Minggu, 26 April 2009

Serba-Serbi Perdagangan Yang Dilarang Syari’at

Jual beli yang menyita waktu ibadah

Dalam hal ini si pedagang waktunya habis untuk berjualan dan membeli barang dagangan (kulak). Sehingga terlambat dalam menunaikan shalat berjamaah di masjid, atau menunaikan-nya di akhir waktu dan tak jarang sampai kehilangan waktu shalat.
Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al jumuah:9)
Juga firmanNya yang lain, artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS: Almunafiqun: 9)
Perhatikan firmanNya: “Maka mereka itulah orang-orang yang rugi”, disini Allah menghukumi mereka dengan “kerugian” walau secara lahirnya menangguk keuntungan dan laba yang banyak. Hal ini disebabkan harta dan anak-anaknya yang banyak tidak akan bisa menggantikan waktu shalat dan dzikrullah yang ia tinggalkan, dan inilah kerugian yang sebenarnya. Keuntungan bagi seorang muslim hanyalah jika dapat mengumpulkan dua kebaikan, yakni mencari rizki dan beribadah, artinya berjual beli pada waktunya, dan ketika datang waktu shalat ia menunaikan pada waktunya.
Perdagangan itu ada dua macam, dunia dan akhirat. Perdagangan dunia dengan harta dan kerja, sedang perdagangan akhirat dengan amal ibadah yang shaleh.
Firman Allah QS: As Shaf 10:11
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.”
Inilah perdagangan yang sangat besar dan tak terbanding jika diukur dengan perdagangan dunia. Maka Allah menyebut sebagai orang yang rugi jika sibuk mengurusi pedagangan dunia dan meninggalkan perdagangan akhirat.
Sebagian orang mengira bahwa shalat hanya mengurangi efektifitas kerja atau berdagang, sebab akan membuang waktu. Padahal yang benar adalah sebaliknya ia akan membuka pintu rizki, kemudahan dan keberkahan, sebab rizki itu di tangan Allah, jika seseorang mengingatNya (berdizikir) dan beribadah kepadaNya, dengan izinNya Allah akan mempermudah dan membuka pintu rizki untuknya.
Allah berfirman: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. 24:37)

Jual beli barang haram

Ketika Allah mengharamkan sesuatu maka harga (nilai) dari barang itu juga haram, jadi barang haram tidak boleh diperjualbelikan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual bangkai, khomer, babi dan patung.
Mengenai khomer, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah melaknat khamer, yang memeras / membuatnya, yang minta diperaskan, yang menjualnya, yang membelinya, yang meminumnya, yang memakan hasil penjualannya, yang membawakannya , yang dibawakan kepadanya dan yang menuangkannya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Khamer adalah segala sesuatu yang memabukkan dan menghilangkan akal, apapun jenis dan mereknya. Termasuk dalam hal ini adalah segala jenis narkoba, ganja, ophium,kokain, heroin dan sebagainya bahkan ini semua lebih parah lagi. Demikian pula jual beli rokok, mengingat keberadaannya yang membahayakan, mengganggu orang lain, juga menyia-nyiakan harta.
Semua orang, termasuk pihak yang memproduksinya sepakat bahwa rokok adalah tidak baik dari semua segi. Jual beli alat-alat musik Seperti drum, gitar dan lain sebagainya yang biasa dipakai para musisi untuk mengiringi suatu nyanyian.
Jual beli gambar (makhluk hidup) dan patung baik dalam rupa binatang ternak, kuda, burung maupun manusia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat para perupa dan memberitahukan bahwa mereka termasuk orang yang berat siksanya di hari kiamat.
Jual beli kaset-kaset yang berisi lagu-lagu tentang syahwat dan cinta Lebih-lebih kaset film yang berbau pornografi, di dalamnya hanya berisikan percintaan, pacaran dan percumbuan yang dapat mempengaruhi para remaja dan menggiring mereka kepada akhlak
dan perilaku yang buruk.
Menjual sesuatu/benda yang diketahui akan digunakan untuk sesuatu yang dilarang, Karena termasuk tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, seperti menjual anggur yang di ketahui akan diolah menjadi khomer, atau menjual senjata yang akan digunakan untuk merampok ,membunuh orang dan sebagainya.Lebih-lebih jika untuk menyerang atau mencelakai kaum muslimin.
Menjual sesuatu yang tidak dimiliki
Yaitu jika ada seseorang ingin membeli suatu barang tertentu,sedang sipenjual tidak memiliki barang tersebut. Lalu keduanya sepakat menentukan suatu harga, baik cash ataupun tempo, namun barang tersebut masih belum ada, baru setelah itu sipenjual pergi mencari barang yang dimaksudkan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hakim bin Hizam Radhiallaahu ‘anhu yang bertanya tentang jual beli seperti ini: “Janganlah menjual barang yang tidak kau miliki.” (HR. Abu Daud)
Baiul ‘Inah / jual beli iinah Yaitu kita menjual sesuatu barang kepada orang lain dengan sistim tempo, kemudian setelah itu barang tersebut kita beli lagi dengan cash namun dengan harga yang lebih murah dari pada harga pertama waktu kita jual. Ini termasuk katagori riba, sedang barang dagangan disini hanya sebagai wasilah / perantara. Hendaknya orang tersebut menjual barang itu kepada orang lain, bukan kepada kita.
Bai’un Najasy / jual beli najasy
Yaitu sipenjual menawarkan barang kepada pembeli dan terjadi tawar menawar, tiba-tiba datang orang lain menawar dengan harga yang lebih tinggi, padahal ia tidak ingin membelinya, namun hanya sekedar menaikan harga. Biasanya sudah ada kesepakatan antara penjual dan pihak ketiga tersebut. Berdagang seperti ini termasuk jenis penipuan, termasuk juga penjual yang mengatakan: “Si fulan telah membelinya dengan harga sekian, atau kemarin ku lepas dengan harga ini,” padahal sebenarnya tidak.
Merusak transaksi dagang sesama muslim. Misalnya, jika ada orang ingin membeli sesuatu produk kepada salah satu pedagang, lalu keduanya menentukan khiyar (masa transaksi) dua atau tiga hari. Maka pedagang yang lain tidak boleh ikut campur disitu dan mengatakan: “Jangan beli sama dia, namun beli saja sama saya, barangnya sama bahkan lebih bagus dan harganya saya beri lebih murah.”
Demikian juga pembeli tidak boleh membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan mengatakan akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
Menipu dalam berdagang Yakni penjual menjual barang yang cacat dan ia tahu itu, namun tidak memberitahukan kepada pembelinya. Demikian pula orang yang menjual makanan atau buah-buahan dengan meletakkan yang masih bagus di bagian atas sebagai penarik, lalu ketika ada yang beli diambilkan yang buruk yang ada dibawahnya.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua orang penjual – pembeli punya hak memilih selagi belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling menjelaskan keduanya mendapatkan barokah dalam jual belinya. Dan jika keduanya berdusta dan saling menyembunyikan di cabut barokah dari jual belinya.” (HR Al Bukhari - Muslim)

Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Jual Beli
Dan Adab-adabnya (1)


• Diwajibkan mencari nafkah halal, dengan cara halal. (Al-Qur’an – Baihaqi)
• Diantara cirri-ciri umat akhir zaman adalah tidak mempedulikan lagi penghasilannya ; halalkah atau haram. (Bukhari)
• Jual beli itu halal. Dan riba dengan segala bentuknya itu haram. (Al-Qur’an)
• Berbuat riba lebih berdosa dari pada 36 orang pelacur. (Ahmad)
• Hendaknya berhati-hati dalam berjual beli. Karena diantara halal dan haram terdapat yang syubhat atau meragukan. (Bukhari)
• Jangan melalaikan zikrullah selama berjual beli. (Al-Qur’an - Thabrani)
• Sebelum terjun dalam perdagangan sangat dianjurkan agar lebih dahulu memahami masalah-masalah agama yang behubungan dengan perdagangan. Umar ra. tidak mengizinkan orang yang belum memahami agama dalam masalah jual beli untuk memasuki pasar dan mengadakan jual beli di dalamnya. (Tirmidzi)
• Hendaknya jujur dalam berjual beli, baik pedagang maupun pembeli. Jujur dalam jual beli menyebabkan berkah pada harta dan penghasilan. (Bukhari)
• Hendaknya memiliki sifat amanah dalam berdagang. (Thabrani)
• Jangan lupa menafkahkan sebagian keuntungan untuk fisabilillah. (Al-Qur’an)
• Tidak ada paksaan dalam jual beli. Jika suka boleh membelinya, jika tidak suka boleh meninggalkannya. (Bukhari, Muslim, Ibnu Majah)
• Boleh jual beli dengan cara lelang. (Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah)

Yang Tidak Dibolehkan Dalam Jual Beli

• Dilarang mencegat barang dagangan di tengah jalan untuk dijual sendiri. (Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah)
• Dilarang menjual kembali barang yang telah dibeli sebelum diterimanya. (Daruquthni)
• Dilarang menawar / membeli barang yang dalam tawaran orang lain. (Muslim)
• Haram tipu menipu dalam jual beli. (Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah)
• Tidak halal perdagangan yang tidak menerangkan cacat barangnya jika ternyata cacat. (Ahmad)
• Jangan menawar barang dagangan sebelum Shubuh. (Ibnu Majah, Hakim)

Ulama Ahli Ibadah Juga Manusia

Manusia adalah manusia, seluas apa pun ilmunya, sedalam apa pun pengetahuannya, setinggi apa pun kemuliaannya, sekuat apa pun ibadahnya dan sebesar apa pun ketakwaannya, dia tetap manusia yang tidak akan pernah keluar dari lingkaran kemanusiaan. Sama dengan manusia lainnya, terjadi padanya apa yang terjadi pada manusia; marah, rela, suka, benci, sedih, bahagia, tertawa, menangis, benar, salah, takut, berharap, menerima, menolak dan seterusnya. Hal seperti ini tidak seorang pun terlepas darinya termasuk seorang ulama ahli ibadah.
Ini adalah salah satu kisah Bani Israil yang disampaikan oleh seorang yang masuk Islam di kalangan mereka. Kisah ini tentang seorang ulama Bani Israil yang istrinya meninggal dunia, maka dia memutuskan untuk menyendiri, menutup diri dari masyarakat karena kesedihannya yang sangat. Lalu ada seorang wanita yang nekad menemuinya. Wanita ini membuat perumpamaan yang menggambarkan keadaannya tanpa dia menyadari. Maka ulama ini bisa mengambil manfaat dari perumpamaan yang dibuat wanita itu. Dia membuang kesedihannya dan kembali bergaul dengan orang-orang.
Imam Malik dalam al-Muwattha' meriwayatkan dari Yahya bin Said dan al-Qasim bin Muhammad bahwa dia berkata, "Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mendatangiku bertakziyah. Muhammad berkata, "Di kalangan Bani Israil terdapat seorang fakih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia beristri, dia mengagumi dan mencintai istrinya. Istrinya wafat, dia sangat bersedih karenanya dan sangat menyesalinya sampai dia menyendiri di rumah dan menutup diri, menghindari orang-orang. Tidak seorang pun yang menemuinya.
Ada seorang wanita yang mendengarnya, dia mendatanginya dan berkata, “Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.” Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu, wanita ini berkata, “Aku harus bertemu dengannya.”
Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu bahwa ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata, “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu. ‘Alim itu berkata, “Suruh dia masuk.” Wanita itu masuk dan berkata, “Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.” Alim itu bertanya, “Apa itu?”
Wanita ini berkata, “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikannya?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Wanita itu berkata, “Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.” Laki-laki itu menjawab, “Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikannya.” Wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu, apakah kamu menyesali apa yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu.” Laki-laki ‘alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini berguna baginya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya: Muwattha', Kitabul Janaiz Bab al-Ihtisab min al-Mushibah nomor 43. Syaikh Syuaib al-Arnauth berkata tentang hadits ini dalam Jami'ul Ushul (6/339), "Sanad kepada Muhammad bin Kaab al-Qurazhi shahih."

Syarah

Muhammad bin Kaab al-Qurazhi mengunjungi al-Qasim bin Muhammad menghiburnya dalam rangka wafatnya istri. Maka Muhammad menceritakan kisah seorang laki-laki ahli ibadah dan agama dari Bani Israil yang ditinggal wafat oleh istrinya yang sangat dikagumi dan dicintainya. Maka laki-laki itu sangat bersedih. Saking sedihnya dia menyendiri, mengucilkan diri dari orang-orang dan tidak mau ditemui oleh siapa pun.
Datanglah seorang wanita yang hendak menemuinya meminta fatwanya. Wanita ini menunggu di pintunya. Dia menolak mengatakan masalahnya, dia ngotot harus berbicara langsung. Ketika dia bertemu, dia bertanya tentang suatu kaum yang meminjaminya perhiasan yang banyak dan baik. Dia memakainya dan meminjamkannya. Kemudian pemiliknya memintanya, apakah dia wajib mengembalikannya?
Laki-laki ini terkejut dengan sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat mudah, dia menjawab harus dikembalikan.
Padahal wanita ini hanyalah membuat perumpamaaan perhiasan yang dipinjam dengan istrinya. Istri berada di sisinya sebagai pinjaman dan semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan pinjaman. Harta, keluarga dan anak-anak. Allah pasti mengambil kembali titipanNya. Manakala wanita ini mengarahkan pandangan laki-laki itu kepada persamaan antara keadaannya dengan keadaan perhiasan pinjaman, maka dia tersadar dan mengoreksi kekeliruannya.

Faidah

1. Seorang ulama bisa lalai terhadap apa yang mereka ketahui dan mengerti sebagaimana alim fakih ini lalai terhadap kewajiban bersabar pada waktu turunnya musibah yang diketahui oleh semua orang.
2. Bahwa apa yang Allah ambil hanyalah apa yang Dia titipkan kepada kita. Dia adalah pemiliknya sejati, kapan Dia mengambil dan bagaimana Dia mengambil adalah terserah Dia.
3. Orang pandai lagi berakal agar menunjukkan kesalahan dan kelalaian orang lain seperti yang dilakukan oleh wanita ini terhadap alim itu. Ilmu dan pemahaman bukan monopoli kaum laki-laki saja. Tetapi dimiliki bersama. Wanita ini telah menyadarkan laki-laki alim.
4. Tidak ada halangan bagi wanita berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia jika dia bisa menjaga diri dari mudharat dan tidak terjerumus ke dalam hal yang diharamkan.
5. Pentingnya membuat perumpamaan. Perumpamaan menghilangkan syubhat, melenyapkan kesulitan, meluruskan orang yang melenceng dan memberi nasehat kepada orang yang sesat dengan cara yang halus namun mengena.
6. Menghibur orang-orang dengan berita orang-orang terdahulu yang sama dengan keadaan orang yang diberi nasehat. Wallahu a'lam.

Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Kepada Ulama Dan Adab-adabnya


Keutamaan

• Orang-orang sholeh itu dalam jaminan Allah. Siapa yang mengganggu mereka, akan dituntut oleh Allah SWT. (Muslim)
• Jangan meremehkan ulama atau orang sholeh. Barangsiapa meremehkan orang sholeh, lenyaplah (keutamaan) akheratnya. (Sofyan bin Uyainah Ra.)
• Jangan sekali-kali membenci ulama sholeh. Barangsiapa memusuhinya, Allah menyatakan perang dengannya. (Bukhari)

Mendatangi ulama

• Barangsiapa menziarahi ulama dengan ikhlas karena Allah, maka ia akan diseru, “Selamat bagimu. Selamat perjalananmu, dan selamat menjadi penduduk Surga”. (Tirmidzi)
• Barangsiapa duduk bersama ulama, maka akan bertambah ilmu ma’rifatnya. (Abu Laits Samarqandi)
• Diantara keutamaan menziarahi ulama adalah sabda Rasulullah SAW., “Orang-orang yang belajar dan hilir mudik ke pintu orang ‘alim, Allah mencatat baginya setiap huruf dan setiap langkah sama dengan ibadah satu tahun, dibangunkan untuknya sebuah kota di Surga, bumi senantiasa memohon ampun baginya dan ia terbebas dari adzab Neraka”. (Abu Laits Samarqandi)

Bergaul dengan ulama

• Tanda mencintai ulama adalah banyak bergaul dengan mereka. (Bukhari, Muslim)
• Bersahabat dengan ulama, mengakibatkan dibangkitkan bersama mereka di akherat. (Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)
• Barangsiapa mencintai ulama, berarti mencintai Rasulullah SAW. dan barangsiapa mencintai Rasulullah SAW., berarti mencintai Allah. (Abu Laits Samarqandi)
• Dianjurkan agar mendekati ulama yang mengajarkan kepada empat perkara yaitu:
1. Dari keragu-raguan kepada keyakinan
2. Dari takabur kepada tawadhu’ (rendah hati)
3. Dari permusuhan kepada nasehat
4. Dari rakus dunia kepada zuhud. (Abu Laits Samarqandi)
• Barangsiapa duduk bersama ulama, tetapi ia tidak bisa menghafal ilmu darinya Allah tetap akan memberinya tujuh kemuliaan, yaitu :
1. Keutamaan orang belajar
2. Terhindar dari dosa, selama ia duduk di majelis itu
3. Diturunkan rahmat, ketika ia mengunjungi rumah ulama itu
4. Diturunkan berkah padanya, selama mendengarkan ulama itu
5. Para malaikat membentangkan sayap baginya
6. Setiap langkahnya akan menaikkan satu derajat, menghilangkan satu dosa dan menambah kebaikan. (Abu Laits Samarqandi)
• Hendaklah bersabar dalam bergaul dengan ulama. (Al-Kahfi : 28)
• Dianjurkan agar meminta do’a istighfar dan nasehat dari ulama shalihin. (Muslim)
• Umara’ pun hendaknya senantiasa mendekati ulama dan meminta do’a dan istighfar dari mereka. (Muslim)
* Seperti Umar bin Khattab Ra. Meminta do’a dan istighfar dari Uweis Al-Qarni
• Hendaklah meminta kepada alim ulama sholeh agar nama kita disertakan dalam do’a-do’a mereka. (Abu Dawud)
• Dianjurkan agar berlindung kepada Allah dari ‘abid yang jahil, dan ulama yang fajir (pendosa). (Abu Sufyan)

Berkhidmad dan menghormati ulama

• Wajib menghormati ulama. Barangsiapa tidak menghormati ulama, bukan umat Rasulullah SAW. (Bukhari, Muslim)
• Sebaiknya jangan menduduki tempat yang biasa diduduki oleh ulama tanpa seizinnya. (Muslim)
• Tanda penghormatan dan cinta kepada seseorang (ulama) adalah mentaati ajarannya. (Ali Imran : 31)
• Dianjurkan agar sesering mungkin memberi makan kepada ulama sholeh dan bertaqwa. (Abu Dawud, Tirmidzi)
• Hendaknya mendahulukan mereka dalam pemberian. (Bukhari, Muslim)
• Sunnah memberikan tempat di belakang imam kepada ulama ketika shalat berjemaah. (Muslim)
• Hendaklah menahan diri ketika berbicara didepan ulama. (Bukhari, Muslim)
• Hendaklah mendahulukan ulama dalam menerima jenazah di liang lahat. (Bukhari, Muslim)

Tipe ulama

• Dianjurkan agar membedakan antara ulama dan bukan ulama dalam segi penghormatan. (Az Zumar : 9)
• Disunnahkan agar lebih mendahulukan yang lebih pandai dalam Al-Qur’an. Jika sama, maka yang lebih paham mengenai sunnah Rasulullah SAW., Jika sama, maka yang lebih dahulu berhijrah. Jika sama, maka yang lebih tua usianya. (Muslim)
• Hati-hatilah dan jauhilah ulama yang menjilat penguasa dan rakus terhadap dunia karena mereka adalah pengkhianat. (Abu Laits Samarqansi)

Kepada guru

• Ada tiga pandangan yang bernilai ibadah, yaitu :

1. Memandang muka orang alim
2. Memandang ka’bah
3. Memandang mushaf. (Abu Laits Samarqandi)

• Penuntut ilmu disunnahkan untuk selalu mendo’akan para ulama dan gurunya. (Ahmad bin Hambal)
• Tiga hal yang menjadikan ilmu seseorang bermanfaat :
1. Tawadhu’
2. Semangat belajar
3. Menjaga adab terhdap ulama. (Abu Nashr Samarqandi)

• Ilmu itu mesti didatangi. (Ibnu Malik).
* Artinya kita mesti mendatangi guru, bukan kita yang mengundang guru untuk mengajar kita.
• Hendaknya sering duduk dengan ulama dan sholihin. Dan jangan sering duduk dengan remaja, anak kecil, orang bodoh, karena hal itu dapat menghilangkan kewibawaan. (Abu Nashr Samarqandi)
• Empat hal yang dapat menambah kecerdasan akal, yaitu :
1. Meninggalkan perkataan sia-sia
2. Bersiwak
3. Duduk dengan orang-orang sholeh
4. Duduk dengan para ulama. (Al-Ghazali)

Menghormati Ulama Merupakan Bagian Dari Rasa Syukur kepada Allah

Kenabian dan kerasulan telah berakhir dengan dipanggilnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak ada Nabi dan rasul setelah beliau, tetapi beliau telah meninggalkan pada umat dua pusaka sebagai rujukan dalam perkara-perkara agama dan dunia, yaitu al-Qur`an dan sunnah. Pada saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau adalah penjelas dan penerang keduanya bagi umat, peranan yang setelah beliau wafat tetap tidak terhenti karena ia diambil alih oleh para ulama yang berperan sebagai pewaris para Nabi. Mereka inilah yang kemudian memberi penjelasan dan bimbingan kepada umat dalam perkara-perkara yang dibutuhkan dengan rujukan dua pusaka peninggalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut.
Dari sini terbaca dengan terang peranan, usaha dan jasa mereka kepada umat, tanpa mereka tidak sedikit sisi-sisi dan bagian-bagian dari al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih samar dan rancu bagi kita, kesamaran dan kerancuan ini terangkat dan tertepis dengan syarah yang mereka ketengahkan, dan apa yang mereka lakukan hanya sebatas ini, walaupun demikian itu sudah merupakan jasa baik tinggi yang sulit bagi umat untuk membalasnya selain dengan memohonkan ampunan dan rahmat kepada Allah untuk mereka.
Menghormati dan menghargai ulama adalah hak wajib di pundak setiap muslim sebagai salah satu bukti berterima kasih kepada pemilik keutamaan yang merupakan bagian dari bersyukur kepada Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami, tidak mengakui kemulian orang tua kami serta tidak mengetahui hak ulama kami.” (Sanadnya dihasankan oleh Syaikh al-Arnauth dalam tahqiq Riyadhus Shalihin).
Kita di zaman di mana penghormatan kepada orang tua mulai menipis dan menyusut, lebih-lebih penghargaan dan penghormatan kepada para ulama, orang-orang zaman ini jauh lebih menghargai pemegang dunia, pemegang kekuasaan dan pemegang harta benda, sementara para ulama tercecer di urutan bawah. Jika ada seorang pemimpin hadir di suatu tempat maka orang-orang akan berdesak-desakan untuk menghadap dengan penuh hormat dan rendah diri. Jika ada hartawan tiba di suatu daerah maka hal yang sama akan terjadi. Terbalik perkaranya jika yang hadir adalah seorang pembawa ilmu, pemegang kunci akhirat, hanya segelintir orang yang hadir berkerumun untuk mengambil ilmu dari yang bersangkutan.
Melihat realita yang demikian, penulis hendak memaparkan sebagian kecil dari sikap salaf shalih terhadap para pemegang ilmu sekaligus pewaris para Nabi yaitu ulama dengan harapan membuka mata sebagian orang, sebagian karena semuanya tidak mungkin sebab mereka lebih memilih menutup mata, terhadap kewajiban mulia yang dengannya mereka mendapatkan barokah ilmu dari mereka.
Dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah bahwa Ibnu Abbas berdiri kepada Zaid bin Tsabit, maka dia memegang tali kekang kendaraannya, Zaid berkata, “Minggirlah wahai sepupu Rasulullah.” Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah kami melakukan kepada ulama-ulama dan orang-orang besar kami.”
Zaid bin Tsabit adalah salah satu ulama senior dari kalangan sahabat, ilmunya menyebar luas di kalangan para pemuda sahabat yang menjadi muridnya dan salah satu dari mereka adalah Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnu Abbas melakukan ini sebagai sebuah penghargaan terhadapnya yang telah memberinya banyak ilmu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ibrahim bin Ishaq al-Harbi berkata, Atha` bin Abu Rabah salah seorang murid Ibnu Abbas adalah seorang hamba hitam milik seorang wanita penduduk Makkah, hidungnya seperti cabe. Ibrahim berkata, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik datang kepadanya bersama dua orang anaknya, mereka duduk menunggunya yang sedang shalat, selesai shalat Atha` menghadap kepada mereka, lalu mereka bertanya tentang manasik haji, mereka terus bertanya padahal Atha` telah memberikan punggungnya kepada mereka alias berlalu. Maka Sulaiman berkata kepada kedua anaknya, “Wahai anakku, jangan malas mencari ilmu, aku tidak akan pernah melupakan kerendahan kita di hadapan hamba sahaya hitam ini.”
Lihatlah, seorang Amirul Mukminin, kepala negara rela merendahkan diri di hadapan seorang hamba sahaya hitam, kalau bukan karena dia adalah seorang ulama maka kepala negara manakah yang sudi melakukan itu? Bahkan seandainya dia seorang ulama pun, tetap tidak sedikit pemimpin zaman ini yang tidak rela melakukan hal ini. Jangankan seperti ini, yang kurang dari itu saja banyak yang tidak berkenan.
Umar bin Mudrik berkata, al-Qasim bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami, Asy’ats bin Syu’bah menyampaikan kepada kami, dia berkata, Harun al-Rasyid datang ke ar-Riqqah, maka orang-orang berduyun-duyun di belakang Abdullah bin al-Mubarak, debu beterbangan karena banyaknya orang, lalu salah seorang hamba sahaya Harun melongok dari menara istana, dia bertanya, “Ada apa?” Orang-orang menjawab, “Seorang ulama dari Khurasan datang.” Maka hamba sahaya tersebut berkata, “Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya bukan kerajaan Harun yang tidak mengumpulkan manusia kecuali dengan tentara dan pembantu.”
Benar, kerajaan ulama yang hakikinya lebih mulia daripada kerajaan dunia, kerajaan ini terlihat pada suatu kaum yang mengetahui kadar mulianya, sebaliknya di kalangan suatu kaum seperti zaman ini, kerajaan seperti ini ibarat mutiara dalam lumpur. Hanya orang yang jeli yang mengetahui harganya, maka lumpur tidak menghalanginya untuk mengambilnya.
Ibnu Basykuwal berkata, aku menukil dari kitab Ibnu Attab bahwa Ibrahim al-Harbi adalah seorang laki-laki shalih dari kalangan para ulama, suatu hari dia mendengar bahwa beberapa orang yang biasa duduk bersamanya mengunggulkannya di atas Ahmad bin Hanbal, maka dia meminta konfirmasi mereka, mereka mengakui maka Ibrahim berkata, “Kalian telah menzhalimiku dengan mengunggulkanku di atas seorang laki-laki di mana aku tidak bisa menyamainya dan menandinginya dalam kondisi apa pun, aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan menyampaikan ilmu apa pun kepada kalian selamanya, jangan datang kepadaku setelah hari ini.”
Teladan baik, seorang ulama tidak berkenan bahkan marah pada saat dia diunggulkan atas yang lain, karena perkaranya belum tentu demikian. Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar dirinya. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ada ungkapan, jika seseorang bertemu dengan orang lain yang ilmunya lebih tinggi maka ia adalah hari ghanimah (keberuntungan), jika dia bertemu orang yang semisalnya maka dia berdiskusi dan belajar darinya, jika dia bertemu orang yang lebih rendah ilmunya maka dia bertawadhu’ kepadanya dan mengajarinya. Wallahu a’lam



Dosa dan Taubat



Apa sebab yang mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga? Tempat yang penuh kenikmatan, kesenangan, dan kegembiraan untuk beralih ketempat yang penuh penderitaan, kesedihan, dan musibah?
Apa yang menenggelamkan semua penduduk bumi hingga air meluap ke puncak gunung? Apa yang mendatangkan angin terhadap kaum ‘Ad sehingga mayat-mayat bergelimpangan di muka bumi?
Apa yang menyebabkan suara petir dan halilintar menjadikan jantung-jantung kaum Tsamud putus hingga mereka pun menemui ajalnya?
Dosa merupakan sebab turunnya
siksa Allah di dunia. Apapun musibah yang menimpa hamba, maka penyebabnya adalah kejahatan yang telah diperbuatnya. Ini adalah penegasan terhadap pelaku dosa agar mereka termotivasi untuk meninggalkan dosa. Betapa banya orang yang meremehkan urusan akhirat, disebabkan kebodohannya, ia pun seenaknya melakukan perbuatan dosa di dunia. Dosa menjadi sebab disegerakannya siksa di dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya hamba itu benar-benar tidak mendapatkan rezekinya karena dosa yang dilakukannya.”
(HR. Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, dan
Al-Baghawy).
Dosa merupakan tabir hitam yang bisa menghalangi seseorang dari rahmat dan karunia Allah Ta’ala. Oleh karena itu, menjauhkan diri dari dosa merupakan suatu hal yang wajib. Bagi seseorang yang terlanjur melakukan perbuatan dosa, maka wajib baginya untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Kewajiban Bertaubat

Taubat wajib dilakukan secara terus-menerus sebab manusia tidak pernah luput dari dosa dan kedurhakaan. Hampir setiap saat manusia melakukan perbuatan dosa. Jika dia selamat dari perbuatan dosa berupa fisik, maka belum tentu dia selamat dari dosa batiniah. Sungguh rahmat Allah Ta’ala begitu luas, sehingga Allah akan selalu menerima taubat hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi dia belum sekarat.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dll.)

Syarat-Syarat Taubat

Diantara syarat-syarat taubat yang sebenarnya adalah keteguhan hati untuk tidak kembali melakukan dosa-dosa dimasa yang akan datang. Ia harus benar-benar menanamkan keteguhan ini di dalam hatinya. Taubat merupakan ungkapan penyesalan atas segala kedurhakaan yang telah dilakukan manusia. Penyesalan dapat ditandai dengan kesedihannya yang berlarut-larut dan disertai tangisan. Setiap dosa yang dilakukan, maka hendaklah diiringi dengan amal sholeh karena amal sholeh akan menghapus dosa-dosa. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114).

Obat Ketagihan Terhadap Dosa

Kelalaian dan nafsu merupakan penyebab utama seseorang ketagihan terhadap dosa. Kelalaian merupakan pangkal kesalahan. Oleh karena itu, obatnya adalah dengan merasakan manisnya ilmu dan berusaha mencicipi pahitnya kesabaran. Tanpa ilmu dan sabar, maka seseorang akan sulit untuk mengobati candu dosa yang ada dalam dirinya.
Perlu diketahui bahwa suatu perbuatan dosa akan mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan dosa lainnya. Perbuatan dosa memang ibarat candu yang sulit bagi seseorang yang telah terbiasa berbuat dosa untuk lepas darinya. Seseorang yang terbiasa berzina, maka dia akan sulit untuk lepas dari berbuat zina. Bila seseorang terbiasa berjudi, maka sulit baginya untuk menghilangkan kebiasan judi.
Seseorang telah membentuk kebiasaannya, maka kebiasaan itulah yang kelak akan menjadi kepribadiannya. Wallahu a’lam.

Buah dari Kejujuran

Di antara tanda-tanda kejujuran adalah takut kepada Allah dan zuhud dalam urusan dunia. Orang yang jujur dalam keyakinannya merasa takut makan yang haram, dia lebih memilih memikul kemiskinan dan kesulitan demi mengharap Darus Salam Surga. Jika dia berdosa maka dia tidak tidur sehingga dia kembali kepada Tuhannya dan berlepas diri dari dosanya.
Ibnu Jarir At-Thabari berkisah, di musim haji aku berada di Makkah, aku melihat seorang laki-laki dari Khurasan mengumumkan, "Wahai para jamaah haji, wahai penduduk Makkah, aku kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa yang mengembalikannya kepadaku semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan membebaskannya dari neraka serta dia mendapat pahala balasan pada Hari Kiamat."
Berdirilah seorang laki-laki tua berbadan tinggi dari penduduk Makkah. Dia berkata, "Wahai orang Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, musim haji terbatas, hari-harinya terhitung, pintu-pintu usaha tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin yang miskin atau orang lanjut usia, dia ingin mendapatkan janjimu, seandainya dia mengembalikannya kepadamu, kamu bersedia memberinya sedikit harta yang halal."
Orang Khurasani menjawab, "Berapa jumlah hadiah yang dia inginkan?"
Bapak tua menjawab, "Sepuluh persen, seratus dinar."
Orang Khurasan menolak. Dia berkata, "Tidak, akan tetapi aku menyerahkan urusannya kepada Allah dan aku adukan dia pada hari di mana kita semua menghadap kepadaNya. Dialah yang mencukupi kita dan Dia adalah sebaik-baik pelindung."
Ibnu Jarir At-Thabari berkata, hatiku berkata bahwa orang tua itu adalah orang miskin, dialah penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya sampai dia di rumahnya. Ternyata dugaanku benar. Aku mendengarnya memanggil, "Wahai Lubabah." Terdengar seorang wanita menjawab, "Baik Abu Ghiyats."
Orang tua itu berkata, "Aku mendapatkan pemilik kantong mengumumkannya tetapi dia tidak mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah katakan kepadanya, 'Beri kami seratus dinar', tetapi dia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang aku lakukan wahai Lubabah? Harus dikembalikan. Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku bertumpuk-tumpuk."
Lubabah yang ternyata adalah istrinya menjawab, "Suamiku, kita telah menderita kemiskinan bersamamu selama lima puluh tahun. Kita mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, aku istrimu dan ibuku, lalu kamu yang kesembilan, kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala. Ambil semua uangnya, kenyangkan kami karena kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami, kamu lebih mengerti dengan keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya sesudah itu, maka kamu bisa mengembalikan uang itu setelah kamu memberi makan keluargamu atau Allah melunasi hutangmu di Hari Kiamat."
Pak tua itu berkata kepada istrinya, "Apakah aku makan harta haram setelah aku menjalani hidup selama delapan puluh enam tahun. Aku membakar perutku dengan api neraka setelah sekian lama aku bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal aku sudah diambang pintu kubur. Demi Allah aku tidak akan melakukannya."
Ibnu Jarir berkata, aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak tua itu dan istrinya. Keesokan harinya di waktu yang sama dengan kemarin, aku mendengar pemilik dinar mengumumkan, dia berkata, "Wahai penduduk Makkah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari desa maupun kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar maka hendaknya dia mengembalikannya kepadaku dan baginya balasan pahala dari Allah."
Bapak tua itu berdiri dan berkata, "Hai orang Khurasan. Kemarin aku telah katakan kepadamu, aku telah memberimu saran. Kota kami ini demi Allah, tumbuh-tumbuhannya dan ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga dia tidak melanggar syariat. Aku telah katakan kepadamu untuk memberi orang yang menemukannya seratus dinar tetapi kamu menolaknya. Jika uangmu itu ditemukan oleh seseorang yang takut kepada Allah, apakah kamu sudi memberinya sepuluh dinar saja tidak seratus dinar agar bisa menjadi penutup dan pelindung baginya.”
Orang Khurasan menjawab, "Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan aku mengadukannya kepadaNya pada Hari Kiamat. Dialah yang mencukupi kita dan Dia adalah sebaik-baik pelindung."
Ibnu Jarir berkata, kemudian orang-orang bubar. Pada hari ketiga aku kembali mendengar pemilik kantong itu kembali meneriakkan pengumuman yang sama, “Wahai seluruh jamaah haji, wahai para tamu Allah, dari kota dan desa siapa yang menemukan kantong berisi seratus dinar dan dia mengembalikannya kepadaku maka untuknya pahala dari Allah."
Bapak tua itu maju dan berkata, "Hai orang Khurasan. Kemarin lusa aku telah katakan kepadamu, berilah orang yang menemukannya seratus dinar dan kamu menolak, kemudian sepuluh dinar dan kamu pun menolak apakah kamu bersedia memberinya satu dinar saja, setengahnya untuk memenuhi hajatnya dan setengah lagi untuk membeli domba yang diminum susunya, maka dia bisa memberi minum kepada orang-orang dan mendapatkan pahala dan memberi makan anak-anaknya dan dia berharap pahala."
Orang Khurasan itu menjawab, "Tidak, tetapi aku menyerahkannya kepada Allah dan mengadukannya pada saat kita bertemu denganNya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah sebaik-baik penolong."
Orang tua itu menariknya sambil berkata, "Kemarilah kamu, ambillah dinarmu biarkan aku tidur di malam hari. Aku tidak pernah merasa tenang sejak menemukan harta itu."
Ibnu Jarir berkata, orang tua itu pergi bersama pemilik dinar. Aku membuntuti keduanya sehingga orang tua itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar itu. Dia berkata, “Ambil uangmu aku memohon kepada Allah agar memaafkanku dan memberiku rizki dari karuniaNya."
Orang Khurasan itu mengambil dinarnya dan ketika dia tiba di pintu dia berkata, "Pak tua, bapakku wafat, semoga Allah merahmatinya, dan meninggalkan untukku tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, 'Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang paling berhak menerimanya menurutmu'. Maka aku menyimpannya di kantong ini sampai aku memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah sejak aku berangkat dari Khurasan sampai di sini aku tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu. Ambillah semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas amanatmu dan kesabaranmu atas kemiskinanmu." Lalu dia pergi dan meninggalkan dinarnya.
Bapak tua itu menangis, berdoa kepada Allah, dia berkata, "Semoga Allah memberi rahmat kepada pemilik harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya."
Ibnu Jarir berkata, maka aku pun meninggalkan tempat itu, berjalan di belakang orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan memintaku kembali. Dia berkata kepadaku, “Duduklah, aku melihatmu mengikutiku sejak hari pertama. Kamu mengetahui berita ini kemarin dan hari ini. Aku telah mendengar Ahmad bin Yusuf Al-Yarbu'i berkata, aku mendengar Malik berkata, aku mendengar Nafi' berkata dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi saw bersabda kepada Umar dan Ali, ”Apabila Allah memberi kalian berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan maka terimalah dan jangan menolaknya karena jika demikian maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah.” Dan ini adalah hadiah dari Allah dan hadiah bagi siapa yang hadir."
Abu Ghiyats lalu memanggil, "Wahai Lubabah, wahai fulanah, wahai fulanah." Dia memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan memintaku untuk duduk. Kami semua berjumlah sepuluh. Dia membuka kantong dan berkata, "Beberkan pangkuan kalian." Maka aku membeberkan pangkuanku. Adapun mereka, karena mereka tidak memiliki pakaian maka mereka tidak bisa membentangkan pangkuan mereka. Mereka menadahkan tangan mereka. Pak tua itu mulai menghitung dinar demi dinar, sampai di dinar kesepuluh dia memberikannya kepadaku sambil berkata, "Ini untukmu." Sampai isi kantong yang berjumlah seribu dinar itu habis dan aku mendapatkan seratus dinar.
Ibnu Jarir berkata, kebahagiaan mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku daripada diriku sendiri yang mendapatkan seratus dinar. Manakala aku hendak pergi, dia berkata kepadaku, “Anak muda, kamu penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini, tidak pernah memimpikannya. Aku pesankan kepadamu bahwa harta itu halal maka jagalah dengan baik. Ketahuilah bahwa sebelum ini aku shalat subuh dengan baju usang ini. kemudian aku melepasnya sehingga anakku satu persatu bisa memakainya untuk shalat, kemudian aku pergi bekerja antara zhuhur dan asar. Kemudian di petang hari aku pulang dengan membawa rizki yang diberikan oleh Allah kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian aku melepas pakaian usang ini untuk digunakan shalat Zhuhur dan Asar oleh putri-putriku. Begitu pula pada shalat Maghrib dan Isya'. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga ia bermanfaat dan semoga apa yang aku dan kamu ambil juga bermanfaat. Semoga Allah merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya dan memberikan balasan kepadanya."
Ibnu Jarir berkata, aku berpamitan kepadanya. Aku telah mengantongi seratus dinar. Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkos dengan uang itu. Enam belas tahun kemudian aku kembali ke Makkah. Aku bertanya tentang bapak tua itu, ternyata dia telah wafat beberapa bulan setelah peristiwa itu. Begitu pula istrinya, mertuanya dan dua saudara perempuannya, semuanya telah wafat. Tinggal putri-putrinya. Aku bertanya tentang mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu karena berita kebaikan orang tuanya yang melambung di seantero negeri. Aku singgah kepada suami-suami mereka. Mereka menyambutku dengan baik. Memuliakanku sampai Allah mewafatkan mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat. Selesai kisah Ibnu Jarir.
Firman Allah Taala, "Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dari hari Akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya." (Ath-Thalaq: 2-3).

Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Jual Beli Dan Adab-adabnya (bag. 3)


Jual beli yang dilarang

 Dilarang jual beli ‘tasriyah’ pada binatang. ‘Tasriyah’ adalah : menyetop binatang dari menyusui, sehingga air susunya mengumpul sehingga orang menyangka binatang tersebut bersusu banyak. (Bukhari, Muslim)
 Tidak boleh jual beli suatu makanan yang belum jelas takarannya. (Bukhari, Ahmad).
 Dilarang jual beli yang tidak jelas barangnya. Contohnya : “Saya akan beli apa-apa yang kamu dapat dari menyelam atau saya menjual anak kambing yang masih di dalam perut”. (Bukhari, Muslim, Nasa’i)
 Dilarang menjual secara persekot / uang muka. Yaitu jika pembeli batal, maka uang muka menjadi milik penjual. (Abu Dawud, Ibnu Majah)
 Diharamkan menipu dalam penjualan. (Muslim)
 Tidak boleh menjual barang yang tidak ada padanya. (Tirmidzi, Abu Dawud)
 Dilarang jual beli dengan memakai lemparan. Contohnya : “Lemparkan ke kiri pada pakaian didepan, mana yang kena aku jual Rp 1.000,-“ (Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Dilarang jual beli barang yang masih berada dalam tawaran orang lain walaupun harganya lebih murah, kecuali seizin orang pertama. (Bukhari)
 Jangan menjual barang orang lain tanpa seizinnya. (Bukhari)
 Diharamkan riba’, pelakunya, pemberinya, saksinya, penulisnya, semuanya berdosa. (Al-Qur’an, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu majah)
 Tidak boleh mempekerjakan wanita, walaupun hamba sahaya kecuali pada tiga pekerjaan : (1) Membuat masakan, (2) Menenun atau menjahit, (3) Memintal. (Ahmad, Abu Dawud)
 Jangan mempekerjakan anak kecil. (Imam Malik)
 Dilarang jual beli Najasyi. Contohnya : A berjualan, kemudian ia menyuruh B berpura-pura membeli barangnya dengan memuji barang dagangannya. Sehingga orang lain tertarik untuk membelinya. (Ahmad)
 Tidak boleh hutang dengan jual beli. (Imam yang lima). Contohnya : A meminjamkan uang kepada B. Lalu A menjual barang ke B dengan harga yang dimahalkan. Jual beli seperti ini tidak boleh, karena A meminjamkan ke B dengan maksud agar B dapat membeli barangnya dengan harga mahal.
 Tidak boleh menerima upah dari membaca Al-Qur’an, tetapi boleh mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. (Ahmad)
 Tidak boleh mengambil upah dari adzan. (Bukhari)

Perburuhan

 Jangan menghambat upah buruh, berikan secepatnya begitu ia selesai bekerja. (Bukhari)
 Boleh membayar upah buruh dengan memakai aturan giliran kerja, seperti : shift pagi, shift siang, shift malam atau dengan sistem harian, mingguan, atau bulanan. (Bukhari)
 Boleh mengambil upah dari mengangkut barang. (Bukhari)
 Boleh mengambil buruh orang non muslim. (Bukhari)
 Boleh memberi upah bagi penaksir harga. (Ahmad)

Bahaya Curang Dalam Berdagang

“Ancaman dengan neraka Wail bagi orang yang curang dalam jual beli. Yaitu orang-orang apabila menerima dari orang lain, minta penuh ukurannya. Dan apabila ia menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah mereka mengira bahwa mereka kelak akan dibangkitakn pada suatu hari yang hebat (besar) yaitu pada hari ketika semua manusia menghadap pada Tuhan semesta alam. (QS. Al-Muthaffifin 1-6)


Wail adalah siksa yang berat, suatu lembah dalam Jahannam yang sekiranya bukit-bukit didunia ini dimasukkan kedalamnya pasti cair karena sangat panasnya. Menghadap kepada Tuhan, yaitu bangkit dari kubur dalam keadaan tidak berpakaian atau tidak membawa apa-apa kecuali amal baik dan buruk.
As-Sayyid berkata : sebab turunnya ayat ini, ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah disana ada seorang bernama Abu Juhainah yang mempunyai dua timbangan satu untuk membeli yang selalu menguntungkannya karena takarannya yang lemah, sedangkan yang satu lagi untuk menjual dengan takarannya yang panas atau tinggi dari standar. Sehingga turunlah ayat diatas.
Rasulullah SAW. telah memperingatkan kepada orang-orang yang jual beli dengan takaran atau timbangan : “Kamu telah mempergunakan dua hal yang mana umat terdahulu telah binasa karenanya”. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Umar Ra. berkata : “Rasulullah SAW. datang pada suatu hari dan bersabda, Hai sahabat muhajirin, ada lima perkara yang jika kamu diuji dengan itu akan terlebih dahulu aku berlindung kepada Allah semoga kamu tidak mendapatinya.
Pertama, tidak menjalarnya pelacuran pada suatu kaum sehingga dilegalkan (terang-terangan) melainkan akan menjalar pada mereka wabah thaun dan berbagai penyakit yang tidak terjadi pada nenek moyang mereka dahulu.
Kedua, tidak mengurangi takaran atau timbangan melainkan terkena bala’, kurangnya hasil bumi, berat penghidupan sehari-hari dan kekejaman penguasa (pemerintah).
Ketiga, tidak menahan / menolak kewajiban zakat, melainkan akan tertahan hujan dari langit, sehingga andaikan tidak ada ternak niscaya tidak akan turun hujan sama sekali.
Keempat, tidak menyalahi janji Allah dan Rasul-Nya melainkan akan didatangkan pada mereka penjajah (penjajahan fisik ataupun ekonomi) dari golongan lain.
Kelima, tidak menghukum para pemimpin mereka dengan selain kitab Allah atau memilih milih (yang ringan diambil, yang berat tidak), melainkan Allah akan menjadikan kebinasaan mereka timbul sesama mereka sendiri”. (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim)
Ali Ra. berkata : “Jangan meminta hajat kebutuhanmu dari orang yang rezekinya diujung takaran atau timbangan”. Ada hikayat yang menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang naza’ akan mati, maka diajarkan padanya supaya mengucapkan Laa ilaha illallah, tiba-tiba orang itu berkata : “Saya tidak dapat mengucapkannya”. Lalu ditanya : “Tidakkah anda dahulu menepati timbangan ?” Jawabnya : “Benar, tetapi kemungkinan ada kotoran yang tidak saya bersihkan sehingga merugikan hak orang yang tidak terasa”. Jika yang tidak sengaja saja dapat berakibat demikian, maka bagaimana kondisi orang yang sengaja mengurangi timbangan ? Menjual Surga karena sebutir biji dan menambah bara api Neraka karena sebutir biji pada timbangan.
Peringatan bagi kita semua terutama bagi para pedagang yang menggunakan timbangan kilogram atau meteran dalam menjual barang-barangnya agar jangan curang dalam jual beli yang dilakukan.
Semoga kita semua dapat memahami dan takut akan ancaman dari Allah SWT., sehingga kita dapat meraih kebahagiaan hidup diduni dan akherat.
Amien.
Proses Lebih Utama dari Hasil

Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa ? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu Allah yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktifitas sehari-hari yang harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah Allah.
Ketika berdagang dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga, maka masalah yang terpenting bagi kita bukan uang dari jualan tersebut. Uang itu ada jalurnya, ada rezekinya dari Allah dan semua pasti mendapatkannya, karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yang didapat, maka akan gampang sekali bagi Allah untuk memusnahkan untung tersebut hanya dalam waktu sekejap. Dibuat musibah menimpanya, dikenai bencana, hingga akhirnya semua untung yang dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika.
Hal terpenting dari ikhtiar atau usaha adalah prosesnya. Ketika berdagang kita selalu menjaga niat agar tidak pernah ada satu miligrampun hak orang lain yang terambil oleh kita. Demikian juga selama jualan kita tampil penuh keramahan dan kemuliaan akhlak, kejujuran, tepat waktu dan memenuhi janji.
Keuntungan dalam dagang adalah kalau kita sangat menjaga nilai-nilai dan perilaku kita dalam berusaha. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar, kalau kuliah hanya menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum di wisuda ? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal.
Karenanya yang paling penting dalam perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini ? Kalau hanya untuk menghasil isi perut, maka kata Imam Ali, “Orang-orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajatnya tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya”. Kalau hanya ingin cari uang, maka penjahat juga pikirannya hanya uang. Lalu apa beda kita dengan para penjahat kalau pola pikir kita juga seperti itu ?
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu, hingga akhir hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Meningkatkan kemampuan merupakan salah satu tujuan kita untuk dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita mencari nafkah sebabnya mungkin supaya bisa mensejahterahkan orang lain.
Dalam mencari mencari rezeki ada dua perkara yang perlu selalu kita jaga yaitu, ketika sedang mencarinya kita harus sangat menjaga nilai-nilai dan ketika mendapatkannya kita distribusikan sekuat-kuatnya kepada orang lain. Inilah yang sangat penting.
Jangan terpukau oleh hasil, karena hasil yang bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan Allah. Kalau misalnya kualifikasi mental kita hanya mampu mengelola uang Rp 20 juta, suatu saat Allah memberikan keuntungan Rp 200 juta, nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena setiap datangnya rezeki akan efektif kalau iman dan ilmu kita bagus. Kalau tidak datangnya uang, gelar, pangkat atau kedudukan yang tidak dibarengi kualitas pribadi kita yang bermutu, sama dengan datangnya musibah. Ada orang yang menjadi hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, sombong, sok tahu, korupsi dll. Dia jadi nista dan hina karena kedudukannya.
Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Karena sebelumnya dia susah akan pergi ketempat maksiat karena uangnya juga tidak ada. Tapi ketika dapat untung, tiba-tiba uangpun berlimpah, karena kurang iman orang inipun dengan begitu mudah mengakses tempat-tempat maksiat. Dia jadi hina karena keuntungan yang didapatnya.
Subhanallah, kalau kita renungkan, ternyata yang kita nikmati bukan sekedar hasil tapi justru prosesnya. Wallahu a’lam


Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Jual Beli Dan Adab-adabnya (bag. 2)


Yang tidak dibolehkan dalam jual beli

 Neraka Wail orang yang apabila menjual mengurangi takaran dan membeli melebihkan takaran. (Al-Muthaffifin)
 Jangan mencela barang dagangan ketika membeli dan jangan memuji dagangan ketika menjual. (Ibnu Jarir)
 Jangan banyak bersumpah dalam jual beli. Banyak bersumpah dalam berjual beli mendatangkan banyak keuntungan, tetapi menghilangkan keberkahan rezeki, walaupun sumpahnya benar. (Bukhari, Muslim, Nasa’i)
 Sebaiknya jangan membeli dari non muslim, kecuali sangat terpaksa. (Bukhari)
 Sifat pedagang hendaknya mudah memberi hutang dan memudahkan pembayaran hutang bagi yang kesukaran. (Bukhari)
 Allah SWT. mempermudah urusan orang lain dalam urusan hutang. (Bukhari)
 Makruh menerima hasil pembekaman. (Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Haram menyuap dan disuap, dan perantaranya. (Ibnu Majah)
 Boleh menggadaikan barang. (Bukhari)
 Boleh mengembalikan barang yang dijumpai cacatnya. Walaupun sudah dipakai dan keuntungan pemakai tetap pada pembeli yaitu tidak ada uang potongan dari pengembalian tersebut. (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)
 Boleh menerima upah hasil dari menulis mushaf. (Razin)
 Boleh berdagang dipinggir jalan, tempat lalu lalangnya orang-orang, dengan syarat : (1) Menundukkan pandangan, (2) Tidak menyusahkan orang lewat, (3) Menjawab salam, (4) Beramar ma’ruf nahi munkar. (Bukhari, Muslim, Ahmad)
Jual beli yang dilarang

 Dilarang jual beli patung, arak, bangkai dan babi. (Muslim, Nasa’i)
 Dilarang jual beli gambar makhluk yang bernyawa. (Bukhari)
 Haram menjual arak, juga meminumnya, membelinya, memberinya, merasainya, minta dipasarkannya, membawanya, dan meminta dibawakannya. (Bukhari, Muslim, Tirmidzi)
 Dilarang menjual kelebihan air. Misalnya : kita mempunyai sumur dan masih ada kelebihan air setelah kita gunakan, maka air selebihnya itu tidak boleh kita jual. (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Dilarang jual beli sperma pejantan. Maksudnya : menyewakan pejantan untuk pembibitan hewan. Akan tetapi menghadiahkan atau memberikan tidak dilarang. (Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i)
 Haram menimbun atau menyimpan barang, kemudian menjualnya disaat harga mahal. (Muslim, Ahmad, Ibnu Majah)
 Haram jual beli anjing dan kucing. (Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Haram hasil dari pelacuran. (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Haram hasil dari menyanyi (artis) wanita. (Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
 Haram hasil dari perdukunan. (Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
 Tidak boleh jual beli buah yang belum matang untuk dimakan. (Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah)
 Tidak boleh orang kota menjual dagangannya untuk orang desa, apabila ada unsur penipuan didalamnya. Karena pandai, orang kota biasanya menipu orang desa yang tidak mengetahui. (Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah

Sabtu, 04 April 2009

Mengikuti Perintah Allah Dengan Istiqomah

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (An-Nisa’ : 103)


Dari dalil diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam perkara shalat, orang beriman mengikuti perintah Allah yang telah ditentukan waktunya, bukan kehendak sendiri. Orang yang beriman akan mengikuti perintah Allah walaupun keadaan atau kondisi yang berbeda-beda.

Dalam amal agama setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu : menjaga waktu dan menjaga amal. Seseorang yang tidak menjaga waktu dan amalnya tidak akan dapat mencapai derajat ikhsan disisi Allah. Menjaga waktu dan amal sama maknanya dengan istiqomah.

Allah SWT. menyukai amal yang dikerjakan secara terus menerus walaupun sedikit, oleh karena itu setiap amalan harus diperhatikan waktunya dan kita luangkan waktu khusus dan selalu dipikirkan.

orang yang tidak istiqomah dalam amalnya, seperti orang yang membangun rumah, ditengah-tengah membangun kemudian ditinggalkan. Membangun rumah lagi, belum selesai kemudian ditinggal lagi, demikian seterusnya. Dengan cara seperti ini kapan rumah dapat terwujud dan kapan kita dapat tinggal dirumah tersebut? Kita tidak akan dapat tinggal dirumah tersebut, kita tidak bisa istirahat dirumah tersebut karena kita tidak mau menyempurnakan pembangunannya.

Rasulullah SAW. bersabda kepada para sahabatnya, “Kamu jangan seperti si Fulan, dia dulu selalu shalat malam, kemudian amal itu ditinggalkannya dan tidak shalat malam lagi”. Orang yang sudah memulai amal, kemudian meninggalkan amal tersebut, itu suatu pertanda bahwa keyakinannya lemah, keyakinannya terhadap amal tersebut berkurang, dan dia merasa tidak berhajat kepada amal tersebut.

Seorang karyawan, pegawai, pedagang atau petani, setiap hari pergi bekerja dan terus menerus bekerja, walaupun hujan atau panas bahkan ketika sakitpun tetap berusaha bekerja, karena ia merasa berhajat kepada pekerjaannya itu. Kalau kita merasa berhajat kepada pekerjaan, maka insya Allah kita akan istiqomah.

Kenapa istiqomah itu penting? Karena dengan istiqomahlah dapat membuktikan yang sejati atau kamuflase saja. Allah SWT. ciptakan dunia ini dalam keadaan yang berubah-ubah, kadang mengembirakan, kadang menyusahkan, kadang menyenangkan, begitu terus menerus dan setiap keadaan pasti selalu berpasangan. Orang beriman hidupnya mengikuti perintah Allah bukan mengikuti keadaan-keadaan yang terjadi.

Orang beriman terbagi menjadi dua golongan, yaitu : Golongan pertama, adalah golongan orang yang hidup dengan cara melihat keadaan-keadaan, sehingga hidupnya disesuaikan dengan keadaan-keadaan tersebut. Kalau ada suasana yang sesuai dia hidupkan agama, sedangkan apabila tidak sesuai ia tinggalkan agama. Orang seperti ini imannya belum teruji.

Golongan kedua, dia melihat keadaan-keadaan dan berfikir apa perintah Allah dalam keadaan-keadaan tersebut. Kemudian mengikuti perintah Allah dalam keadaan tersebut. Bila keadaan menyenangkan Alhamdulillah tetapi bila keadaan menyulitkan bersabar, orang seperti ini imannya insya Allah sudah teruji.

Ibadah-ibadah dalam Islam, seperti shalat , puasa, haji dan lain sebagainya, tertibnya ditentukan dengan penanggalan Bulan bukan dengan penanggalan Matahari. Karena ibadah dalam Islam mengikuti perhitungan Qomariah maka perhitungan waktu ibadah menjadi berbeda dengan Syamsiah. Kita masih termasuk beruntung tinggal didaerah tropis yang perbedaan waktunya tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan Negara lain yang jauh dari khatulistiwa.

Di Afrika Utara dan Tengah juga Asia Selatan, musim panas kadang jatuh pada bulan Juni dan Juli tetapi kadang bulan Nopember dan Desember. Kalau pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan panasnya luar biasa. Waktu siangnya panjang sedangkan waktu malamnya pendek. Meskipun demikian orang beriman yang tinggal disana tetap harus berpuasa.

Demikian pula waktu shalat bila waktu siangnya panjang, maka waktu malamnya menjadi pendek. Hal ini mengakibatkan jadwal shalatnya berbeda drastis dibandingkan dengan di Indonesia. Suatu contoh waktu shalat Shubuh pukul 03.30 dan shalat Maghrib bisa pukul 20.30 waktu setempat, dapat kita perbandingkan dengan di sini.

Sebaliknya kalau musim dingin malamnya panjang dan siangnya pendek, contohnya : shalat Shubuh pukul 07.30 dan shalat Maghrib waktunya pukul 17.00 waktu setempat.

Meskipun demikian bagi orang yang beriman mengikuti perintah Allah itulah yang utama bukan mengikuti keadaan-keadaan. Karena keadaan-keadaan itu merupakan ujian terhadap keteguhan iman kita.

Waktu shalat tersebut telah ditetapkan oleh Allah SWT. dan tidak berubah-ubah, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk mendirikan shalat walaupun keadan yang berubah-ubah.

Kalau kita mau berfikir lagi bagaimana keadaan orang beriman yang mau beribadah di daerah kutub utara dan kutub selatan yang siangnya hanya beberapa jam saja? Tentu jawabnya tetap beramal sesuai perintah Allah dengan pedoman ilmu-Nya.

Demikian pula masalah haji, kadang jatuh pada musim panas, kadang jatuh pada musim dingin, walaupun demikian waktu haji tidak berubah. Musim boleh berubah tetapi kita tetap istiqomah dalam menunaikan perintah Allah dalam keadaan yang berubah bagaimanapun.

Hikmah dari ketentuan-ketentuan tersebut supaya kita hidup mengikuti keadaan. Adapun ahli dunia, mereka punya jalan lain. Pada saat musim panas mereka punya tertib ada liburan musim panas, dan ada pula liburan musim dingin.

Demikian pula masalah pakaian mereka mengikuti musim, ada pakaian musim panas dan ada pula pakaian musim dingin. Tetapi kita berpakaian mengikuti perintah Allah bukan mengikuti musim, seperti seorang wanita tetap berjilbab tanpa memandang apakah musim panas ataupun musim dingin.

Ringkasnya dalam keadaan apapun kita tetap mengikuti perintah Allah SWT. Keadaan-keadaan datang kepada manusia, sedangkan manusia ini lemah. Manusia kadang-kadang sakit, kadang-kadang sehat, kadang-kadang dirumah, kadang-kadang dalam perjalanan.

Disamping itu keadaan manusia sendiri berubah-ubah juga, kadang-kadang kaya, kadang-kadang miskin. Oleh karena itu Allah SWT. telah memberikan kepada kita dua perkara untuk menghadapi keadaan-keadaan ini yaitu dengan ilmu dan dzikir.

Untuk apa ilmu dan dzikir? Sebagai contoh, ada seorang yang sedang sakit dia tidak dapat berdiri dalam shalat, padahal berdiri dalam shalat adalah rukun. Maka disinilah pentingnya ilmu.

Kemudian dia datang kepada seorang ‘alim dan bertanya : “Saya tidak dapat berdiri dalam shalat, apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus

tinggalkan shalat?”

Orang ‘alim menjawab : “Jangan kamu tinggalkan shalat, kamu dapat shalat dengan duduk”.

Dalam setiap keadaan kita harus berfikir apa perintah Allah dalam keadaan-keadaan tertentu, sehingga kita hidup dengan mengikuti perintah, bukan mengikuti perubahan keadaan.

Rasulullah SAW. diutus untuk memberikan ilmu bagaimana cara mengatasi keadaan-keadan tersebut, serta apa perintah Allah dalam berbagai macam keadaan itu.

Maksud ilmu adalah mengetahui perintah-perintah Allah dalam berbagai keadaan. Kalau kita sudah mengetahui perintah Allah dengan ilmu tersebut, lalu taat kepada-Nya inilah yang dinamakan dzikir. Taat kepada Allah itulah yang dinamakan ingat kepada-Nya, karena orang yang taat pasti ingat Allah.

Apabila hal tersebut mampu kita wujudkan dalam diri kita secara terus menerus, inilah yang dinamakan dengan istiqomah. Istiqomah itu pada awalnya berat, meskipun berat tetapi kalau seseorang berusaha terus menerus dan ada keyakinan, maka akhirnya akan mudah.

Pada dasarnya nafsu manusia tidak dapat taat, karena itu manusia harus dapat menahan dan mengendalikan nafsunya supaya dia dapat istiqomah. Setelah istiqomah, maka lama kelamaan amal itu akan menjadi suatu kelezatan, dan mengikuti perintah Allah menjadi suatu yang sangat menyenangkan.

Kemudian apabila ada amal yang ketinggalan, maka dia akan sedih dan menyesal, karena amal itu sudah menjadi kecintaannya. Mudah-mudahan kita dapat mencapai semua itu.

Amiin.



Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Kepada Pemimpin

Dan Adab-adabnya (bag. 3)


Persatuan

§ Memecah belah persatuan kaum muslimin, adalah dosa yang sangat besar. Dan laknat Allah atas orang yang memecah belah. (Muttafaqun ‘Alaih)

§ Jangan sekali-kali hanya berjuang dengan niat membela suatu golongan/partai. Barangsiapa mati untuk membela golongan, sesungguhnya ia mati jahiliyah. (Muslim)

§ Jangan sekali-kali keluar dari persatuan, walaupun pemimpinnya tidak baik. (Muslim)

Pergaulan dengan pemimpin

§ Barangsiapa dekat dengan penguasa, kadang-kadang menyebabkan dirinya jauh dari Allah. (Tanbihul Ghafilin)

§ Berdekatan dengan penguasa, dapat menjadi fitnah, maka dianjurkan untuk menjauhi tempat-tempat fitnah, yaitu pintu-pintu penguasa. (Huzaifah ra.)

§ Seseorang yang belajar Al-Qur’an dan memperdalam agama, kemudian ia mendatangi pintu-pintu penguasa, lalu menjilat dan taat dihadapan mereka, maka ia telah terjerumus ke dalam Jahanam, sejauh langkah yang ia langkahkan. (Makhul ra.)

§ Barangsiapa bergaul dengan penguasa, kemudian terjerumus kedalam urusan dunia, maka sungguh ia telah mengkhianati Rasul-Nya. (Anas ra.)

§ Tiada yang lebih berbahaya bagi umat akhir zaman ini dari pada tiga hal :

1. Cinta uang

2. Cinta kekuasaan

3. Mendatangi pintu penguasa. (Abu Hurairah ra.)

§ Seseorang yang melakukan shalat wajib dan dia tidak dekat dengan penguasa, lebih utama dari pada orang yang berpuasa setiap hari, haji, berjihad, shalat tahajjud sepanjang malam, tetapi ia dekat dengan penguasa. (Abu Laits Samarqandi)

§ Berhubungan dekat dengan penguasa, dapat mendorong kepada tiga hal :

1. Berusaha untuk menyenangkan mereka

2. Mengagung-agungkan mereka karena dunia mereka

Text Box: Penerbit :  Yayasan Al-Manshur.  Pemateri :  A. Rahman Aceh, Drs. Fahrurrozi.  Pemimpin Umum/Redaksi :  Faisol Fanani.  Staf Redaksi :  Novi Indra, Arief.  Marketing :  Surandi, Hendra.  Alamat Redaksi :  Masjid An Nur, Jl. Yos Sudarso RT 5 Kelurahan Simpang Periuk, Kecamatan Lubuklinggau Selatan II, Kota Lubuklinggau, Profinsi Sumatera Selatan. HP 081928665458   E-mail :  annurcentre.fanani@gmail.com  infaq :  Rp 250/eksmembenarkan perbuatan mereka walaupun salah. (Abu Laits Samrqandi)

Dunia Sebagai Bekal Akherat

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qoshosh : 77)


Tidak ada perkara yang lebih penting didunia dan akherat melebihi agama. Alah SWT. menciptakan dunia ini adalah karena masalah agama. Allah SWT. menciptakan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dengan segala sesuatu yang ada didalamnya adalah karena masalah agama yaitu sebagai media manusia dan jin untuk diuji siapakah yang mau mengamalkan agama dan siapakah yang tidak mau mengamalkan agama. Hiruk pikuknya dunia ini, masalah yang terjadi didunia ini semua dijadikan Allah SWT. karena masalah agama. Allah SWT. menjadikan kesusahan-kesusahan didunia ini untuk menguji manusia siapakah yang mengamalkan agama dalam kesusahan-kesusahan itu. Demikian pula Allah SWT. menciptakan perkara-perkara yang menggembirakan untuk menguji manusia, siapakah yang mangamalkan agama dalam kegembiraan itu.

Allah SWT. menjadikan dalam diri manusia itu nafsu, gejolak-gejolak nafsu yang mengajak kepada berbagai hal, karena Allah hendak menguji kepada manusia, siapakah yang taat kepada Allah dalam gejolak-gejolak nafsu tadi. Allah SWT. menjadikan sebagian manusia diatas dan sebagian dibawa, sebagian jadi raja-raja, sebagian jadi rakyat. Ini juga ujian dari Allah apakah raja-raja itu menggunakan kekuasaan sesuai dengan agama Allah atau tidak. Kalau raja itu mengikuti perintah Allah maka raja tadi akan jadi raja yang sukses didunia akan bahagia mendapat ridho Allah kemudian akan masuk Surga Allah SWT.

Sebagian manusia ‘alim dan jahil, untuk menguji manusia apakah yang ‘alim mengamalkan agama Allah dengan mengajarkan ilmu-Nya. Apakah yang jahil mau mengamalkan agama dengan belajar kepada yang ‘Alim.

Sebagian manusia dijadikan kaya, sebagian juga miskin, karena apa, karena Allah hendak menguji manusia apakah orang yang kaya menggunakan kekayaannya sesuai dengan tertib yang telah digariskan Allah dalam agama dan Allah ingin menguji orang-orang miskin, apakah dalam kemiskinan ini dia mengamalkan agama Allah atau tidak, ia bersabar atau tidak.

Nabi Sulaiman AS. dengan kerajaannya begitu hebat bukan hanya manusia jadi rakyatnya bahkan Jin dan semua binatang dan lainnya dibawah kekuasaan Beliau AS. Beliau dikasih kekuatan ruhani yang luar biasa, sehingg kerajaan Ratu Balqis bisa dipindahkan dari Yaman ke Palestina dalam sekelit mata, tetapi Beliau tidak menganggap ini suatu kesuksesan tetapi Beliau anggap ini suatu ujian. Beliau mengatakan “Ini adalah anugerah Tuhanku karena Dia hendak menguji apakah aku bersyukur atau kufur”.

Allah SWT. berkuasa menciptakan dunia ini tanpa masalah (bebas masalah) tetapi memang Allah menghendaki dunia sebagai tempat jujian. Jangan kita mengeluh kenapa ada masalah ini, kenapa ada masalah itu, memang dunia dijadikan Allah untuk ujian dimana dalam ujian ini Allah hendak (menampakkan) siapakah yang pantas menjadi kekasih-kekasih Allah yaitu dalam suasana-suasana yang sulit/menyusahkan merka. Senantiasa taat kepada Allah dan siapakah orang yang tidak layak menjadi kekasih-kekasih Allah. Maka kita hadapi kehidupan dunia ini apa adanya, jangan kita melamun membikin dunia yang tanpa masalah, itu tidak akan terjadi. Dunia dijadikan bermasalah karena ini adalah ujian dari Allah kepada hamba-Nya. Maka orang yang paling mulia disisi Allah yaitu para Nabi, Rasul, mereka paling banyak ujian (tantangan) adalah para Nabi, Rasul kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.

Suatu hari Nabi SAW. sakit panas, sehingga saking panasnya, tembus ke selimut Beliau. Seorang sahabat memegang selimut dan betul-betul merasa sedih dengan sakit Nabi SAW. Nabi SAW : “Saya dikasih sakit panas dua kali lipat dari sakit orang biasa”. Sahabat : “Allah menghendaki pahala duakali lipat ya Rasul”. Nabi SAW : “Benar”.

Dunia diciptakan karena masalah agama, begitu juga akherat karena masalah agama, kalau dunia ini tempat ujian maka akherat “darul jaza’ ” hasil dari ujian itu, tempat pembalasan orang-orang yang lulus mengamalkan agama didunia, sukses menghabiskan umurnya taat kepada Allah, mengikuti sunnah Rasul SAW. maka dia akan menjadi penghuni-penghuni Surga, menjadi raja-raja besar disana, berteman dengan para Nabi/ Rasul, wali Allah.

Seorang ‘ulama mengatakan seumpama Surga itu tidak ada nikmat apa-apa kecuali satu saja yaitu berjumpa dengan Nabi SAW. itu sudah cukup sebagai suatu kemuliaan.

Seorang ‘ulama ditanya apa yang nanti kamu cita-citakan di akherat, maka Beliau mengatakan saya ingin nanti mati kalau di Surga akan menjumpai Rasulullah SAW. dan bertanya mana hadits shahih dan hadits dhaif biar selesai khilafiah-khilafiah di dunia ini.

Alangkah indahnya alam yang dijanjikan Allah SWT. untuk orang-orang yang menghabiskan umurnya dalam taat kepada Allah. Istana-istana emas dan intan, sungai-sungai dari susu dan madu, kenikmatan yang tiada batas. Bidadari-bidadari nan cantik, kalau kecantikan seluruh wanita didunia ini dikumpulkan jadi satu, tidak ada 1% dari kecantikan wanita di Surga.

Text Box: Peranan Menulis Dalam Islam   Pada zaman Imam Syafe’I ada seorang ulama besar yang bernama Syu’bah karena termasyhur ke’aliman ulama’ ini sehingga saat meninggalnya Imam Syafe’I berpidato di masjid : “Maata Syu’bah, maata al-‘ilmi” (Saudara-saudara Syu’bah telah wafat, ilmu jadi mati).  Imam Syu’bah tidak terkenal karena dia tidak menulis tetapi Imam Syafe’I menulis.  Mengapa Harun al-Rasyid tidak lebih terkenal seperti imam Syafe’I karena ia tidak menulis, jadi orang yang menulis itu peninggalannya lama.  Mereka itu mujahid seperti firman Allah : “Bal ahya walakinna laa yas’uruun”, (bahwa mereka itu sebenarnya tidak mati tetapi mereka itu hidup). Kalau kita membaca kitab karangan orang terdahulu, maka sepertinya kita berbicara bersama dia  (berdialog).  Itu bentuk kelebihan amal mereka, jadi bila ulama tidak menulis keterkenalannya dapat ditandingi oleh orang besar atau monumental seumpama karya seorang Presiden, Negarawan atau Politikus. Dapat diberikan contoh dikalangan ulama Indonesia zaman dahulu yang menulis seperti syeikh Nawawi al-Bantani yang banyak menulis dan juga mufassir dari tafsir al-Munawar, hari ini karya itu dikaji orang diberbagai Negara termasuk Muangthai, Mindanau (Filipina Selatan) di Indonesia banyak terdapat di pesantren-pesantren tradisional.  Adalagi di Banjarmasin yaitu Syeikh Moh. Arsyad al-Banjari yang mengarang Syabil al-Mu’tadin yang kemudian diabadikan menjadi nama Masjid Raya di Banjarmasin.  Beliau adalah penyusun kitab mengenai hukum Waris.  Jadi perkembangan ilmu tidak terlepas dari menulis.  Namun kadang-kadang Syetan datang kepada kita apa yang kamu cari dalam ketaatan kepada Allah, hasilnya malah kamu dihina, dikucilkan, berhenti saja ikuti apa kebanyakan orang-orang ditempat kamu, suara Syetan menjanjikan itu ada dalam hati manusia. Yang kita cari adalah perkara besar, kemulian yang kekal abadi, yang kita cari adalah ridho Allah, kerajaan akherat, maka apalah artinya kesusahan-kesusahan sebentar didunia ini, tidak ada artinya.

Apalah artinya kesedihan-kesedihan hati didunia ini, apalah artinya kita dicaci maki diseluruh dunia kalau setelah itu kita dihadapkan kehadirat Allah SWT., dikumpulkan di padang Mahsyar dengan para Nabi, Rasul kemudian diumumkan kepada seluruh makhluk kita dipuji-puji jutaan tahun bahwa kita adalah orang yang sukses. Jibril mengumumkan : “Pada hari ini fulan bin fulan telah sukses, dia tidak akan celaka selama-lamanya, dia tidak akan susah selama-lamnya, kemudian apalah artinya kemuliaan diduni ini, disanjung-sanjung akan tetapi bila di akherat (padang Mahsyar) kita dihinakan di mahkamah ilahi.

Seseorang dihadapkan pada mahkamah ilahi dia ditanya tentang hal-hal amalan-amalan didunia ini karena saking malunya dia gigit tangannya sampai habis, dia berteriak ya Allah, kirimlah aku ke Neraka jangan aku dipermalukan di depan makhluk-makhluk mu ini.

Tidak ada apa-apanya dunia ini kalau kita memandang negeri akherat, maka Syetan selalu usaha supaya lupa kepada negeri akherat. Hanya orang yang lupa kepada negeri akherat yang bisa ditipu oleh Syetan.

Wallahu a’lam.

Adab Sunnah Sehari-hari

Bab Kepada Pemimpin

Dan Adab-adabnya (bag. 2)


Yang menjadi pemimpin

§ Dianjurkan memilih pemimpin yang adil dan bijaksana. (An Nisa’ : 135)

§ Jika ada dua orang pemimpin yang terpilih, maka boleh membunuh salah satu darinya. Yakni, pemimpin yang kedua. (Muslim)

§ Tidak mungkin ada dua pedang dalam satu sarung. Tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu wilayah kekuasaan. (Umar bin Khattab ra.)

§ Jangan sekali-kali meminta atau berharap menjadi pemimpin. Barangsiapa berkeinginan untuk menjadi pemimpin, akan menyesal pada hari Kiamat. (Bukhari, Muslim). * Tetapi bila diberi amanat untuk memimpin, hendaknya ditunaikan dengan baik.

§ Jangan memilih orang yang ingin (mencalonkan diri) menjadi pemimpin. (Shofyan)

§ Jangan sekali-kali mengangkat pemimpin dari orang yang tidak beragama. (An Nisa’ : 118 Baghowi)

§ Jangan sekali-kali mengangkat wanita sebagai pemimpin. Suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka, niscaya mereka tidak akan berjaya. (Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i)

§ Boleh mengangkat orang buta menjadi pemimpin. (Abu Dawud)

Pemberian

§ Hendaknya berhati-hati dalam memberi hadiah terhadap pemimpin. Pemberian hadiah kepada umara’, dikhawatirkan mengandung unsur suap. (Abu Dawud, Baihaqi). * Suap adalah memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dengan cara batil atau menghentikan yang hak.

§ Karena demikian bahayanya memberi kepada penguasa, sehingga makruh hukumnya memberi hadiah kepada penguasa. (Syekh Nashr Samarqandi)

§ Barangsiapa memberikan jasa kepada seseorang, kemudian memberi imbalan atas jasanya dan diterima oleh si pemberi jasa, maka ia telah mendatangi pintu riba’. (Abu Dawud)

§ Apabila diberi suatu tugas oleh pimpinan, maka hendaknya menunjukkan kegembiaraan, bukan bermuka masam (Muttafaqun ‘Alaih)

Persatuan

Hendaknya senantiasa dalam persatuan. Apa yang dibenci dalam persatuan itu lebih baik, daripada apa yang disukai dalam perpecahan. (Ibnu Mas’ud ra.)