yaitu jalan sedekah.
Salahkah kita ? Apakah kita disebut tidak ikhlas hanya karena beribadah karena berharap akan kebenaran janji-Nya.
Sedekah, shalat malam, memberi makan anak yatim, menyenangkan hati yang berduka adalah termasuk sebagai ibadah. Bila ibadah diperbaiki, maka kehidupan pun akan menjadi lebih baik lagi. Namun bila ibadah buruk yang akan terhidang, ibadah biasa saja, hidup pun akan biasa saja. Tidak ada istimewanya bagi yang tidak mengistimewakan Allah.
Bila nampak dunia yang bagus, tapi ditangan orang-orang yang tidak rajin ibadah, jangan buru-buru silau. Kiranya itulah kebaikan dari Allah, barangkali sebab ilmu dunia dan usaha orang itu sendiri. Namun dia hanya memiliki dunia-Nya, tidak memiliki keridhaan-Nya. Alangkah indahnya bila seseorang memiliki dunia dan juga memiliki Allah sebagai pemilik dunia. Itu bisa ditempuh dengan satu ayunan langkah ; ibadah. Tentu dengan memperluas seluruh cakupan ibadah yang dimaksud sebagai seluruh gerakan, rasa dan pikiran seorang hamba kepada Sang Khaliq.
Ibadah merupakan ikhtiar juga. Karena ia adalah pekerjaan yang membutuhkan kesediaan waktu, energi, biaya dan lain sebagainya. Inilah yang disebut bekerja dengan Allah dan untuk Allah.
Untuk bisa shalat malam kita harus lembur, mengorbankan waktu kita walau sekedar dua rakaat. Malah tidak sedikit yang menganggap pekerjaan tahajjud sebagai pekerjaan yang nambah beban keletihan setelah sepanjang hari bekerja. Padahal sekedar dua rakaat saja shalat tahajjud, ternyata bayarannya jauh lebih besar dari pada seorang karyawan bekerja seharian penuh. Mengapa, sebagai karyawan bekerja di siang hari dia bekerja untuk manusia. Sedang diwaktu malam, dia shalat malam, Allah menghitungnya sebagai ibadah. Ibadah artinya menghamba kepada Allah, maka pasti Allah akan ganti yang lebih besar daripada bekerja kepada manusia.
Siapa yang shalat malam dua rakaat maka Allah ganti dengan khoirum minad dunya wa maa fiihaa, maka lebih baik pahalanya (kebaikannya) disisi Allah daripada dunia dengan segala isinya.
Dalam mengerjakan ibadah, mengapa pula dapat membuat kita menjadi berkah? Sebab ada mata rantai ekonomi yang terjadi dalam satu praktek ibadah, sebut saja memberi makan anak yatim, bersedekah, shalat bersama anak yatim, banyak sekali rantai ekonomi yang terbangun dengan sendirinya, membeli makanan, menggunakan jasa tranportasi untuk kepasar dan untuk mengangkut anak-anak yatim, menyediakan pakaiannya dan masih banyak lagi.
Didunia ini ada dua pasar yang tidak ada matinya, yaitu pasar disekitar masjidil Haram di Mekkah dan pasar di sekitar masjid Nabawi di Madinah, dua-duanya hidup 24 jam. Mengapa demikian ? Sebab masjidnya hidup 24 jam, tidak ada matinya, karenanya seluruh rangkaian mata rantai ekonomi terbangun dan hidup pula, bisnis maskapai penerbangan, bisnis katering, bisnis perhotelan, bisnis pakaian dan lain-lain. Bahkan berkahnya dirasakan juga oleh negara lain ; Indonesia misalnya, jaringan hotel yang menjadi penginapan transit jama’ah, pesawat garuda dan seluruh keluarga besar karyawannya, katering lokal, transportasi bus yang mengangkut jama’ah dan pengiringnya ke bandara, produsen bahan pakaian dan aksesoris haji dan umroh, distributor bensin dan sebagainya. Apalagi kalau manusianya mau menjadikan segala sesuatu yang kita kerjakan sebagai jalan-jalan ibadah kepada-Nya, maka Allah akan betul-betul akan membayar kita dengan ridlo dan keberkahan-Nya. Amiin.
Wallahu a’lam

Keutamaan bulan Sya’ban

Nabi SAW. bersabda, ”Kelebihan bulan Sya’ban mengatasi semua bulan, adalah bagaikan kelebihanku mengatasi seluruh Nabi, dan kelebihan bulan Ramadhan mengatasi semua bulan, adalah bagaikan kelebihan Allah SWT. mengatasi para hambaNya”.
Nabi SAW. pernah berpuasa penuh pada bulan Sya’ban, sesuai dengan sabdanya, ”Allah SWT. menerima amal-amal seluruh hamba di bulan Sya’ban”.
Beliau juga pernah bersabda kepada para shahabatnya, ”Tahukah kalian kenapa bulan ini disebut dengan bulan Sya’ban? Shahabat menjawab, ”Hanya Allah dan RasulNya yang mengetahui”,
Kemudian Nabi menegaskan, ”Sebab kebaikan bercabang banyak pada bulan ini”.
Nabi melanjutkan sabdanya, ”Pada malam Nishfu Sya’ban, Jibril AS. datang kepadaku, katanya : Hai Muhammad, pada malam ini pintu-pintu langit/rahmat dibuka, untuk itu tegakkanlah shalat, angkatlah kepala dan kedua tanganmu ke langit (berdo’a). Aku bertanya : Hai Jibril, malam apakah ini? Jawabnya : pada malam ini 300 pintu rahmat telah dibuka, Allah mengampuni semua orang yang tidak musyrik, bukan ahli sihir, bukan dukun, bukan orang yang suka bermusuhan, bukan pemabuk arak, bukan pelacur, bukan pemakan riba, bukan pendurhaka terhadap kedua orang tua, bukan yang suka mengadu domba, dan bukan orang yang suka memutus silaturahmi, mereka semua itu tidak diampuni, hingga bertobat”.
Lafaz atau kalimat Sya’ban menyimpan makna sebagai berikut :

1. Syin, singkatan dari Syafa’atun yang berarti kemuliaan dan syafaat
2. ’Ain, singkatan dari Al-’Izzah wal Karomah yang berarti kemenangan dan karomah
3. Ba, singkatan dari Al-Birru yang berarti kebaikan
4. Alif, singkatan dari Ulfah yang berarti rasa belas kasihan
5. Nun, singkatan dari An-Nur yang berarti cahaya

