Minggu, 26 April 2009

Menghormati Ulama Merupakan Bagian Dari Rasa Syukur kepada Allah

Kenabian dan kerasulan telah berakhir dengan dipanggilnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak ada Nabi dan rasul setelah beliau, tetapi beliau telah meninggalkan pada umat dua pusaka sebagai rujukan dalam perkara-perkara agama dan dunia, yaitu al-Qur`an dan sunnah. Pada saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau adalah penjelas dan penerang keduanya bagi umat, peranan yang setelah beliau wafat tetap tidak terhenti karena ia diambil alih oleh para ulama yang berperan sebagai pewaris para Nabi. Mereka inilah yang kemudian memberi penjelasan dan bimbingan kepada umat dalam perkara-perkara yang dibutuhkan dengan rujukan dua pusaka peninggalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut.
Dari sini terbaca dengan terang peranan, usaha dan jasa mereka kepada umat, tanpa mereka tidak sedikit sisi-sisi dan bagian-bagian dari al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih samar dan rancu bagi kita, kesamaran dan kerancuan ini terangkat dan tertepis dengan syarah yang mereka ketengahkan, dan apa yang mereka lakukan hanya sebatas ini, walaupun demikian itu sudah merupakan jasa baik tinggi yang sulit bagi umat untuk membalasnya selain dengan memohonkan ampunan dan rahmat kepada Allah untuk mereka.
Menghormati dan menghargai ulama adalah hak wajib di pundak setiap muslim sebagai salah satu bukti berterima kasih kepada pemilik keutamaan yang merupakan bagian dari bersyukur kepada Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami, tidak mengakui kemulian orang tua kami serta tidak mengetahui hak ulama kami.” (Sanadnya dihasankan oleh Syaikh al-Arnauth dalam tahqiq Riyadhus Shalihin).
Kita di zaman di mana penghormatan kepada orang tua mulai menipis dan menyusut, lebih-lebih penghargaan dan penghormatan kepada para ulama, orang-orang zaman ini jauh lebih menghargai pemegang dunia, pemegang kekuasaan dan pemegang harta benda, sementara para ulama tercecer di urutan bawah. Jika ada seorang pemimpin hadir di suatu tempat maka orang-orang akan berdesak-desakan untuk menghadap dengan penuh hormat dan rendah diri. Jika ada hartawan tiba di suatu daerah maka hal yang sama akan terjadi. Terbalik perkaranya jika yang hadir adalah seorang pembawa ilmu, pemegang kunci akhirat, hanya segelintir orang yang hadir berkerumun untuk mengambil ilmu dari yang bersangkutan.
Melihat realita yang demikian, penulis hendak memaparkan sebagian kecil dari sikap salaf shalih terhadap para pemegang ilmu sekaligus pewaris para Nabi yaitu ulama dengan harapan membuka mata sebagian orang, sebagian karena semuanya tidak mungkin sebab mereka lebih memilih menutup mata, terhadap kewajiban mulia yang dengannya mereka mendapatkan barokah ilmu dari mereka.
Dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah bahwa Ibnu Abbas berdiri kepada Zaid bin Tsabit, maka dia memegang tali kekang kendaraannya, Zaid berkata, “Minggirlah wahai sepupu Rasulullah.” Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah kami melakukan kepada ulama-ulama dan orang-orang besar kami.”
Zaid bin Tsabit adalah salah satu ulama senior dari kalangan sahabat, ilmunya menyebar luas di kalangan para pemuda sahabat yang menjadi muridnya dan salah satu dari mereka adalah Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnu Abbas melakukan ini sebagai sebuah penghargaan terhadapnya yang telah memberinya banyak ilmu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ibrahim bin Ishaq al-Harbi berkata, Atha` bin Abu Rabah salah seorang murid Ibnu Abbas adalah seorang hamba hitam milik seorang wanita penduduk Makkah, hidungnya seperti cabe. Ibrahim berkata, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik datang kepadanya bersama dua orang anaknya, mereka duduk menunggunya yang sedang shalat, selesai shalat Atha` menghadap kepada mereka, lalu mereka bertanya tentang manasik haji, mereka terus bertanya padahal Atha` telah memberikan punggungnya kepada mereka alias berlalu. Maka Sulaiman berkata kepada kedua anaknya, “Wahai anakku, jangan malas mencari ilmu, aku tidak akan pernah melupakan kerendahan kita di hadapan hamba sahaya hitam ini.”
Lihatlah, seorang Amirul Mukminin, kepala negara rela merendahkan diri di hadapan seorang hamba sahaya hitam, kalau bukan karena dia adalah seorang ulama maka kepala negara manakah yang sudi melakukan itu? Bahkan seandainya dia seorang ulama pun, tetap tidak sedikit pemimpin zaman ini yang tidak rela melakukan hal ini. Jangankan seperti ini, yang kurang dari itu saja banyak yang tidak berkenan.
Umar bin Mudrik berkata, al-Qasim bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami, Asy’ats bin Syu’bah menyampaikan kepada kami, dia berkata, Harun al-Rasyid datang ke ar-Riqqah, maka orang-orang berduyun-duyun di belakang Abdullah bin al-Mubarak, debu beterbangan karena banyaknya orang, lalu salah seorang hamba sahaya Harun melongok dari menara istana, dia bertanya, “Ada apa?” Orang-orang menjawab, “Seorang ulama dari Khurasan datang.” Maka hamba sahaya tersebut berkata, “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya bukan kerajaan Harun yang tidak mengumpulkan manusia kecuali dengan tentara dan pembantu.”
Benar, kerajaan ulama yang hakikinya lebih mulia daripada kerajaan dunia, kerajaan ini terlihat pada suatu kaum yang mengetahui kadar mulianya, sebaliknya di kalangan suatu kaum seperti zaman ini, kerajaan seperti ini ibarat mutiara dalam lumpur. Hanya orang yang jeli yang mengetahui harganya, maka lumpur tidak menghalanginya untuk mengambilnya.
Ibnu Basykuwal berkata, aku menukil dari kitab Ibnu Attab bahwa Ibrahim al-Harbi adalah seorang laki-laki shalih dari kalangan para ulama, suatu hari dia mendengar bahwa beberapa orang yang biasa duduk bersamanya mengunggulkannya di atas Ahmad bin Hanbal, maka dia meminta konfirmasi mereka, mereka mengakui maka Ibrahim berkata, “Kalian telah menzhalimiku dengan mengunggulkanku di atas seorang laki-laki di mana aku tidak bisa menyamainya dan menandinginya dalam kondisi apa pun, aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan menyampaikan ilmu apa pun kepada kalian selamanya, jangan datang kepadaku setelah hari ini.”
Teladan baik, seorang ulama tidak berkenan bahkan marah pada saat dia diunggulkan atas yang lain, karena perkaranya belum tentu demikian. Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar dirinya. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ada ungkapan, jika seseorang bertemu dengan orang lain yang ilmunya lebih tinggi maka ia adalah hari ghanimah (keberuntungan), jika dia bertemu orang yang semisalnya maka dia berdiskusi dan belajar darinya, jika dia bertemu orang yang lebih rendah ilmunya maka dia bertawadhu’ kepadanya dan mengajarinya. Wallahu a’lam