Para Fuqaha’ berpendapat bahwa bulan Rajab untuk menyucikan tubuh, dan bulan Sya’ban untuk menyucikan hati, dan sedangkan bulan Ramadhan untuk menyucikan jiwa/ruh. Maka siapa yang menyucikan tubuhnya dalam bulan Rajab, insya Allah akan mudah menyucikan hatinya pada bulan Sya’ban, dan siapa yang dapat menyucikan hatinya pada bulan Sya’ban maka insya Allah akan mudah menyucikan jiwa/ruhnya pada bulan Ramadhan.
Disamping itu ada pendapat lain bahwasanya bulan Rajab untuk membersihkan dari segala dosa, bulan Sya’ban untuk memperbaiki hati dari cacat, dan bulan Ramadhan untuk menyinari jiwa/ruh sedangkan Lailatul Qadar untuk taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi SAW. bersabda, ”Siapa berpuasa 3 hari pada awal bulan Sya’ban, 3 hari pada pertengahannya, dan 3 hari pada akhirnya, maka Allah mencatat baginya seperti pahala 70 orang Nabi, dan bagaikan beribadah kepada Allah SWT. selama 70 tahun dan jika meninggal pada tahun itu akan dianggap seperti mati syahid”.
Nabi SAW. bersabda, ”Siapa mengagungkan bulan Sya’ban, bertaqwa kepada Allah SWT. dan taat beribadah kepadaNya, serta mengekang diri dari perilaku maksiat, maka Allah mengampuni segala dosanya, dan menyelamatkannya dari segala macam bahaya, dan macam-macam penyakit pada tahun itu”.
Nabi SAW. bersabda, ”Siapa yang menghidupkan dua malam hari Raya dan malam Nishfu Sya’ban, maka tidak mati hatinya ketika hati manusia mati”.
Telah membudaya di kalangan masyarakat, baik di kota maupun di desa, masalah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka timbullah banyak pendapat yang berbeda, diantaranya ada yang menerima dan ada yang menolaknya.
Namun yang benar adalah, bahwa orang mukmin pada malam tertentu boleh saja tekun beribadah seperti shalat,
membaca Al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a.
Adapun berhimpun pada malam Nishfu Sya’ban di masjid-masjid, atau ditempat lainnya untuk shalat sunnah Baraah berjamaah sebanyak-banyaknya, sebagaimana budaya sebagian orang, tidak dianjurkan dan tidak berdasar.
Begitu pula anggapan dengan adanya shalat berjamaah Nishfu Sya’ban, itu tidak ada dan hukumnya bid’ah qabihah yang wajib dijauhi. Sebab para fuqaha’ sepakat bahwa shalat Baraah hukumnya bid’ah atau mengada-ada dan tidak ada contohnya dari Nabi maupun para shahabat.
Menurut riwayat awal dari bid’ah itu terjadi sesudah 400 Hijriyah, sedang di masjdil Aqsho terjadi pada 440 Hijriyah. Menurut Imam Thurthusi hal itu terjadi ketika salah seorang pria datang ke masjidil Aqsho, pada malam Nishfu Sya’ban ia melakukan shalat, setelah takbir pertama, di belakang ada seorang makmum, lalu diikuti oleh orang kedua, ketiga dan keempat, hingga banyak sekali yang mengikutinya.
Alkisah pada tahun berikutnya, ia melakukan lagi shalat yang serupa, dan diikuti oleh orang banyak, akhirnya menjadi populer dan mereka tetapkan sebagai hal yang sunnah.
Pada dasarnya malam Nishfu Sya’ban sekalipun banyak hadits yang menguraikan keutamaannya, tidak berarti orang harus menetapkan berbagai amalan untuk mengagungkannya, apa lagi amal tersebut tidak ada contoh atau dasar dari Nabi SAW. Melakukan berbagai macam shalat seperti hajat, taubat, Tahajjud dan witir dianjurkan bukan hanya pada malam Nishfu Sya’ban saja. Adapun peramalan lain seperti membaca surat Yaasiin 3X, istighotsah dan do’a boleh-boleh saja asal amalan tersebut memang ada dan dicontohkan Nabi SAW. Wallahu a’lam
Kurun Shahabat
merupakan kurun terbaik Umat ini


Sesungguhnya kejayaan manusia di dunia hingga akherat hanya ada ditangan Allah SWT., yakni sejauhmana ia taat kepada Allah SWT. dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya. Dimana sunnah tersebut telah wujud pada ahlul bait dan para shahabat ra., baik shahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshor. Mereka para shahabat mengikuti Rasulullah SAW. secara sempurna dengan demikian Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun telah ridho kepada Allah.
Sesuai Firman-Nya, ”Orang-orang terdahulu dan awal masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah akan menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah : 100)
Mereka (para shahabat) adalah generasi pertama yang mendapatkan derajat tertinggi sebagaimana hadits Rasulullah SAW., ”Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian setelah itu, kemudian setelah itu lagi”. (Bukhari)
Para shahabat adalah bagian utama dari as salafush shalih, dan merupakan masyarakat terbaik. Mereka meyakini bahwa Allah menguasai seluruh makhluk, sebaliknya seluruh makhluk bergantung kepada-Nya. Dunia ini sebentar, sedangkan kehidupan akherat adalah selama-lamanya. Kehidupan dunia yang amat singkat tersebut menentukan kehidupan akherat yang abadi. Apabila manusia berbuat kebaikan dan mendapat ridho Allah maka dunia yang singkat ini akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang abadi di akherat kelak, akan tetapi sebaliknya bila di dunia ini hanya menumpuk kotoran dan dosa maka di akherat akan sengsara selama-lamanya. Kebahagiaan tidak ditentukan dengan adanya mal (harta) akan tetapi ditentukan dengan amal agama yang sempurna yang dengannya Allah Ridho.
Keyakinan tersebut tumbuh dari terwujudnya kemakmuran masjid Nabawi, yang didalamnya diajarkan dan dipraktekkan segala aspek kehidupan beragama. Dengan kemakmuran tersebut tercipta keimanan, ibadah, muamalah, mu’asyarah dan akhlak yang sempurna.
Disebabkan mujahadah masyarakat Yastrib (Madinah) dalam memakmurkan masjid supaya meningkatkan keimanan dan taqwa mereka kepada Allah SWT. maka Allah melimpahkan hidayah-Nya dan memberkahi masyarakat teladan ini dari langit dan bumi. Dengan makmurnya masjid Nabawi terciptalah Madinah Al Muanawarah, kota yang terang benderang penuh dengan cahaya hidayah.
Maka untuk membuat asbab hidayah dan tersebarnya hidayah (tersebarnya agana) telah dikirim ratusan jamaah-jamaah da’wah ke berbagai penjuru jazirah Arab dan negara luar. Rasulullah SAW. sendiri telah menyertai lebih kurang 25 jamaah baik yang dikirim untuk dakwah maupun perang fisabilillah.
Masyarakat Madani, masyarakat Qur’ani, masyarakat Islami yang senantiasa menjadi cita-cita kita hanya akan tercipta manakala kita mengikuti kebaikan masyarakat shahabat ini dengan menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan umat, kemudian menjadikan perjuangan agama sebagai bagian dari kerja kita, pengiriman jamaah dakwah mestinya tetap berlanjut sebagaimana dulu pernah terjadi.
Kaum muslimin Indonesia yang terpisah ribuan kilometer dari Madinah dan telah ditinggal 14 abad lebih oleh masyarakat Islam terbaik, as sabiqun al awwalun hendaknya menempuh jalan yang sama yang dengannya Allah telah Ridho. Wallahu a’lam

Risalah Ramadhan

Risalah Ramadhan (1)

Diriwayatkan dari Salman ra., dia berkata Nabi SAW. telah memberi khutbah pada akhir bulan Sya’ban, sabdanya : ”Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh berkah, bulan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Bulan yang didalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardhu dan bangun malam sebagai sunat. Barangsiapa mendekatkan diri didalamnya dengan melakukan amalan sunat maka pahalanya seperti orang yang melakukan amalan fardhu pada bulan lainnya. Dan barangsiapa melakukan amalan fardhu didalamnya maka pahalanya seperti orang yang melakukan 70 amalan fardhu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran dan pahala sabar adalah Surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambahkan. Barangsiapa pada bulan tersebut memberi buka kepada orang yang berpuasa maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, dan mendapat pahala yang sama tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang itu”.
Kami bertanya : ”Wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa”.
Beliau bersabda : ”Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi buka puasa meski dengan sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang awalnya penuh rahmat, tengahnya penuh ampunan dan akhirnya penuh kebebasan dari api Neraka. Perbanyaklah mengucapkan empat hal yaitu : Asyhadu anlaa ilaha illallah, astaghfiullah, as alukal jannah, a’udzubika minannar. Barangsiapa memberi minum orang yang berpuasa maka Allah akan memberinya minum seteguk air dari telagaku dimana ia tidak akan haus hingga masuk Surga”. (Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Ibnu Hibban)

1. Keutamaan bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra., Nabi SAW. memberi kabar gembira kepada para shahabatnya dengan bersabda, ”Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya ; pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan para syetan diikat ; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada 1.000 bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa”. (Ahmad, An Nasa’i)
Dari Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do’a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para Malaikat-Nya, maka tunjukanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah dibulan ini”.
Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu : bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah daripada aroma kesturi, para Malaikat memohonkan ampunan bagi mereka sampai mereka berbuka, Allah SWT. setiap hari menghiasi Surga-Nya lalu berfirman (kepada Surga) hampir tiba saatnya para hamba-Ku yang shalih dibebaskan dari beban dan derita serta menuju kepadamu, pada bulan ini para Jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak bebas bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan kepada umatku ampunan pada akhir malam”.
Beliau SAW. ditanya, ”Wahai Rasulullah apakah malam itu Lailatul Qadar”, Jawab Beliau SAW., ”Tidak, namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika menyelesaikan amalnya”. (Ahmad). Isnad hadits tersebut dha’if, dan diantara bagiannya ada nash-nash lain yang memperkuatnya.

2. Keutamaan puasa

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas 10X lipatnya bahkan sampai 700X lipat. Allah berfirman : kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari aroma kesturi”.
Perlu diketahui bahwa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah tidak dapat dicapai kalau tidak meninggalkan syahwat, sedangkan puasa merupakan salah satu jalannya. Untuk itu Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari)
Inti dari pernyataan ini, bahwa tidak sempurna bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang mubah kecuali setelah bertaqarrub kepada-Nya dengan meninggalkan hal-hal yang haram.
Jika seseorang dengan makan dan minum berniat agar kuat badannya dalam shalat malam dan puasa maka ia mendapat pahala karenanya. Juga jika dengan tidurnya pada malam dan siang hari berniat agar kuat beramal maka tidurnya itu merupakan ibadah.
Jadi orang yang berpuasa senantiasa dalam keadaan ibadah pada siang dan malam harinya. Dikabulkan do’anya ketika berpuasa dan berbuka. Pada siang harinya ia adalah orang yang berpuasa dan sabar, sedang pada malam harinya ia adalah orang yang memberi makan dan bersyukur.
Diantara syarat mendapatkan pahala puasa adalah agar berbuka puasa dengan yang halal. Jika berbuka puasa dengan yang haram maka ia termasuk orang yang menahan diri dari yang dihalalkan Allah dan memakan apa yang diharamkan Allah, dan tidak dikabulkan do’anya.
Orang mukmin pada bulan Ramadhan melakukan dua jihad, yaitu : jihad untuk dirinya pada siang hari dengan puasa dan jihad pada malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang memadukan kedua jihad ini, memenuhi segala hak-haknya dan bersabar terhadapnya, niscaya diberikan kepadanya pahala yang tak terhitung. (lihat Lathaa’iful Ma’arif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 163, 165 dan 183)

3. Kekhususan dan keistimewaan bulan Ramadhan

Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah : 183)
Sabda Nabi SAW. : ”Islam didirikan di atas 5 sendi, yaitu syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi Haji ke baitul Haram”. (Muttafaqun ’Alaih)
Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai taqwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah yang lainnya. Firman Allah dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW, ”Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi”. (Muttafaqun ’Alaih)
Dan sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Maka untuk memperoleh ampunan dengan puasa Ramadhan, harus ada dua syarat yakni mengimani dengan benar akan kewajiban ini dan mengharap pahala karenanya disisi Allah.
Pada bulan Ramadhan diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan berisi keterangan-keterangan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.
Pada bulan ini disunnatkan shalat Tarawih, yakni shalat malam pada bulan Ramadhan, Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa mendirikan shalat malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ’Alaih)
Pada bulan ini terdapat Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan, malam dimana pintu-pintu langit dibukakan, do’a dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa mendirikan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Lailatul Qadar terdapat pada 10 malam terakhir, dah diharapkan pada malam-malam ganjil lebih kuat dari malam-malam yang lainnya. Karena itu, seorang muslim harus senantiasa mengharap rahmat Allah dan takut dari siksa-Nya, memanfaatkan kesempatan pada malam-malam itu dengan bersungguh-sungguh pada setiap malam dari kesepuluh malam tersebut dengan shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, istighfar, do’a dan bertaubat yang sebenar-benarnya.
Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yaitu perang Badar, yang pada keesokan harinya Allah membedakan antara yang haq dan yang bathil, sehingga menanglah Islam dan kaum muslimin serta hancurlah syirik dan kaum musyrikin.
Pada bulan ini terjadi pembebasan kota Mekkah dan Allah memenangkan Rasul-Nya, sehingga masuklah manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong dan Rasulullah menghancurkan syirik dan paganisme (keberhalaan) yang terdapat di kota Mekkah, dan Mekkahpun menjadi negeri Islam.
Pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan para Syetan diikat. Betapa banyak berkah dan kebaikan yang terdapat dalam bulan Ramadhan. Maka kita wajib memanfaatkan kesempatan ini untuk bertaubat dan beramal shalih kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
Sabda Nabi SAW., ”Jibril datang kepadaku dan berkata, wahai Muhammad, siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan itu habis dan ia tidak mendapatkan ampunan, maka mati ia masuk Neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakan : Amin”, maka akupun mengatakan, ”Amin”. (Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam shahihnya). (Lihat kitab An Nashai’hud Diniyyah, hlm. 37-39).***


Risalah Ramadhan (2)


Sebagai seorang muslim yang memahami betul tentang keutamaan bulan Ramadhan tentu akan menggunakan waktu sebaik mungkin untuk beramal kebaikan, seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dzikir, do’a dan istighfar. Ramadhan adalah kesempatan untuk menanam bagi para hamba Allah, membersihkan hati dari kerusakan. Juga wajib menjaga anggota badan dari segala dosa, seperti berkata yang haram, melihat yang haram, mendengar yang haram, minum dan makan yang haram agar puasanya menjadi bersih dan diterima serta orang yang berpuasa memperoleh ampunan dan pembebasan dari api Neraka.
Shalat 5 waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan diantaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan”. (Muslim)
Jadi hal-hal yang fardhu ini dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, dengan syarat dosa-dosa besar ditinggalkan. Dosa-dosa besar, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman di dunia dan siksaan di akherat. Misalnya : zina, mencuri, minum arak, mencaci kedua orang tua, memutuskan hubungan kekeluargaan, transaksi dengan riba, mengambil risywah (uang suap), bersaksi palsu, memutuskan perkara bukan dengan hukum dari Allah. Dosa-dosa besar ini tidak akan diampunkan kecuali memohon
ampun dan bertaubat kepada Allah.
 Hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa Ramadhan

Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Firman Allah : ”.......... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ..........”. (Al Baqarah : 187)
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya’ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya.
Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim yang baligh (dewasa), aqil (berakal), dan mampu untuk berpuasa. Adapun syarat wajib berpuasa ada empat, yaitu : Islam, berakal, dewasa dan mampu.
Anak kecil disuruh berpuasa jika kuat, hal ini untuk melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada umur 7 tahun dan dipukul pada umur 10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri.
Syarat sah puasa ada 6, yaitu :
1. Islam ; tidak sah puasa orang kafir sebelum dia masuk Islam
2. Akal ; tidak sah puasa orang gila sampai dia berakal
3. Tamyiz ; tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang baik dan yang buruk)
4. Tidak haid ; tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya
5. Tidak nifas ; tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifasnya
6. Niat ; dari malam hari untuk setiap hari puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya”. (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An Nasa’i, At Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari, yaitu dengan meniatkan puasa di salah satu bagian malam.

 Sunnah-sunnah puasa

Sunnah puasa ada enam, yaitu :
1. Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak mengkhawatirkan terbit fajar.
2. Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam
3. Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah, menunaikan zakat harta kepada orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al Qur’an dan amal kebaikan lainnya.
4. Jika dicaci maki, supaya mengatakan : ”Saya berpuasa” dan jangan membalas mengejek, memaki, membalas kejahatan orang, tetapi semua itu dibalas dengan kebaikan agar mendapat pahala dan terhindar dari dosa.
5. Berdo’a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan. Seperti membaca do’a : ”Ya Allah hanya untukmu aku berpuasa, dengan rezki anugerah-Mu aku berbuka, Maha Suci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
6. Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air.

 Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan

Diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bagi empat golongan, yaitu :
Pertama, Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah : ”......... maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ........” (Al Baqarah : 184).
Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
Kedua, wanita haid dan wanita nifas ; mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. ’Aisyah ra. berkata : ”Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat”. (Muttafaqun ’Alaih)
Ketiga, wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus mengqadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus mengqadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi’, I/124.
Keempat, orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, I/215.
Sedang jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha’ (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab Limdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, hlm 28.
Diharamkan melakukan jima’ (bersenggama) pada siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus mengqadha dan membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari kaffarah tersebut. Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm 102-108.

 Hal-hal yang membatalkan puasa

Pertama, Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
Kedua, Jima’ (bersenggma)
Ketiga, Memasukkan makanan kedalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah bagi orang yang berpuasa.
Keempat, Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa sengaja.
Kelima, Keluar darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam
matahari.
Keenam, Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha”. (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi)
Ketujuh, Murtad dari Islam semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al An’am : 88)
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa sengaja.
Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna 40 hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa untuk menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah (menyebutkan kejelekan orang lain), namimah (adu domba), mendo’akan laknat orang lain (agar terjauh dari rahmat Allah) dan mencaci maki. Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram, makan dan minum yang haram.

 Qiyam Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra., Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Dari Abdurrahman bin ’Auf ra. bahwasanya Nabi SAW. menyebut bulan Ramadhan seraya bersabda, ”Sungguh, Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah puasanya dan kusunnatkan shalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya”. (An Nasa’i, katanya : yang benar adalah dari Abu Hurairah). Menurut Al Arna’uth dalam Jaami’ul Ushuul, juz 6 hlm 441, hadits ini hasan dengan adanya nash-nash lain yang memperkuatnya.
Qiyam Ramadhan hukumnya sunnat mu’akkadah, Nabi SAW. sangat menganjurkan dan menekankan, juga dilakukan para shahabat dan tabi’in. Kita seharusnya juga demikan, harus senantiasa mengerjakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan apalagi 10 malam terakhir untuk mendapatkan Lailatul Qadar.
Shalat Tarawih termasuk qiyam Ramadhan. Karena itu, hendaklah bersungguh-sungguh dan memperhatikannya serta mengharapkan pahala balasannya dari Allah. Malam Ramadhan adalah kesempatan yang terbatas bilangannya dan orang mukmin yang berakal akan memanfaatkannya dengan baik tanpa terlewatkan. Jangan pulang dari shalat Tarawih sebelum imam selesai darinya dan dari shalat witir, agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Hal ini didasarkan sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa mendirikan shalat malam bersama imam sehingga selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk”. (Para penulis kitab Sunan dengan sanad Shahih).
Shalat Tarawih adalah sunat, dilakukan dengan berjama’ah lebih utama. Demikian yang masyhur dilakukan para shahabat. Shalat ini tidak ada batasannya. Boleh melakukannya 20 raka’at, 36 raka’at, 8 raka’at atau 10 raka’at, semuanya baik. Banyak atau sedikitnya raka’at tergantung pada panjang atau pendeknya bacaan ayat. Shalat supaya khusyu’, thuma’ninah, dihayati dan dibaca dengan pelan tidak dengan cepat atau tergesa-gesa.

 Membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan dan lainnya

Sangat diutamakan bagi seorang muslim yang mengharap rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya untuk memperbanyak membaca Al Qur’an pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridha-Nya, memperoleh keutamaan dan pahala-Nya. Karena Al Qur’an adalah sebaik-baik kitab yang diturunkan kepada Rasul termulia, untuk umat terbaik yang pernah dilahirkan kepada umat manusia dengan syariat yang paling utama, paling mudah, paling luhur dan paling sempurna.
Al Qur’an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangan-Nya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah di hadapan Tuhan dan memberi syafaat pada hari Qiamat.
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al Qur’an, sebagaimana firman Allah : ”Bulan Ramadhan, yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an .......”. (Al Baqarah : 185)
Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bertemu dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al Qur’an.
Hal itu dianjurkannya mempelajari Al Qur’an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk itu, juga membaca Al Qur’an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al Qur’an pada bulan Ramadhan.

Risalah Ramadhan (3)


Pada bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk memperbanyak mempelajari dan membaca Al Qur’an, dan lebih utama dibaca secara bergantian ditempat ibadah (masjid) masing-masing, karena malaikat Jibril AS. setiap bulan Ramadhan membacakan dan menyimak Al Qur’an bersama Rasulullah SAW. secara bergantian.
Nabi SAW. bersabda, ”Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka diliputi rahmat, dikerumuni malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para malaikat di hadapan-Nya”. (Muslim).
Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan bahwa pembacaan Al Qur’an antara Nabi dan Jibril terjadi pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya untuk membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala kesibukan, sehingga lebih mudah untuk khusyu’. firman Allah : ”Sesungguhnya bangun diwaktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’), dan bacaan diwaktu itu lebih berkesan”. (Al Muzzammil : 6)

 Sedekah di Bulan Ramadhan

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra., Ia berkata : ”Nabi SAW. adalah orang yang paling dermawan, dan Beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, kedermawanan Beliau dalam kebaikan lebih daripada angin yang berhembus. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan tambahan : ”Dan Beliau tidak pernah diminta sesuatu kecuali memberikannya”.
Menurut riwayat Baihaqi, dari ’Aisyah rha., ”Nabi SAW. jika masuk bulan Ramadhan membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta”.
Kedermawanan adalah sifat murah hati dan banyak memberi. Allah pun bersifat Maha Pemurah, Allah SWT. Maha Pemurah, kedermawanan-Nya berlipat ganda pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan.
Demikian juga Nabi SAW. adalah manusia yang paling dermawan, paling mulia, paling pemberani dan amat sempurna dalam segala sifat yang terpuji, kedermawanan Beliau pada bulan Ramadhan berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya, sebagaimana kemurahan Tuhannya berlipat ganda pada bulan ini.
Barangsiapa yang membantu orang yang berpuasa dan berdzikir supaya senantiasa taat, maka seumpama orang yang membekali saudaranya yang berperang, maka ia memperoleh seperti pahala orang yang berperang, dan siapa yang menanggung dengan baik keluarga orang yang berperang maka ia memperoleh pula seperti pahala orang yang berperang. Dinyatakan dalam hadits Zaid bin Khalid dari Nabi SAW. Beliau bersabda, ”Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa maka baginya seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikitpun dari pahalanya”. (Ahmad, Tirmidzi)
Bulan Ramadhan adalah saat Allah berderma kepada para Hamba-Nya dengan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api Neraka, terutama pada Lailatul Qadar Allah melimpahkan kasih-Nya kepada para hamba-Nya yang bersifat kasih, maka barangsiapa berderma kepada para hamba Allah niscaya Allah Maha Pemurah kepadanya dengan anugerah dan kebaikan. Balasan itu adalah sejenis dengan amal perbuatan.
Dinyatakan dalam hadits Ali ra., bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Sungguh di Surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar”. Maka berdirilah kepada Beliau seorang Arab Badui seraya berkata, ”Untuk siapakah ruangan-ruangan itu Wahai Rasulullah ?” Jawab Beliau SAW. : ”Untuk siapa saja yang berkata baik, memberi makan, selalu berpuasa dan shalat malam ketika orang-orang dalam keadaan tidur”. (Tirmidzi)
Semua kriteria ini terdapat dalam bulan Ramadhan, puasa, shalat malam, sedekah dan perkataan baik. Karena pada waktu ini orang yang berpuasa dilarang dari perkataan kotor dan perbuatan keji, sedangkan shalat, puasa dan sedekah dapat menghantarkan pelakunya kepada Allah SWT.
Puasa dan sedekah bila dikerjakan bersama-sama lebih dapat menghapuskan dosa-dosa dan menjauhkan dari api Neraka Jahannam, terutama jika ditambah lagi shalat malam. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa itu merupakan perisai bagi seseorang dari api Neraka, sebagaimana perisai dalam peperangan”. (Ahmad, An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Utsman bin Abil ’Ash ; juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya serta dinyatakan shahih oleh
Hakim dan disetujui Adz dzahabi).
Diriwaytkan pula oleh Ahmad dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa itu perisai dan benteng kokoh yang melindungi seseorang dari api Neraka”.
Dari Mu’adz ra., Nabi SAW. bersabda : ”Sedekah dan shalat ditengah malam dapat menghapuskan dosa sebagaimana air memadamkan api”. (Tirmidzi)
Dalam puasa tentu terdapat kekeliruan serta kekurangan. Dan puasa dapat menghapuskan dosa-dosa dengan syarat menjaga diri dari apa yang mesti dijaga. Padahal kebanyakan puasa yang dilakukan kebanyakan orang tidak terpenuhi dalam puasanya itu penjagaan yang semestinya. Dan dengan sedekah, kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dapat terlengkapi. Karena itu akhir Ramadhan, diwajibkan membayar zakat fithrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan perbuatan keji.

 Tafsiran ayat-ayat tentang puasa

Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahuinya”. (Al Baqarah : 183 – 184)
Ayat diatas ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama serta segala hal yang membatalkan, dengan niat ikhlas karena Allah SWT. karena didalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa, juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, disamping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu. Dari sinilah kita mendapat teladan. Maka, hendaknya berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan orang-orang terdahulu. (Tafsir Ibnu Katsir, 11313)
Lalu, dijelaskan manfaat puasa yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk mentaati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. (Tafsir Ayaatul Ahkaam, oleh Ash Shabuni, I/192).
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Diantara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, dimana seluruh umat Islam melakukannya.
Lalu Allah memberi kemudahan lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya : ”Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.(Al Baqarah : 184).
Karena merasa berat, maka Allah memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Allah memerintahkan mereka agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika sembuh dari sakit atau tidak lagi melakukan perjalanan, dan sedang dalam keadaan luang. (Tafsiirul Lat’nifil Mannaan fi Khulaashati Tafsiirul Qur’an, oleh Ibnu Sa’di, hlm 56).
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula berbuka dengan syarat memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas ra. berkata : ”Karena itulah Allah berfirman, dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Tafsir Ibnu Katsir, I/214).
Firman Allah : ”(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).
Allah memberitahukan bahwa bulan yang didalamnya diwajibkan puasa bagi mereka itu adalah bulan Ramadhan. Bulan dimana Al Qur’an yang dengannya Allah memuliakan umat Muhammad diturunkan untuk pertama kalinya. Allah menjadikan Al Qur’an sebagai undang-undang serta peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang-orang yang ingin menitinya. Didalamnya terdapat pembeda antara yang haq dengan yang bathil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan yang haram.
Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah bulan diturunkannya rahmat kepada segenap hamba, dan Allah tidak menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuali kemudahan. Karena itu Dia membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan Ramadhan, dan memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu bulan. Selain itu, Dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman : ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).
Maksudnya, bila kita telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga batasan-batasan (hukum-Nya), maka hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur karenanya”. (Tafsir Ibnu Katsir, I/218).
Firman Allah : ”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu ; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh aAllah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (Al Baqarah : 187)
Sebab turunnya ayat : Imam Al Bukhari meriwyatkan dari Al Barra bin ’Azib, bahwasanya ia berkata : ”Dahulu, para shahabat, jika seseorang dari mereka berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al Anshari dalam keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika datang waktu berbuka, ia mendatangi istrinya seraya berkata padanya : ”Apakah engkau memliki makanan?” Ia menjawab : ”Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan untukmu”. Padahal siang harinya ia sibuk bekerja, karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah istrinya. Tatkala ia melihat suaminya (tertidur) ia berkata : ”Celaka kamu”. Ketika sampai tengah hari, ia menggauli (istrinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabi SAW., sehingga turunlah ayat : ”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu”. Maka mereka sangat bersuka cita karenanya, kemudian turunlah ayat berikut : ”Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Lihat kitab Ash Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzul, hlm 9).
Hubungan suami istri dahulunya dilarang pada malam hari bulan Ramadhan akan tetapi setelah ayat ini turun dibolehkan berhubungan dengan istri asalkan hanya di malam hari saja. Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (4)


 Puasa yang sempurna

Agar puasa sempurna sesuai dengan tujuan, maka sangat dianjurkan untuk makan sahur, sehingga membantu kekuatan fisik selama berpuasa ; Nabi SAW. bersabda : ”Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah”. (Bukhari, Muslim)
Dalam hadits yang lain : ”Bantulah (kekuatan fisikmu) untuk berpuasa di siang hari dengan makan sahur, dan untuk shalat malam dengan tidur siang”. (Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).
Akan lebih utama jika makan sahur itu diakhirkan waktunya, sehingga mengurangi rasa lapar dan haus. Hanya saja harus berhati-hati, untuk itu hendaknya kita telah berhenti makan dan minum beberapa menit sebelum terbit fajar, agar tidak ragu-ragu.
Segeralah berbuka jika matahari benar-benar telah tenggelam. Nabi SAW. bersabda : ”Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”. (Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
Usahakan mandi hadats besar sebelum terbit fajar, agar bisa melakukan ibadah dalam keadaan suci.
Manfaatkan bulan Ramadhan dengan sesuatu yang terbaik yang pernah diturunkan didalamnya, yakni membaca Al Qur’an. Sesungguhnya Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan selalu menemui Nabi SAW. untuk membacakan Al Qur’an kepadanya”. (Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas ra.)
Selama Ramadhan hendaklah menjaga lisan dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada. Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari)
Hendaknya puasa tidak membuatmu keluar dari kebiasaan. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab sepele, dengan dalih bahwa engkau sedang berpuasa. Sebaliknya, mestinya puasa membuat jiwamu tenang, tidak emosional. Dan jika kita diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, jangan kita hadapi dia dengan perbuatan serupa. Nasehat dan tolaklah dengan cara yang lebih baik. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata sesungguhnnya aku sedang berpuasa”. (Bukhari, Muslim, para penulis kitab Sunan).
Ucapan itu dimaksudkan agar ia menahan diri dan tidak melayani orang yang mengumpatnya, disamping itu juga mengingatkan agar ia menolak melakukan penghinaan dan caci maki.
Hendaknya setelah puasa membawa
taqwa kepada Allah, takut dan bersyukur kepada-Nya, serta senantiasa istiqomah dalam agama-Nya. Hasil yang baik itu hendaknya mengiringi kita sepanjang tahun. Dan buah paling utama dari puasa adalah taqwa, sebab Allah berfirman : ”.... agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah : 183)
Menjaga diri dari berbagai syahwat (keinginan), bahkan meskipun halal bagi kita. Hal itu agar tujuan puasa tercapai dan mematahkan nafsu dari keinginan. Jabir bin Abdillah ra. berkata : ”Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaran, penglihatan dan lisan dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kita senantiasa bersikap tenang pada hari puasa.
Hendaknya makananmu dari yang halal. Jika kamu menahan diri dari yang haram pada bulan selain bulan Ramadhan maka pada bulan Ramadhan lebih utama. Dan tidak ada gunanya engkau berpuasa dari yang halal, tetapi berbuka dengan yang haram.
Memperbanyak sedekah dan berbuat kebajikan. Dan hendaknya kamu lebih baik dan lebih banyak berbuat kebajikan kepada keluarga dibanding pada selain bulan Ramadhan. Nabi SAW. adalah orang yang paling dermawan, dan Beliau lebih dermawan ketika bulan Ramadhan.
Ucapkanlah Bismillah ketika kamu berbuka seraya berdo’a : ”Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rezeki-Mu aku berbuka. Ya Allah terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

 Tujuan puasa

Tujuan puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga ia siap mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaannya ; menerima sesuatu yang menyucikannya, yang didalamnya terdapat kehidupan yang abadi, mematahkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkannya dengan keadaan orang-orang yang menderita kelaparan diantara orang-orang miskin ; menyempitkan jalan syetan pada diri hamba dengan menyempitkan jalan aliran makanan dan minuman ; puasa adalah untuk Tuhan semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain, ia berarti meninggalkan segala yang dicintai karena kecintaannya kepada Allah SWT. ; ia merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, sebab para hamba mungkin bisa diketahui bahwa ia meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa secara nyata, tetapi keberadaan dia meninggalkan hal-hal tersebut karena Tuhannya, maka tak seorangpun manusia yang mengetahuinya dan itulah hakikat puasa.

 Petunjuk Nabi dalam berpuasa

Petunjuk puasa dari Nabi SAW. adalah petunjuk yang paling sempurna untuk mencapai maksud, serta paling mudah penerapannya bagi segenap jiwa.
Diantara petunjuk puasa dari Nabi SAW. pada bulan Ramadhan adalah : memperbanyak melakukan berbagai macam ibadah. Jibril senantasa membacakan Al Qur’an untuk Beliau pada bulan Ramadhan ; Beliau juga memperbanyak sedekah, kebajikan, shalat, dzikir, i’tikaf dan bahkan Beliau mengkhususkan beberapa macam ibadah pada bulan Ramadhan, hal yang tidak Beliau lakukan pada bulan-bulan yang lain.
Nabi SAW. menyegerakan berbuka dan menganjurkan demikian, Beliau makan sahur dan mengakhirkannya, serta menganjurkan dan memberi semangat orang lain untuk melakukan hal yang sama. Beliau menghimbau agar berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya maka dengan air.
Nabi SAW. melarang orang yang berpuasa dari ucapan keji dan caci maki. Sebaliknya Beliau memerintahkan agar ia mengatakan kepada yang mencacinya, ”Sesungguhnya aku sedang puasa”.
Jika Beliau melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, terkadang Beliau meneruskan puasanya dan terkadang pula berbuka. Dan membiarkan para shahabatnya memilih antara berbuka atau puasa ketika dalam perjalanan. Beliau SAW. pernah mendapatkan fajar dalam keadaan junub sehabis menggauli istrinya maka Beliau segera mandi setelah terbit fajar dan tetap berpuasa.
Termasuk petunjuk Nabi SAW. adalah membebaskan qadha’ puasa bagi orang yang makan dan minum karena lupa, dan bahwasanya Allahlah yang memberinya makan dan minum.
Dan dalam riwayat yang shahih disebutkan Beliau bersiwak dalam keadaan puasa. Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW. menuangkan air diatas kepalanya dalam keadaan berpuasa. Beliau juga melakukan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) serta berkumur dalam keadaan puasa. Tetapi Beliau melarang orang yang berpuasa melakukan istinsyaq secara berlebihan. (Lihat kitab Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ’Ibad, I/320-338)

 Puasa yang disyariatkan

Puasa yang disyariatkan adalah puasanya anggota badan dari dosa-dosa, dan puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana makan dan minum membatalkan dan merusak puasa, demikian pula halnya dengan dosa-dosa, ia memangkas pahala puasa dan merusak buahnya, sehingga memposisikannya pada kedudukan orang yang tidak berpuasa.
Karena itu, orang yang benar-benar berpuasa adalah orang yang puasa segenap anggota badannya dari melakukan dosa-dosa, lisannya berpuasa dari dusta, kekejian dan mengada-ada, perutnya berpuasa dari makan dan minum, kemaluannya berpuasa dari senggama.
Bila berbicara, ia tidak berbicara dengan sesuatu yang menodai puasanya, bila melakukan suatu pekerjaan ia tidak melakukan sesuatu yang merusak puasanya. Ucapan yang keluar darinya selalu bermanfaat dan baik, demikian pula dengan amal perbuatannya.
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad disebutkan : ”Dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah dari pada aroma minyak kesturi”. (Tirmidzi)
Inilah puasa yang disyariatkan, tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum. dalam hadits shahih dikatakan : ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta kedunguan maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari, Ahmad). Dalam hadits lain dikatakan : ”Betapa banyak orang puasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (Ahmad).

 Berpisah dengan Ramadhan

Disebutkan dalam shahihain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa puasa bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
”Barangsiapa mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (An Nasa’i)
Ibnu Hibban dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan mengetahui batas/ketentuannya serta memelihara hal-hal yang harus dijaga, maka dihapus dosanya yang telah lalu”.
Ampunan dosa tergantung pada terjaganya sesuatu yang harus dijaga seperti melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala yang haram. Para ulama berpendapat bahwa ampunan dosa tersebut hanya berlaku pada dosa-dosa kecil, berdasarkan hadits riwayat Muslim, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : ”Shalat lima waktu, Jum’at sampai Jum’at berikutnya dan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa yang terjadi diantara waktu-waktu tersebut, selama dosa-dosa besar ditinggalkan”.
Hadits ini memiliki dua konotasi, pertama : bahwa penghapusan dosa itu terjadi dengan syarat menghindari dan menjauhi dosa-dosa besar. Kedua : hal itu dimaksudkan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut hanya menghapus dosa-dosa kecil. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu harus disertai dengan taubat nashuha (taubat yang semurni-murninya).
Hadits Abu Hurairah diatas menunjukkan bahwa tiga faktor ini yakni puasa, shalat malam dibulan Ramadhan dan shalat pada malam Lailatul Qadar, masing-masing dapat menghapus dosa yang telah lampau, dengan syarat meninggalkan segala bentuk dosa besar.
Para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menghidupkan amal agama, memperhatikan dan mementingkan amal tersebut dan sangat khawatir jika ditolak. Mereka itulah orang-orang yang diganjar sesuai dengan perbuatan mereka sedangkan hatinya selalu gemetar (karena takut siksa Tuhannya).
Apabila puasa dibulan Ramadhan, melaksanakan shalat di malam harinya dan pada malam Lailatul Qadar, bersedekah, membaca Al Qur’an, banyak berdzikir dan berdo’a serta mohon ampunan dalam bulan mulia ini merupakan sebab diberikannya ampunan. Maka sudah selayaknya sebagai seorang muslim melakukan berbagai faktor tersebut yang akan membuatnya mendapat ampunan dari Allah SWT. ”Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih kemudian tetap dijalan yang benar’. (Thaaha : 82)
Jika keberadaan ampunan dan pembebasan dari api Neraka itu tergantung kepada puasa Ramadhan dan pelaksanaan shalat di dalamnya, maka di kala hari Raya tiba, Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertakbir dan bersyukur atas segala nikmatnya yang telah dianugerahkan. Maka sudah selayaknya untuk memperbanyak dzikir, takbir dan bersyukur kepada Tuhan serta selalu bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benar ketaqwaan. Allah SWT. berfirman : ”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mangagungkan Allah atas pertunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).

 Peringatan

Sebagian orang apabila datang bulan Ramadhan, mereka bertaubat, mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah puasa. Namun jika Ramadhan lewat mereka kembali meninggalkan shalat dan melakukan perbuatan maksiat. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan saja. Tidakkah mereka tahu bahwa pemilik bulan-bulan itu adalah satu (Allah) berbagai bentuk kemaksiatan adalah haram disetiap waktu dan Allah Maha Mengetahui setiap gerak gerik kita dimana saja dan kapan saja. Maka sebaiknya segera bertaubat, yakni dengan meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, sehingga taubat diterima Allah.
Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai”. (At Tahrim : 8)
Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (5)


Pada bulan Ramadhan tidak sedikit orang yang membuat berbagai variasi pada menu makanan dan minuman mereka. Walaupun hal itu diperbolehkan, tetapi tidak dibenarkan israf (berlebih-lebihan) dan melampaui batas. Justru seharusnya adalah menyederhanakan makanan dan minuman. Allah berfirman : ”Makan dan minumlah dan janganlah kalian berbuat israf (berlebih-lebihan), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf”. (Al A’raaf : 31)
Ayat ini termasuk pangkal ilmu kedokteran. Menurut ulama, Allah mengklasifikasikan seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat, lantas membaca ayat ini.
Ayat ini menganjurkan makan dan minum yang merupakan penopang utama bagi kelangsungan hidup seseorang, kemudian melarang berlebih-lebihan dalam hal tersebut karena dapat membahayakan tubuh. Nabi SAW. bersabda : ”Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa disertai dengan berlebih-lebihan dan kesombongan”. (Abu Dawud, Ahmad, Bukhari)
Nabi SAW. bersabda lagi : ”Tiada tempat yang lebih buruk yang dipenuhi anak Adam daripada perutnya, cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat menopang tulang punggungnya jika hal itu tidak bisa dihindari maka masing-masing sepertiga bagian untuk makanannya, minumnya dan nafasnya”. (Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Timidzi, beliau berkomentar hadits ini Hasan, dan hadits ini merupakan dasar utama bagi semua dasar ilmu kedokteran). (Lihat Al Majmu’atul Jalilah, hlm 452).
Dampak yang paling ringan akibat berlebih-lebihan dalam makan dan minum adalah banyak tidur dan malas mengerjakan shalat Tarawih serta membaca Al Qur’an, baik di waktu malam atau di siang hari. Barangsiapa yang banyak makan dan minum, maka akan banyak tidurnya sehingga tidak sedikt kerugian yang menimpanya. Karena ia telah menyia-nyiakan detik-detik Ramadhan yang mulia dan sangat berharga yang tidak dapat digantikan dengan waktu lain serta tidak ada yang menyamainya. Jika diperhatikan, banyak manusia yang menghabiskan siang hari di bulan Ramadhan hanya untuk tidur mendengkur, sementara malamnya mereka habiskan untuk mengobrol dan bermain-main, sehingga mereka tidak merasakan puasa sedikitpun bahkan tidak sedikit yang meninggalkan shalat berjamaah semoga Allah menunjukinya.
Ramadhan merupakan bilangan hari, yang berlalu dengan cepat dan menjadi saksi ketaatan bagi orang-orang yang taat, sekaligus sebagai saksi bagi para tukang maksiat atas semua perbuatan maksiatnya. Setiap muslim seharusnya selau memanfaatkan waktunya dalam hal-hal yang berguna, janganlah memperbanyak makan dimalam hari dan tidur disiang hari, jangan pula menyia-nyiakan sedikt pun waktunya tanpa berbuat amal shalih atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebagian orang malah begadang sepanjang malam, yang hal tersebut hanya membawa dampak negatif, baik berupa obrolan kosong, permainan yang tidak ada manfaatnya ataupun keluyuran di jalanan.
Ada yang makan sahur di pertengahan malam dan tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Nabi SAW. sangat membenci tidur sebelum shalat Isya’ dan berbicara sesudahnya kecuali dalam hal-hal yang baik.
Tersia-siakannya waktu yang amat mahal di bulan Ramadhan dengan percuma, padahal manusia akan merugi sekali dari setiap waktunya yang berlalu tanpa diisi dengan dzikir sedikitpun kepada Allah.
Mendahulukan sahur sebelum saat yang dianjurkan dan di sunnahkan yakni di akhir malam sebelum fajar. Dan musibah besar adalah tertidur hingga meninggalkan shalat Shubuh tepat waktunya dan berjamaah, padahal pahalanya sebanding dengan melaksanakan shalat sepanjang malam. Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa mendirikan shalat Isya’ dengan berjamaah, maka ia bagaikan melaksanakan shalat separuh malam ; dan barangisiapa shalat Shubuh berjamaah maka bagaikan shalat semalam suntuk”. (Muslim)
Maka sudah selayaknya terutama di bulan Ramadhan setiap muslim segera tidur setelah melaksanakan shalat Tarawih dan membaca Al Qur’an, dan bangun di akhir malam kemudian shalat malam dan menyibukkan diri dengan dzikir, do’a, istighfar dan taubat sebelum dan seusai sahur hingga shalat fajar.
Tetapi lebih utama lagi jika ia habiskan malam harinya dengan membaca dan mempelajari Al Qur’an, sebgaimana yang telah dilakukan Nabi SAW. bersama Jibril AS.
Allah SWT. memuji dan menyanjung orang-orang yang memohon ampunan di akhir malam, sebagaimana dalam firman-Nya : ”Mereka sedikit sekali tidur di malam hari, dan di akhir malam mereka memohon ampunan kepada Allah”. (Adz Dzaariaat : 17 – 18)
Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim yang selalu berharap rahmat Tuhannya dan takut terhadap siksa-Nya memanfaatkan kesempatan penting ini dengan berdo’a dan mohon ampun kepada Allah untuk dirinya, kedua orang tuanya, anak-anaknya, segenap kaum muslimin dan para penguasanya. Memohon ampun dan bertaubat kepada Allah di setiap malam bulan Ramadhan dan disetiap saat dari umurnya yang terbatas sebelum maut menjemput, amal perbuatan terputus dan penyesalan berkepanjangan. Allah SWT. berfirman : ”Dan bertaubatlah kalian semua orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung”. (An Nur : 31).

 Fatwa-fatwa penting

Seorang shahabat bertanya kepada Nabi SAW. : ”Wahai Rasulullah, saya lupa sehingga makan dan minum, padahal saya sedang berpuasa”. Beliau SAW. menjawab : ”Allah telah memberimu makan dan minum”. (Abu Dawud). Dan dalam riwayat Daruquthni dengan sanad shahih disebutkan, ”Sempurnakan puasamu dan kamu tidak wajib mengqadhanya, sesungguhnya Allah telah memberimu makan dan minum”, peristiwa itu terjadi pada hari pertama di bulan Ramadhan.
Pernah juga Beliau ditanya tentang benang putih dan hitam, jawab Beliau : ”Yaitu terangnya siang dan gelapnya malam”. (An Nasa’i)
Seorang shahabat bertanya : ”Saya mendapati shalat shubuh dalam keadaan junub, sedang saya berpuasa bagaimana hukumnya?” Jawab Beliau SAW. : ”Aku juga pernah mendapati shalat Shubuh dalam keadaan junub, lantas aku berpuasa”. Ia berkata : ”Engkau tidak seperti kami wahai Rasulullah, karena Allah telah mengampuni semua dosamu”. Nabi SAW. menjawab : ”Demi Allah, sungguh aku berharap agar aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan paling tahu akan sesuatu yang dapat menuju kepada taqwa”. (Muslim).
Beliau SAW. pernah ditanya tentang puasa dalam perjalanan, maka dijawabnya : ”Terserah kamu, boleh berpuasa boleh pula berbuka”. (Muslim).
Hamzah bin ’Amr pernah bertanya : ”Wahai Rasulullah, saya mampu berpuasa dalam perjalanan, apakah saya berdosa?” Beliau SAW. menjawab : ”Ia adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barangsiapa mengambilnya baik baginya dan barangsiapa lebih suka berpuasa maka ia tidak berdosa”. (Muslim).
Sewaktu ditanya tentang mengqadha puasa dengan tidak berturut-turut, Beliau menjawab : ”Hal itu kembali kepada dirimu (tergantung kemampuanmu), bagaimana pendapatmu jika salah seorang dari kamu mempunyai tanggungan hutang lalu mencicilnya dengan satu dirham, dua dirham, tidakkah itu merupakan bentuk pelunasan? Allah Maha Pemaaf dan Pengampun”. (Daruquthni, isnadnya hasan).
Ketika ditanya oleh seorang wanita : ”Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal sedangkan ia berhutang puasa nadzar, bolehkah saya berpuasa untuknya? Beliau SAW. menjawab : ”Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki tanggungan hutang lantas kamu lunasi, bukankah itu membuat lunas hutangnya?” Ia berkata : ”Benar”. Nabi SAW. bersabda : ”Puasalah untuk ibumu”. (Muttafaqun ’Alaih. Lihat I’laamul Muwaqqii’in ’An Rabbil ’Aalamiin, oleh Ibnul Qayyim, IV/266-267).
Menurut Ibnu Taimiyah hukum berkumur-kumur dan memasukkan air ke rongga hidung (istinsyaq), bersiwak, mencicipi makanan, muntah, keluar darah, meminyaki rambut dan memakai celak bagi orang yang sedang berpuasa tidaklah membatalkan. Mengenai hal ini Beliau menjawab : ”Adapun berkumur dan memasukkan air ke rongga hidung adalah disyari’atkan, hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama. Nabi SAW. dan para shahabatnya juga melakukan hal itu, tetapi Nabi SAW. bersabda kepada Al Laqiit bin Shabirah : ”Berlebih-lebihanlah kamu dalam menghirup air ke hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa”. (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Nabi SAW. tidak melarang istinsyaq bagi orang yang berpuasa, tetapi hanya melarang berlebih-lebihan dalam pelaksanaannya saja.
Sedangkan bersiwak adalah boleh, tetapi setelah zawal (matahari condong ke barat) kadar makruhnya diperselisihkan, ada dua pendapat dalam masalah ini dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad, namun belum ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya, yang dapat menggugurkan keumuman dalil bolehnya bersiwak.
Mencicipi makanan hukumnya makruh jika tanpa keperluan yang memaksa, tapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika memang sangat perlu, maka hal itu bagaikan berkumur, dan hukumnya boleh.
Adapun mengenai hukum muntah-muntah, jika memang disengaja maka hukumnya batal puasanya, tetapi jika datang dengan sendirinya tidak membatalkan. Sedangkan meminyaki rambut jelas tidak membatalkan.
Mengenai hukum keluar darah yang tidak dapat dihindari seperti darah istihadhah, luka-luka, mimisan (keluar darah dari hidung) dan lain sebagainya adalah tidak membatalkan puasa, tetapi keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa sesuai dengan kesepakatan ulama.
Mengenakan celak (sipat mata) yang tembus sampai ke otak, maka Imam Ahmad dan Imam Malik berpendapat hal itu membatalkan puasa, tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat hal itu tidak membatalkan. (Lihat Majmu’ Fataawaa, oleh Ibnu Taimiyah, 25/266-267).
Ibnu Taimiyah menambahkan dalam Al Ikhtiyaaraat : ”Puasa seseorang tidak batal sebab mengenakan celak, injeksi (suntik), zat cair yang diteteskan di saluran air kencing, mengobati luka-luka yang tembus sampai ke otak dan luka tikaman yang tembus ke dalam rongga tubuh. Ini adalah sebagian pendapat ulama. (Lihat Al Ikhtiyaaraatul Fiqhiyah, hlm. 108).
Dari ’Aisyah rha., bahwasanya Rasululah SAW. bersabda : ”Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikanya”. (Muttafaqun’Alaih).
Hadits ini menunjukkan anjuran berpuasa kepada orang yang masih hidup untuk si mayit, dan bahwasa jika seseorang meninggal dalam keadaan memiliki hutang puasa, maka boleh digantikan oleh walinya.
Imam Nawawi berkomentar : ”Para ulama berbeda pendapat tentang mayit yang memiliki tanggungan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, qadha dan nadzar atau lainnya. Apakah wajib diqadha untuknya?
Dalam masalah ini Imam Syafi’i memiliki dua pendapat, yang terpopuler adalah, tidak wajib diganti puasanya, sebab puasa pengganti untuk si mayit pada asalnya tidak sah. Adapun pendapat kedua, disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa sebagai pengganti bagi si mayit, hingga si mayit terbebas dari tanggungannya dan tidak usah membayar kaffarah (memberi makan orang miskin sesuai dengan bilangan puasa yang ditinggalkannya) (Lihat al Majmu’atul Jalilah, hlm. 158).
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai mulai kapan seorang anak yang menginjak dewasa diperintah melakukan ibadah puasa?
Beliau menjawab : ”Anak yang belum dewasa jika ia mampu berpuasa maka pantas diperintah melaksanakannya, dan bila meninggalkannya diberi hukuman”.
Syaikh Hamd bin Atiq ditanya tentang wanita yang mendapati darah haid sebelum terbenam matahari, apakah puasanya dinyatakan sah?
Beliau menjawab : ”Puasanya tidak sempurna pada hari itu”.
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai orang yang makan (berbuka) di bulan Ramadhan, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : ”Orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan atau minum harus diberi pelajaran (dengan hukuman) supaya jera”.
Syaikh Abdullah Ababathin ditanya tentang orang yang berpuasa mendapatkan aroma sesuatu, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : ”Semua aroma yang tercium oleh orang yang sedang puasa tidak membatalkan puasanya kecuali bau rokok, jika ia menciumnya dengan sengaja batallah puasanya”.
Tetapi jika asap rokok masuk ke rongga hidungnya tanpa disengaja tidak membatalkan, sebab amat sulit untuk menghindarinya dari orang yang merokok di dekat kita, tetapi sebaiknya menjauh dari perokok tersebut.
Sebagai muslim, kedatangan dan kehadiran bulan Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan suatu yang amat membahagiakan kita. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah fil Islam mengungkapkan 5 rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan, yaitu : menguatkan jiwa, mendidik kemauan, menyehatkan badan, mengenal nilai kenikmatan, mengingat dan merasakan penderitaan orang lain. Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (6)


 Rahasia puasa

Sebagai muslim, kedatangan dan kehadiran bulan Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan suatu yang amat membahagiakan kita. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah fil Islam mengungkapkan 5 rahasia puasa, antara lain : Pertama, menguatkan jiwa. Dalam hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya. Lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu dan merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi (mengendalikan) hawa nafsu. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari Allah SWT. sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Firman Allah : ”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhanya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya”. (QS. 45 : 23).
Dengan ibadah puasa, manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, sehingga memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah SWT., sabda Nabi SAW. ada tiga golongan yang tidak ditolak do’a mereka yaitu : orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizhalimi. (Tirmidzi).
Kedua, Mendidik kemauan. Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar.
Karena itu Rasulullah SAW. menyatakan : puasa itu setengah dari kesabaran. Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.
Ketiga, menyehatkan badan. Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan Rasulullah SAW., tetapi juga dibuktikan oleh para dokter atau ahli kesehatan. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.
Keempat, mengenal nilai kenikmatan. Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada mnusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya.
Maka dengan puasa, kita disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperoleh. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah mesikipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil.
Rasa syukur memang membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka se-sungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS 14 :7)
Kelima, mengingat dan merasakan penderitaan orang lain. Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya. Allah berfirman : ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (QS 9 : 103).

 Zakat Fithrah

Dalil yang menganjurkan menunaikan zakat fithrah adalah : ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan ia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”. (Al A’la : 14 – 15).
Dari Ibnu Abbas ra. berkata : ”Nabi SAW. telah mewajibkan zakat fithrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fithrah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat ’Id (hari Raya)”. (Muttafaqun ’Alaih).
Setiap muslim wajib membayar zakat fithrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha’ (+ 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam. Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat ’Id, boleh juga sehari atau dua hari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluarkan zakat fithrah setelah hari Raya. Dari Ibnu Abbas ra. : ”Nabi SAW. telah mewajibkan zakat fithrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir misikin.
”Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat ’Id, maka zakatnya diterima, dan barangsiapa yang membayarkannya setelah shalat ’Id maka ia adalah sedekah biasa”. (Abu Dawud, Ibnu Majah)(dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari).
Zakat fithrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya. Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudri ra. yang menyatakan bahwa zakat fitrah adalah lima jenis makanan pokok. (Muttafaqun ’Alaih). Dan pendapat ini adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Rasulullah SAW. juga terdapat nilai tukar mata uang, dan seandainya dibolehkan tentu Beliau memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi Beliau tidak melakukannya.
Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar (uang) adalah madzhab Hanafi. Yang menganjurkan sesuai ajaran Nabi SAW. yang mempermudah dan bertujuan membantu atau memberikan yang bermanfaat kepada fakir miskin.
Zakat fithrah tidak boleh diberikan kecuali
hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam ’Id. Barangsiapa meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya) sebelum terbenam matahari, maka ia tidak wajib membayar zakat fithrah. Tetapi jika mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia belum terlepas dari tanggungan membayar zakat fithrah).

 Hikmah zakat Fithrah

Diantara hikmah disyari’atkannya zakat fithrah adalah : zakat fithrah merupakan zakat diri, dimana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan
nikmat-Nya.
Zakat fithrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah SWT. dan bersuka cita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila Ma’rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa’di, hlm. 37).
Diantara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas ra. diatas, yaitu zakat merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.

 Hari Raya

Hari Raya adalah saat berbahagia dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Tuhannya, yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan-Nya. Allah berfirman : ”Katakanlah : Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus : 58).
Ketika Nabi SAW. tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi SAW. bersabda : ”Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, yaitu ’Idhul Fitri dan ’Idhul Adha”. (Abu Dawud, An-Nasa’i dengan sanad Hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di hari Raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas hari Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk taat kepada Allah.
Adapun yang dilakukan kebanyakan orang di saat hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan, karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari’atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Hari Raya tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari Raya adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah.
Hari Raya merupakan hari pembagian hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah hari Raya tersebut mereka mendapatkan ampunan. (Lihat Lathaa’iful Ma’arif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 255-258).

 Petunjuk Nabi di hari Raya

Pada saat hari Raya ’Idhul Fitri, Nabi SAW. mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma dengan bilangan ganjil, tiga, lima atau tujuh sebelum pergi melaksanakan shalat ’Id.
Beliau mengakhirkan shalat ’Idhul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat Fithrahnya.
Ibnu Umar sungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi SAW. tidak keluar untuk shalat ’Id kecuali setelah terbit Matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat Beliau senantiasa bertakbir.
Nabi SAW. melaksanakan shalat ’Id terlebih dahulu baru berkhutbah, dan Beliau shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama Beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar diantara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja riwayat Ibnu Mas’ud mengatakan Beliau membaca hamdalah dan memuji Allah serta membaca shalawat.
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir. Sedangkan Nabi SAW. setelah bertakbir membaca Al Fatihah dan Qaaf pada rakaat pertama serta surat Al Qomar dirakaat kedua.
Kadang-kadang Beliau membaca surat Al A’la pada rakaat pertama dan Al Ghasyiyah pada rakaat kedua. Kemudian Beliau bertakbir lalu ruku’ lanjutkan takbir 5 kali pada rakaat kedua lalu membaca Al Fatihah dan surat lain. Setelah selesai Beliau menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu Beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
Beliau selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang shalat ’Id, dan selalu mandi sebelumnya.
Nabi SAW. senantiasa memulai setiap khutbahnya dengan hamdalah dan bersabda : ”Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka ia terputus (dari berkah)”. (Ahmad dan lainnya).
Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata : ”Bahwasanya Nabi SAW. menunaikan shalat ’Id dua rakaat tanpa disertai shalat yang lainnya baik sebelum maupun sesudahnya”. (Bukhari, Muslim dan yang lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ’Id itu hanya dua rakaat, demikian pula mengisyaratkan tidak ada shalat sunnah yang lain, apalagi qobliyah dan ba’diyah. Kalaupun ada shalat tahiyyatul masjid atau dhuha itu perkara lain. Wallahu a’lam