Dosa dan Taubat



Apa sebab yang mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga? Tempat yang penuh kenikmatan, kesenangan, dan kegembiraan untuk beralih ketempat yang penuh penderitaan, kesedihan, dan musibah?
Apa yang menenggelamkan semua penduduk bumi hingga air meluap ke puncak gunung? Apa yang mendatangkan angin terhadap kaum ‘Ad sehingga mayat-mayat bergelimpangan di muka bumi?
Apa yang menyebabkan suara petir dan halilintar menjadikan jantung-jantung kaum Tsamud putus hingga mereka pun menemui ajalnya?
Dosa merupakan sebab turunnya
siksa Allah di dunia. Apapun musibah yang menimpa hamba, maka penyebabnya adalah kejahatan yang telah diperbuatnya. Ini adalah penegasan terhadap pelaku dosa agar mereka termotivasi untuk meninggalkan dosa. Betapa banya orang yang meremehkan urusan akhirat, disebabkan kebodohannya, ia pun seenaknya melakukan perbuatan dosa di dunia. Dosa menjadi sebab disegerakannya siksa di dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya hamba itu benar-benar tidak mendapatkan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.”
(HR. Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, dan
Al-Baghawy).
Dosa merupakan tabir hitam yang bisa menghalangi seseorang dari rahmat dan karunia Allah Ta’ala. Oleh karena itu, menjauhkan diri dari dosa merupakan suatu hal yang wajib. Bagi seseorang yang terlanjur melakukan perbuatan dosa, maka wajib baginya untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Kewajiban Bertaubat

Taubat wajib dilakukan secara terus-menerus sebab manusia tidak pernah luput dari dosa dan kedurhakaan. Hampir setiap saat manusia melakukan perbuatan dosa. Jika dia selamat dari perbuatan dosa berupa fisik, maka belum tentu dia selamat dari dosa batiniah. Sungguh rahmat Allah Ta’ala begitu luas, sehingga Allah akan selalu menerima taubat hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi dia belum sekarat.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dll.)

Syarat-Syarat Taubat

Diantara syarat-syarat taubat yang sebenarnya adalah keteguhan hati untuk tidak kembali melakukan dosa-dosa dimasa yang akan datang. Ia harus benar-benar menanamkan keteguhan ini di dalam hatinya. Taubat merupakan ungkapan penyesalan atas segala kedurhakaan yang telah dilakukan manusia. Penyesalan dapat ditandai dengan kesedihannya yang berlarut-larut dan disertai tangisan. Setiap dosa yang dilakukan, maka hendaklah diiringi dengan amal sholeh karena amal sholeh akan menghapus dosa-dosa. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114).

Obat Ketagihan Terhadap Dosa

Kelalaian dan nafsu merupakan penyebab utama seseorang ketagihan terhadap dosa. Kelalaian merupakan pangkal kesalahan. Oleh karena itu, obatnya adalah dengan merasakan manisnya ilmu dan berusaha mencicipi pahitnya kesabaran. Tanpa ilmu dan sabar, maka seseorang akan sulit untuk mengobati candu dosa yang ada dalam dirinya.
Perlu diketahui bahwa suatu perbuatan dosa akan mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan dosa lainnya. Perbuatan dosa memang ibarat candu yang sulit bagi seseorang yang telah terbiasa berbuat dosa untuk lepas darinya. Seseorang yang terbiasa berzina, maka dia akan sulit untuk lepas dari berbuat zina. Bila seseorang terbiasa berjudi, maka sulit baginya untuk menghilangkan kebiasan judi.
Seseorang telah membentuk kebiasaannya, maka kebiasaan itulah yang kelak akan menjadi kepribadiannya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar