Minggu, 30 Agustus 2009

Risalah Ramadhan

Risalah Ramadhan (1)

Diriwayatkan dari Salman ra., dia berkata Nabi SAW. telah memberi khutbah pada akhir bulan Sya’ban, sabdanya : ”Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh berkah, bulan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Bulan yang didalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardhu dan bangun malam sebagai sunat. Barangsiapa mendekatkan diri didalamnya dengan melakukan amalan sunat maka pahalanya seperti orang yang melakukan amalan fardhu pada bulan lainnya. Dan barangsiapa melakukan amalan fardhu didalamnya maka pahalanya seperti orang yang melakukan 70 amalan fardhu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran dan pahala sabar adalah Surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambahkan. Barangsiapa pada bulan tersebut memberi buka kepada orang yang berpuasa maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, dan mendapat pahala yang sama tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang itu”.
Kami bertanya : ”Wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa”.
Beliau bersabda : ”Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi buka puasa meski dengan sebutir kurma, seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang awalnya penuh rahmat, tengahnya penuh ampunan dan akhirnya penuh kebebasan dari api Neraka. Perbanyaklah mengucapkan empat hal yaitu : Asyhadu anlaa ilaha illallah, astaghfiullah, as alukal jannah, a’udzubika minannar. Barangsiapa memberi minum orang yang berpuasa maka Allah akan memberinya minum seteguk air dari telagaku dimana ia tidak akan haus hingga masuk Surga”. (Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Ibnu Hibban)

1. Keutamaan bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra., Nabi SAW. memberi kabar gembira kepada para shahabatnya dengan bersabda, ”Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya ; pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan para syetan diikat ; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada 1.000 bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa”. (Ahmad, An Nasa’i)
Dari Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do’a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para Malaikat-Nya, maka tunjukanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah dibulan ini”.
Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu : bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah daripada aroma kesturi, para Malaikat memohonkan ampunan bagi mereka sampai mereka berbuka, Allah SWT. setiap hari menghiasi Surga-Nya lalu berfirman (kepada Surga) hampir tiba saatnya para hamba-Ku yang shalih dibebaskan dari beban dan derita serta menuju kepadamu, pada bulan ini para Jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak bebas bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan kepada umatku ampunan pada akhir malam”.
Beliau SAW. ditanya, ”Wahai Rasulullah apakah malam itu Lailatul Qadar”, Jawab Beliau SAW., ”Tidak, namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika menyelesaikan amalnya”. (Ahmad). Isnad hadits tersebut dha’if, dan diantara bagiannya ada nash-nash lain yang memperkuatnya.

2. Keutamaan puasa

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW. bersabda, ”Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas 10X lipatnya bahkan sampai 700X lipat. Allah berfirman : kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari aroma kesturi”.
Perlu diketahui bahwa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah tidak dapat dicapai kalau tidak meninggalkan syahwat, sedangkan puasa merupakan salah satu jalannya. Untuk itu Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari)
Inti dari pernyataan ini, bahwa tidak sempurna bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang mubah kecuali setelah bertaqarrub kepada-Nya dengan meninggalkan hal-hal yang haram.
Jika seseorang dengan makan dan minum berniat agar kuat badannya dalam shalat malam dan puasa maka ia mendapat pahala karenanya. Juga jika dengan tidurnya pada malam dan siang hari berniat agar kuat beramal maka tidurnya itu merupakan ibadah.
Jadi orang yang berpuasa senantiasa dalam keadaan ibadah pada siang dan malam harinya. Dikabulkan do’anya ketika berpuasa dan berbuka. Pada siang harinya ia adalah orang yang berpuasa dan sabar, sedang pada malam harinya ia adalah orang yang memberi makan dan bersyukur.
Diantara syarat mendapatkan pahala puasa adalah agar berbuka puasa dengan yang halal. Jika berbuka puasa dengan yang haram maka ia termasuk orang yang menahan diri dari yang dihalalkan Allah dan memakan apa yang diharamkan Allah, dan tidak dikabulkan do’anya.
Orang mukmin pada bulan Ramadhan melakukan dua jihad, yaitu : jihad untuk dirinya pada siang hari dengan puasa dan jihad pada malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang memadukan kedua jihad ini, memenuhi segala hak-haknya dan bersabar terhadapnya, niscaya diberikan kepadanya pahala yang tak terhitung. (lihat Lathaa’iful Ma’arif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 163, 165 dan 183)

3. Kekhususan dan keistimewaan bulan Ramadhan

Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah : 183)
Sabda Nabi SAW. : ”Islam didirikan di atas 5 sendi, yaitu syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi Haji ke baitul Haram”. (Muttafaqun ’Alaih)
Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai taqwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah yang lainnya. Firman Allah dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi SAW, ”Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi”. (Muttafaqun ’Alaih)
Dan sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Maka untuk memperoleh ampunan dengan puasa Ramadhan, harus ada dua syarat yakni mengimani dengan benar akan kewajiban ini dan mengharap pahala karenanya disisi Allah.
Pada bulan Ramadhan diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan berisi keterangan-keterangan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.
Pada bulan ini disunnatkan shalat Tarawih, yakni shalat malam pada bulan Ramadhan, Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa mendirikan shalat malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaqun ’Alaih)
Pada bulan ini terdapat Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan, malam dimana pintu-pintu langit dibukakan, do’a dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa mendirikan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Lailatul Qadar terdapat pada 10 malam terakhir, dah diharapkan pada malam-malam ganjil lebih kuat dari malam-malam yang lainnya. Karena itu, seorang muslim harus senantiasa mengharap rahmat Allah dan takut dari siksa-Nya, memanfaatkan kesempatan pada malam-malam itu dengan bersungguh-sungguh pada setiap malam dari kesepuluh malam tersebut dengan shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, istighfar, do’a dan bertaubat yang sebenar-benarnya.
Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yaitu perang Badar, yang pada keesokan harinya Allah membedakan antara yang haq dan yang bathil, sehingga menanglah Islam dan kaum muslimin serta hancurlah syirik dan kaum musyrikin.
Pada bulan ini terjadi pembebasan kota Mekkah dan Allah memenangkan Rasul-Nya, sehingga masuklah manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong dan Rasulullah menghancurkan syirik dan paganisme (keberhalaan) yang terdapat di kota Mekkah, dan Mekkahpun menjadi negeri Islam.
Pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan para Syetan diikat. Betapa banyak berkah dan kebaikan yang terdapat dalam bulan Ramadhan. Maka kita wajib memanfaatkan kesempatan ini untuk bertaubat dan beramal shalih kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
Sabda Nabi SAW., ”Jibril datang kepadaku dan berkata, wahai Muhammad, siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan itu habis dan ia tidak mendapatkan ampunan, maka mati ia masuk Neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakan : Amin”, maka akupun mengatakan, ”Amin”. (Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam shahihnya). (Lihat kitab An Nashai’hud Diniyyah, hlm. 37-39).***


Risalah Ramadhan (2)


Sebagai seorang muslim yang memahami betul tentang keutamaan bulan Ramadhan tentu akan menggunakan waktu sebaik mungkin untuk beramal kebaikan, seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dzikir, do’a dan istighfar. Ramadhan adalah kesempatan untuk menanam bagi para hamba Allah, membersihkan hati dari kerusakan. Juga wajib menjaga anggota badan dari segala dosa, seperti berkata yang haram, melihat yang haram, mendengar yang haram, minum dan makan yang haram agar puasanya menjadi bersih dan diterima serta orang yang berpuasa memperoleh ampunan dan pembebasan dari api Neraka.
Shalat 5 waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan diantaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan”. (Muslim)
Jadi hal-hal yang fardhu ini dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, dengan syarat dosa-dosa besar ditinggalkan. Dosa-dosa besar, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman di dunia dan siksaan di akherat. Misalnya : zina, mencuri, minum arak, mencaci kedua orang tua, memutuskan hubungan kekeluargaan, transaksi dengan riba, mengambil risywah (uang suap), bersaksi palsu, memutuskan perkara bukan dengan hukum dari Allah. Dosa-dosa besar ini tidak akan diampunkan kecuali memohon
ampun dan bertaubat kepada Allah.
 Hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa Ramadhan

Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Firman Allah : ”.......... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ..........”. (Al Baqarah : 187)
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya’ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya.
Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim yang baligh (dewasa), aqil (berakal), dan mampu untuk berpuasa. Adapun syarat wajib berpuasa ada empat, yaitu : Islam, berakal, dewasa dan mampu.
Anak kecil disuruh berpuasa jika kuat, hal ini untuk melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada umur 7 tahun dan dipukul pada umur 10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri.
Syarat sah puasa ada 6, yaitu :
1. Islam ; tidak sah puasa orang kafir sebelum dia masuk Islam
2. Akal ; tidak sah puasa orang gila sampai dia berakal
3. Tamyiz ; tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang baik dan yang buruk)
4. Tidak haid ; tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya
5. Tidak nifas ; tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifasnya
6. Niat ; dari malam hari untuk setiap hari puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya”. (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An Nasa’i, At Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari, yaitu dengan meniatkan puasa di salah satu bagian malam.

 Sunnah-sunnah puasa

Sunnah puasa ada enam, yaitu :
1. Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak mengkhawatirkan terbit fajar.
2. Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam
3. Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah, menunaikan zakat harta kepada orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al Qur’an dan amal kebaikan lainnya.
4. Jika dicaci maki, supaya mengatakan : ”Saya berpuasa” dan jangan membalas mengejek, memaki, membalas kejahatan orang, tetapi semua itu dibalas dengan kebaikan agar mendapat pahala dan terhindar dari dosa.
5. Berdo’a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan. Seperti membaca do’a : ”Ya Allah hanya untukmu aku berpuasa, dengan rezki anugerah-Mu aku berbuka, Maha Suci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
6. Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air.

 Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan

Diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan bagi empat golongan, yaitu :
Pertama, Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah : ”......... maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ........” (Al Baqarah : 184).
Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
Kedua, wanita haid dan wanita nifas ; mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. ’Aisyah ra. berkata : ”Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat”. (Muttafaqun ’Alaih)
Ketiga, wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus mengqadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus mengqadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi’, I/124.
Keempat, orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, I/215.
Sedang jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha’ (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab Limdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, hlm 28.
Diharamkan melakukan jima’ (bersenggama) pada siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus mengqadha dan membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari kaffarah tersebut. Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm 102-108.

 Hal-hal yang membatalkan puasa

Pertama, Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
Kedua, Jima’ (bersenggma)
Ketiga, Memasukkan makanan kedalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah bagi orang yang berpuasa.
Keempat, Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa sengaja.
Kelima, Keluar darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam
matahari.
Keenam, Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha”. (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi)
Ketujuh, Murtad dari Islam semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al An’am : 88)
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa sengaja.
Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna 40 hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa untuk menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah (menyebutkan kejelekan orang lain), namimah (adu domba), mendo’akan laknat orang lain (agar terjauh dari rahmat Allah) dan mencaci maki. Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram, makan dan minum yang haram.

 Qiyam Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra., Nabi SAW. bersabda, ”Barangsiapa mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ’Alaih)
Dari Abdurrahman bin ’Auf ra. bahwasanya Nabi SAW. menyebut bulan Ramadhan seraya bersabda, ”Sungguh, Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah puasanya dan kusunnatkan shalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya”. (An Nasa’i, katanya : yang benar adalah dari Abu Hurairah). Menurut Al Arna’uth dalam Jaami’ul Ushuul, juz 6 hlm 441, hadits ini hasan dengan adanya nash-nash lain yang memperkuatnya.
Qiyam Ramadhan hukumnya sunnat mu’akkadah, Nabi SAW. sangat menganjurkan dan menekankan, juga dilakukan para shahabat dan tabi’in. Kita seharusnya juga demikan, harus senantiasa mengerjakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan apalagi 10 malam terakhir untuk mendapatkan Lailatul Qadar.
Shalat Tarawih termasuk qiyam Ramadhan. Karena itu, hendaklah bersungguh-sungguh dan memperhatikannya serta mengharapkan pahala balasannya dari Allah. Malam Ramadhan adalah kesempatan yang terbatas bilangannya dan orang mukmin yang berakal akan memanfaatkannya dengan baik tanpa terlewatkan. Jangan pulang dari shalat Tarawih sebelum imam selesai darinya dan dari shalat witir, agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Hal ini didasarkan sabda Nabi SAW., ”Barangsiapa mendirikan shalat malam bersama imam sehingga selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk”. (Para penulis kitab Sunan dengan sanad Shahih).
Shalat Tarawih adalah sunat, dilakukan dengan berjama’ah lebih utama. Demikian yang masyhur dilakukan para shahabat. Shalat ini tidak ada batasannya. Boleh melakukannya 20 raka’at, 36 raka’at, 8 raka’at atau 10 raka’at, semuanya baik. Banyak atau sedikitnya raka’at tergantung pada panjang atau pendeknya bacaan ayat. Shalat supaya khusyu’, thuma’ninah, dihayati dan dibaca dengan pelan tidak dengan cepat atau tergesa-gesa.

 Membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan dan lainnya

Sangat diutamakan bagi seorang muslim yang mengharap rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya untuk memperbanyak membaca Al Qur’an pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridha-Nya, memperoleh keutamaan dan pahala-Nya. Karena Al Qur’an adalah sebaik-baik kitab yang diturunkan kepada Rasul termulia, untuk umat terbaik yang pernah dilahirkan kepada umat manusia dengan syariat yang paling utama, paling mudah, paling luhur dan paling sempurna.
Al Qur’an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangan-Nya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah di hadapan Tuhan dan memberi syafaat pada hari Qiamat.
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al Qur’an, sebagaimana firman Allah : ”Bulan Ramadhan, yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an .......”. (Al Baqarah : 185)
Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bertemu dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al Qur’an.
Hal itu dianjurkannya mempelajari Al Qur’an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk itu, juga membaca Al Qur’an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al Qur’an pada bulan Ramadhan.

Risalah Ramadhan (3)


Pada bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk memperbanyak mempelajari dan membaca Al Qur’an, dan lebih utama dibaca secara bergantian ditempat ibadah (masjid) masing-masing, karena malaikat Jibril AS. setiap bulan Ramadhan membacakan dan menyimak Al Qur’an bersama Rasulullah SAW. secara bergantian.
Nabi SAW. bersabda, ”Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka diliputi rahmat, dikerumuni malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para malaikat di hadapan-Nya”. (Muslim).
Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan bahwa pembacaan Al Qur’an antara Nabi dan Jibril terjadi pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya untuk membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala kesibukan, sehingga lebih mudah untuk khusyu’. firman Allah : ”Sesungguhnya bangun diwaktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’), dan bacaan diwaktu itu lebih berkesan”. (Al Muzzammil : 6)

 Sedekah di Bulan Ramadhan

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra., Ia berkata : ”Nabi SAW. adalah orang yang paling dermawan, dan Beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, kedermawanan Beliau dalam kebaikan lebih daripada angin yang berhembus. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan tambahan : ”Dan Beliau tidak pernah diminta sesuatu kecuali memberikannya”.
Menurut riwayat Baihaqi, dari ’Aisyah rha., ”Nabi SAW. jika masuk bulan Ramadhan membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta”.
Kedermawanan adalah sifat murah hati dan banyak memberi. Allah pun bersifat Maha Pemurah, Allah SWT. Maha Pemurah, kedermawanan-Nya berlipat ganda pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan.
Demikian juga Nabi SAW. adalah manusia yang paling dermawan, paling mulia, paling pemberani dan amat sempurna dalam segala sifat yang terpuji, kedermawanan Beliau pada bulan Ramadhan berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya, sebagaimana kemurahan Tuhannya berlipat ganda pada bulan ini.
Barangsiapa yang membantu orang yang berpuasa dan berdzikir supaya senantiasa taat, maka seumpama orang yang membekali saudaranya yang berperang, maka ia memperoleh seperti pahala orang yang berperang, dan siapa yang menanggung dengan baik keluarga orang yang berperang maka ia memperoleh pula seperti pahala orang yang berperang. Dinyatakan dalam hadits Zaid bin Khalid dari Nabi SAW. Beliau bersabda, ”Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa maka baginya seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikitpun dari pahalanya”. (Ahmad, Tirmidzi)
Bulan Ramadhan adalah saat Allah berderma kepada para Hamba-Nya dengan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api Neraka, terutama pada Lailatul Qadar Allah melimpahkan kasih-Nya kepada para hamba-Nya yang bersifat kasih, maka barangsiapa berderma kepada para hamba Allah niscaya Allah Maha Pemurah kepadanya dengan anugerah dan kebaikan. Balasan itu adalah sejenis dengan amal perbuatan.
Dinyatakan dalam hadits Ali ra., bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Sungguh di Surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar”. Maka berdirilah kepada Beliau seorang Arab Badui seraya berkata, ”Untuk siapakah ruangan-ruangan itu Wahai Rasulullah ?” Jawab Beliau SAW. : ”Untuk siapa saja yang berkata baik, memberi makan, selalu berpuasa dan shalat malam ketika orang-orang dalam keadaan tidur”. (Tirmidzi)
Semua kriteria ini terdapat dalam bulan Ramadhan, puasa, shalat malam, sedekah dan perkataan baik. Karena pada waktu ini orang yang berpuasa dilarang dari perkataan kotor dan perbuatan keji, sedangkan shalat, puasa dan sedekah dapat menghantarkan pelakunya kepada Allah SWT.
Puasa dan sedekah bila dikerjakan bersama-sama lebih dapat menghapuskan dosa-dosa dan menjauhkan dari api Neraka Jahannam, terutama jika ditambah lagi shalat malam. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa itu merupakan perisai bagi seseorang dari api Neraka, sebagaimana perisai dalam peperangan”. (Ahmad, An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Utsman bin Abil ’Ash ; juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya serta dinyatakan shahih oleh
Hakim dan disetujui Adz dzahabi).
Diriwaytkan pula oleh Ahmad dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa itu perisai dan benteng kokoh yang melindungi seseorang dari api Neraka”.
Dari Mu’adz ra., Nabi SAW. bersabda : ”Sedekah dan shalat ditengah malam dapat menghapuskan dosa sebagaimana air memadamkan api”. (Tirmidzi)
Dalam puasa tentu terdapat kekeliruan serta kekurangan. Dan puasa dapat menghapuskan dosa-dosa dengan syarat menjaga diri dari apa yang mesti dijaga. Padahal kebanyakan puasa yang dilakukan kebanyakan orang tidak terpenuhi dalam puasanya itu penjagaan yang semestinya. Dan dengan sedekah, kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dapat terlengkapi. Karena itu akhir Ramadhan, diwajibkan membayar zakat fithrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan perbuatan keji.

 Tafsiran ayat-ayat tentang puasa

Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahuinya”. (Al Baqarah : 183 – 184)
Ayat diatas ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama serta segala hal yang membatalkan, dengan niat ikhlas karena Allah SWT. karena didalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa, juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, disamping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu. Dari sinilah kita mendapat teladan. Maka, hendaknya berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan orang-orang terdahulu. (Tafsir Ibnu Katsir, 11313)
Lalu, dijelaskan manfaat puasa yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk mentaati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. (Tafsir Ayaatul Ahkaam, oleh Ash Shabuni, I/192).
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Diantara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, dimana seluruh umat Islam melakukannya.
Lalu Allah memberi kemudahan lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya : ”Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.(Al Baqarah : 184).
Karena merasa berat, maka Allah memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Allah memerintahkan mereka agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika sembuh dari sakit atau tidak lagi melakukan perjalanan, dan sedang dalam keadaan luang. (Tafsiirul Lat’nifil Mannaan fi Khulaashati Tafsiirul Qur’an, oleh Ibnu Sa’di, hlm 56).
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula berbuka dengan syarat memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas ra. berkata : ”Karena itulah Allah berfirman, dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Tafsir Ibnu Katsir, I/214).
Firman Allah : ”(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).
Allah memberitahukan bahwa bulan yang didalamnya diwajibkan puasa bagi mereka itu adalah bulan Ramadhan. Bulan dimana Al Qur’an yang dengannya Allah memuliakan umat Muhammad diturunkan untuk pertama kalinya. Allah menjadikan Al Qur’an sebagai undang-undang serta peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang-orang yang ingin menitinya. Didalamnya terdapat pembeda antara yang haq dengan yang bathil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan yang haram.
Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah bulan diturunkannya rahmat kepada segenap hamba, dan Allah tidak menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuali kemudahan. Karena itu Dia membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan Ramadhan, dan memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu bulan. Selain itu, Dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman : ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).
Maksudnya, bila kita telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga batasan-batasan (hukum-Nya), maka hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur karenanya”. (Tafsir Ibnu Katsir, I/218).
Firman Allah : ”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu ; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh aAllah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (Al Baqarah : 187)
Sebab turunnya ayat : Imam Al Bukhari meriwyatkan dari Al Barra bin ’Azib, bahwasanya ia berkata : ”Dahulu, para shahabat, jika seseorang dari mereka berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al Anshari dalam keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika datang waktu berbuka, ia mendatangi istrinya seraya berkata padanya : ”Apakah engkau memliki makanan?” Ia menjawab : ”Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan untukmu”. Padahal siang harinya ia sibuk bekerja, karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah istrinya. Tatkala ia melihat suaminya (tertidur) ia berkata : ”Celaka kamu”. Ketika sampai tengah hari, ia menggauli (istrinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabi SAW., sehingga turunlah ayat : ”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu”. Maka mereka sangat bersuka cita karenanya, kemudian turunlah ayat berikut : ”Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Lihat kitab Ash Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzul, hlm 9).
Hubungan suami istri dahulunya dilarang pada malam hari bulan Ramadhan akan tetapi setelah ayat ini turun dibolehkan berhubungan dengan istri asalkan hanya di malam hari saja. Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (4)


 Puasa yang sempurna

Agar puasa sempurna sesuai dengan tujuan, maka sangat dianjurkan untuk makan sahur, sehingga membantu kekuatan fisik selama berpuasa ; Nabi SAW. bersabda : ”Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah”. (Bukhari, Muslim)
Dalam hadits yang lain : ”Bantulah (kekuatan fisikmu) untuk berpuasa di siang hari dengan makan sahur, dan untuk shalat malam dengan tidur siang”. (Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).
Akan lebih utama jika makan sahur itu diakhirkan waktunya, sehingga mengurangi rasa lapar dan haus. Hanya saja harus berhati-hati, untuk itu hendaknya kita telah berhenti makan dan minum beberapa menit sebelum terbit fajar, agar tidak ragu-ragu.
Segeralah berbuka jika matahari benar-benar telah tenggelam. Nabi SAW. bersabda : ”Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”. (Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
Usahakan mandi hadats besar sebelum terbit fajar, agar bisa melakukan ibadah dalam keadaan suci.
Manfaatkan bulan Ramadhan dengan sesuatu yang terbaik yang pernah diturunkan didalamnya, yakni membaca Al Qur’an. Sesungguhnya Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan selalu menemui Nabi SAW. untuk membacakan Al Qur’an kepadanya”. (Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas ra.)
Selama Ramadhan hendaklah menjaga lisan dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok serta perkataan mengada-ada. Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari)
Hendaknya puasa tidak membuatmu keluar dari kebiasaan. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab sepele, dengan dalih bahwa engkau sedang berpuasa. Sebaliknya, mestinya puasa membuat jiwamu tenang, tidak emosional. Dan jika kita diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, jangan kita hadapi dia dengan perbuatan serupa. Nasehat dan tolaklah dengan cara yang lebih baik. Nabi SAW. bersabda : ”Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata sesungguhnnya aku sedang berpuasa”. (Bukhari, Muslim, para penulis kitab Sunan).
Ucapan itu dimaksudkan agar ia menahan diri dan tidak melayani orang yang mengumpatnya, disamping itu juga mengingatkan agar ia menolak melakukan penghinaan dan caci maki.
Hendaknya setelah puasa membawa
taqwa kepada Allah, takut dan bersyukur kepada-Nya, serta senantiasa istiqomah dalam agama-Nya. Hasil yang baik itu hendaknya mengiringi kita sepanjang tahun. Dan buah paling utama dari puasa adalah taqwa, sebab Allah berfirman : ”.... agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah : 183)
Menjaga diri dari berbagai syahwat (keinginan), bahkan meskipun halal bagi kita. Hal itu agar tujuan puasa tercapai dan mematahkan nafsu dari keinginan. Jabir bin Abdillah ra. berkata : ”Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaran, penglihatan dan lisan dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kita senantiasa bersikap tenang pada hari puasa.
Hendaknya makananmu dari yang halal. Jika kamu menahan diri dari yang haram pada bulan selain bulan Ramadhan maka pada bulan Ramadhan lebih utama. Dan tidak ada gunanya engkau berpuasa dari yang halal, tetapi berbuka dengan yang haram.
Memperbanyak sedekah dan berbuat kebajikan. Dan hendaknya kamu lebih baik dan lebih banyak berbuat kebajikan kepada keluarga dibanding pada selain bulan Ramadhan. Nabi SAW. adalah orang yang paling dermawan, dan Beliau lebih dermawan ketika bulan Ramadhan.
Ucapkanlah Bismillah ketika kamu berbuka seraya berdo’a : ”Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rezeki-Mu aku berbuka. Ya Allah terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

 Tujuan puasa

Tujuan puasa adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga ia siap mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaannya ; menerima sesuatu yang menyucikannya, yang didalamnya terdapat kehidupan yang abadi, mematahkan permusuhan nafsu terhadap lapar dan dahaga serta mengingatkannya dengan keadaan orang-orang yang menderita kelaparan diantara orang-orang miskin ; menyempitkan jalan syetan pada diri hamba dengan menyempitkan jalan aliran makanan dan minuman ; puasa adalah untuk Tuhan semesta alam, tidak seperti amalan-amalan yang lain, ia berarti meninggalkan segala yang dicintai karena kecintaannya kepada Allah SWT. ; ia merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya, sebab para hamba mungkin bisa diketahui bahwa ia meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa secara nyata, tetapi keberadaan dia meninggalkan hal-hal tersebut karena Tuhannya, maka tak seorangpun manusia yang mengetahuinya dan itulah hakikat puasa.

 Petunjuk Nabi dalam berpuasa

Petunjuk puasa dari Nabi SAW. adalah petunjuk yang paling sempurna untuk mencapai maksud, serta paling mudah penerapannya bagi segenap jiwa.
Diantara petunjuk puasa dari Nabi SAW. pada bulan Ramadhan adalah : memperbanyak melakukan berbagai macam ibadah. Jibril senantasa membacakan Al Qur’an untuk Beliau pada bulan Ramadhan ; Beliau juga memperbanyak sedekah, kebajikan, shalat, dzikir, i’tikaf dan bahkan Beliau mengkhususkan beberapa macam ibadah pada bulan Ramadhan, hal yang tidak Beliau lakukan pada bulan-bulan yang lain.
Nabi SAW. menyegerakan berbuka dan menganjurkan demikian, Beliau makan sahur dan mengakhirkannya, serta menganjurkan dan memberi semangat orang lain untuk melakukan hal yang sama. Beliau menghimbau agar berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya maka dengan air.
Nabi SAW. melarang orang yang berpuasa dari ucapan keji dan caci maki. Sebaliknya Beliau memerintahkan agar ia mengatakan kepada yang mencacinya, ”Sesungguhnya aku sedang puasa”.
Jika Beliau melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, terkadang Beliau meneruskan puasanya dan terkadang pula berbuka. Dan membiarkan para shahabatnya memilih antara berbuka atau puasa ketika dalam perjalanan. Beliau SAW. pernah mendapatkan fajar dalam keadaan junub sehabis menggauli istrinya maka Beliau segera mandi setelah terbit fajar dan tetap berpuasa.
Termasuk petunjuk Nabi SAW. adalah membebaskan qadha’ puasa bagi orang yang makan dan minum karena lupa, dan bahwasanya Allahlah yang memberinya makan dan minum.
Dan dalam riwayat yang shahih disebutkan Beliau bersiwak dalam keadaan puasa. Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW. menuangkan air diatas kepalanya dalam keadaan berpuasa. Beliau juga melakukan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) serta berkumur dalam keadaan puasa. Tetapi Beliau melarang orang yang berpuasa melakukan istinsyaq secara berlebihan. (Lihat kitab Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ’Ibad, I/320-338)

 Puasa yang disyariatkan

Puasa yang disyariatkan adalah puasanya anggota badan dari dosa-dosa, dan puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana makan dan minum membatalkan dan merusak puasa, demikian pula halnya dengan dosa-dosa, ia memangkas pahala puasa dan merusak buahnya, sehingga memposisikannya pada kedudukan orang yang tidak berpuasa.
Karena itu, orang yang benar-benar berpuasa adalah orang yang puasa segenap anggota badannya dari melakukan dosa-dosa, lisannya berpuasa dari dusta, kekejian dan mengada-ada, perutnya berpuasa dari makan dan minum, kemaluannya berpuasa dari senggama.
Bila berbicara, ia tidak berbicara dengan sesuatu yang menodai puasanya, bila melakukan suatu pekerjaan ia tidak melakukan sesuatu yang merusak puasanya. Ucapan yang keluar darinya selalu bermanfaat dan baik, demikian pula dengan amal perbuatannya.
Dalam hadits riwayat Imam Ahmad disebutkan : ”Dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah dari pada aroma minyak kesturi”. (Tirmidzi)
Inilah puasa yang disyariatkan, tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum. dalam hadits shahih dikatakan : ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta kedunguan maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (Bukhari, Ahmad). Dalam hadits lain dikatakan : ”Betapa banyak orang puasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (Ahmad).

 Berpisah dengan Ramadhan

Disebutkan dalam shahihain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa puasa bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
”Barangsiapa mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharap pahala dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (An Nasa’i)
Ibnu Hibban dan Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan mengetahui batas/ketentuannya serta memelihara hal-hal yang harus dijaga, maka dihapus dosanya yang telah lalu”.
Ampunan dosa tergantung pada terjaganya sesuatu yang harus dijaga seperti melaksanakan kewajiban dan meninggalkan segala yang haram. Para ulama berpendapat bahwa ampunan dosa tersebut hanya berlaku pada dosa-dosa kecil, berdasarkan hadits riwayat Muslim, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : ”Shalat lima waktu, Jum’at sampai Jum’at berikutnya dan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa yang terjadi diantara waktu-waktu tersebut, selama dosa-dosa besar ditinggalkan”.
Hadits ini memiliki dua konotasi, pertama : bahwa penghapusan dosa itu terjadi dengan syarat menghindari dan menjauhi dosa-dosa besar. Kedua : hal itu dimaksudkan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut hanya menghapus dosa-dosa kecil. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu harus disertai dengan taubat nashuha (taubat yang semurni-murninya).
Hadits Abu Hurairah diatas menunjukkan bahwa tiga faktor ini yakni puasa, shalat malam dibulan Ramadhan dan shalat pada malam Lailatul Qadar, masing-masing dapat menghapus dosa yang telah lampau, dengan syarat meninggalkan segala bentuk dosa besar.
Para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menghidupkan amal agama, memperhatikan dan mementingkan amal tersebut dan sangat khawatir jika ditolak. Mereka itulah orang-orang yang diganjar sesuai dengan perbuatan mereka sedangkan hatinya selalu gemetar (karena takut siksa Tuhannya).
Apabila puasa dibulan Ramadhan, melaksanakan shalat di malam harinya dan pada malam Lailatul Qadar, bersedekah, membaca Al Qur’an, banyak berdzikir dan berdo’a serta mohon ampunan dalam bulan mulia ini merupakan sebab diberikannya ampunan. Maka sudah selayaknya sebagai seorang muslim melakukan berbagai faktor tersebut yang akan membuatnya mendapat ampunan dari Allah SWT. ”Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih kemudian tetap dijalan yang benar’. (Thaaha : 82)
Jika keberadaan ampunan dan pembebasan dari api Neraka itu tergantung kepada puasa Ramadhan dan pelaksanaan shalat di dalamnya, maka di kala hari Raya tiba, Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertakbir dan bersyukur atas segala nikmatnya yang telah dianugerahkan. Maka sudah selayaknya untuk memperbanyak dzikir, takbir dan bersyukur kepada Tuhan serta selalu bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benar ketaqwaan. Allah SWT. berfirman : ”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mangagungkan Allah atas pertunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”. (Al Baqarah : 185).

 Peringatan

Sebagian orang apabila datang bulan Ramadhan, mereka bertaubat, mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah puasa. Namun jika Ramadhan lewat mereka kembali meninggalkan shalat dan melakukan perbuatan maksiat. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan saja. Tidakkah mereka tahu bahwa pemilik bulan-bulan itu adalah satu (Allah) berbagai bentuk kemaksiatan adalah haram disetiap waktu dan Allah Maha Mengetahui setiap gerak gerik kita dimana saja dan kapan saja. Maka sebaiknya segera bertaubat, yakni dengan meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, sehingga taubat diterima Allah.
Firman Allah : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai”. (At Tahrim : 8)
Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (5)


Pada bulan Ramadhan tidak sedikit orang yang membuat berbagai variasi pada menu makanan dan minuman mereka. Walaupun hal itu diperbolehkan, tetapi tidak dibenarkan israf (berlebih-lebihan) dan melampaui batas. Justru seharusnya adalah menyederhanakan makanan dan minuman. Allah berfirman : ”Makan dan minumlah dan janganlah kalian berbuat israf (berlebih-lebihan), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf”. (Al A’raaf : 31)
Ayat ini termasuk pangkal ilmu kedokteran. Menurut ulama, Allah mengklasifikasikan seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat, lantas membaca ayat ini.
Ayat ini menganjurkan makan dan minum yang merupakan penopang utama bagi kelangsungan hidup seseorang, kemudian melarang berlebih-lebihan dalam hal tersebut karena dapat membahayakan tubuh. Nabi SAW. bersabda : ”Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa disertai dengan berlebih-lebihan dan kesombongan”. (Abu Dawud, Ahmad, Bukhari)
Nabi SAW. bersabda lagi : ”Tiada tempat yang lebih buruk yang dipenuhi anak Adam daripada perutnya, cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat menopang tulang punggungnya jika hal itu tidak bisa dihindari maka masing-masing sepertiga bagian untuk makanannya, minumnya dan nafasnya”. (Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Timidzi, beliau berkomentar hadits ini Hasan, dan hadits ini merupakan dasar utama bagi semua dasar ilmu kedokteran). (Lihat Al Majmu’atul Jalilah, hlm 452).
Dampak yang paling ringan akibat berlebih-lebihan dalam makan dan minum adalah banyak tidur dan malas mengerjakan shalat Tarawih serta membaca Al Qur’an, baik di waktu malam atau di siang hari. Barangsiapa yang banyak makan dan minum, maka akan banyak tidurnya sehingga tidak sedikt kerugian yang menimpanya. Karena ia telah menyia-nyiakan detik-detik Ramadhan yang mulia dan sangat berharga yang tidak dapat digantikan dengan waktu lain serta tidak ada yang menyamainya. Jika diperhatikan, banyak manusia yang menghabiskan siang hari di bulan Ramadhan hanya untuk tidur mendengkur, sementara malamnya mereka habiskan untuk mengobrol dan bermain-main, sehingga mereka tidak merasakan puasa sedikitpun bahkan tidak sedikit yang meninggalkan shalat berjamaah semoga Allah menunjukinya.
Ramadhan merupakan bilangan hari, yang berlalu dengan cepat dan menjadi saksi ketaatan bagi orang-orang yang taat, sekaligus sebagai saksi bagi para tukang maksiat atas semua perbuatan maksiatnya. Setiap muslim seharusnya selau memanfaatkan waktunya dalam hal-hal yang berguna, janganlah memperbanyak makan dimalam hari dan tidur disiang hari, jangan pula menyia-nyiakan sedikt pun waktunya tanpa berbuat amal shalih atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sebagian orang malah begadang sepanjang malam, yang hal tersebut hanya membawa dampak negatif, baik berupa obrolan kosong, permainan yang tidak ada manfaatnya ataupun keluyuran di jalanan.
Ada yang makan sahur di pertengahan malam dan tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Nabi SAW. sangat membenci tidur sebelum shalat Isya’ dan berbicara sesudahnya kecuali dalam hal-hal yang baik.
Tersia-siakannya waktu yang amat mahal di bulan Ramadhan dengan percuma, padahal manusia akan merugi sekali dari setiap waktunya yang berlalu tanpa diisi dengan dzikir sedikitpun kepada Allah.
Mendahulukan sahur sebelum saat yang dianjurkan dan di sunnahkan yakni di akhir malam sebelum fajar. Dan musibah besar adalah tertidur hingga meninggalkan shalat Shubuh tepat waktunya dan berjamaah, padahal pahalanya sebanding dengan melaksanakan shalat sepanjang malam. Nabi SAW. bersabda : ”Barangsiapa mendirikan shalat Isya’ dengan berjamaah, maka ia bagaikan melaksanakan shalat separuh malam ; dan barangisiapa shalat Shubuh berjamaah maka bagaikan shalat semalam suntuk”. (Muslim)
Maka sudah selayaknya terutama di bulan Ramadhan setiap muslim segera tidur setelah melaksanakan shalat Tarawih dan membaca Al Qur’an, dan bangun di akhir malam kemudian shalat malam dan menyibukkan diri dengan dzikir, do’a, istighfar dan taubat sebelum dan seusai sahur hingga shalat fajar.
Tetapi lebih utama lagi jika ia habiskan malam harinya dengan membaca dan mempelajari Al Qur’an, sebgaimana yang telah dilakukan Nabi SAW. bersama Jibril AS.
Allah SWT. memuji dan menyanjung orang-orang yang memohon ampunan di akhir malam, sebagaimana dalam firman-Nya : ”Mereka sedikit sekali tidur di malam hari, dan di akhir malam mereka memohon ampunan kepada Allah”. (Adz Dzaariaat : 17 – 18)
Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim yang selalu berharap rahmat Tuhannya dan takut terhadap siksa-Nya memanfaatkan kesempatan penting ini dengan berdo’a dan mohon ampun kepada Allah untuk dirinya, kedua orang tuanya, anak-anaknya, segenap kaum muslimin dan para penguasanya. Memohon ampun dan bertaubat kepada Allah di setiap malam bulan Ramadhan dan disetiap saat dari umurnya yang terbatas sebelum maut menjemput, amal perbuatan terputus dan penyesalan berkepanjangan. Allah SWT. berfirman : ”Dan bertaubatlah kalian semua orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung”. (An Nur : 31).

 Fatwa-fatwa penting

Seorang shahabat bertanya kepada Nabi SAW. : ”Wahai Rasulullah, saya lupa sehingga makan dan minum, padahal saya sedang berpuasa”. Beliau SAW. menjawab : ”Allah telah memberimu makan dan minum”. (Abu Dawud). Dan dalam riwayat Daruquthni dengan sanad shahih disebutkan, ”Sempurnakan puasamu dan kamu tidak wajib mengqadhanya, sesungguhnya Allah telah memberimu makan dan minum”, peristiwa itu terjadi pada hari pertama di bulan Ramadhan.
Pernah juga Beliau ditanya tentang benang putih dan hitam, jawab Beliau : ”Yaitu terangnya siang dan gelapnya malam”. (An Nasa’i)
Seorang shahabat bertanya : ”Saya mendapati shalat shubuh dalam keadaan junub, sedang saya berpuasa bagaimana hukumnya?” Jawab Beliau SAW. : ”Aku juga pernah mendapati shalat Shubuh dalam keadaan junub, lantas aku berpuasa”. Ia berkata : ”Engkau tidak seperti kami wahai Rasulullah, karena Allah telah mengampuni semua dosamu”. Nabi SAW. menjawab : ”Demi Allah, sungguh aku berharap agar aku menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan paling tahu akan sesuatu yang dapat menuju kepada taqwa”. (Muslim).
Beliau SAW. pernah ditanya tentang puasa dalam perjalanan, maka dijawabnya : ”Terserah kamu, boleh berpuasa boleh pula berbuka”. (Muslim).
Hamzah bin ’Amr pernah bertanya : ”Wahai Rasulullah, saya mampu berpuasa dalam perjalanan, apakah saya berdosa?” Beliau SAW. menjawab : ”Ia adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, barangsiapa mengambilnya baik baginya dan barangsiapa lebih suka berpuasa maka ia tidak berdosa”. (Muslim).
Sewaktu ditanya tentang mengqadha puasa dengan tidak berturut-turut, Beliau menjawab : ”Hal itu kembali kepada dirimu (tergantung kemampuanmu), bagaimana pendapatmu jika salah seorang dari kamu mempunyai tanggungan hutang lalu mencicilnya dengan satu dirham, dua dirham, tidakkah itu merupakan bentuk pelunasan? Allah Maha Pemaaf dan Pengampun”. (Daruquthni, isnadnya hasan).
Ketika ditanya oleh seorang wanita : ”Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal sedangkan ia berhutang puasa nadzar, bolehkah saya berpuasa untuknya? Beliau SAW. menjawab : ”Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki tanggungan hutang lantas kamu lunasi, bukankah itu membuat lunas hutangnya?” Ia berkata : ”Benar”. Nabi SAW. bersabda : ”Puasalah untuk ibumu”. (Muttafaqun ’Alaih. Lihat I’laamul Muwaqqii’in ’An Rabbil ’Aalamiin, oleh Ibnul Qayyim, IV/266-267).
Menurut Ibnu Taimiyah hukum berkumur-kumur dan memasukkan air ke rongga hidung (istinsyaq), bersiwak, mencicipi makanan, muntah, keluar darah, meminyaki rambut dan memakai celak bagi orang yang sedang berpuasa tidaklah membatalkan. Mengenai hal ini Beliau menjawab : ”Adapun berkumur dan memasukkan air ke rongga hidung adalah disyari’atkan, hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama. Nabi SAW. dan para shahabatnya juga melakukan hal itu, tetapi Nabi SAW. bersabda kepada Al Laqiit bin Shabirah : ”Berlebih-lebihanlah kamu dalam menghirup air ke hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa”. (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Nabi SAW. tidak melarang istinsyaq bagi orang yang berpuasa, tetapi hanya melarang berlebih-lebihan dalam pelaksanaannya saja.
Sedangkan bersiwak adalah boleh, tetapi setelah zawal (matahari condong ke barat) kadar makruhnya diperselisihkan, ada dua pendapat dalam masalah ini dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad, namun belum ada dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya, yang dapat menggugurkan keumuman dalil bolehnya bersiwak.
Mencicipi makanan hukumnya makruh jika tanpa keperluan yang memaksa, tapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika memang sangat perlu, maka hal itu bagaikan berkumur, dan hukumnya boleh.
Adapun mengenai hukum muntah-muntah, jika memang disengaja maka hukumnya batal puasanya, tetapi jika datang dengan sendirinya tidak membatalkan. Sedangkan meminyaki rambut jelas tidak membatalkan.
Mengenai hukum keluar darah yang tidak dapat dihindari seperti darah istihadhah, luka-luka, mimisan (keluar darah dari hidung) dan lain sebagainya adalah tidak membatalkan puasa, tetapi keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa sesuai dengan kesepakatan ulama.
Mengenakan celak (sipat mata) yang tembus sampai ke otak, maka Imam Ahmad dan Imam Malik berpendapat hal itu membatalkan puasa, tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat hal itu tidak membatalkan. (Lihat Majmu’ Fataawaa, oleh Ibnu Taimiyah, 25/266-267).
Ibnu Taimiyah menambahkan dalam Al Ikhtiyaaraat : ”Puasa seseorang tidak batal sebab mengenakan celak, injeksi (suntik), zat cair yang diteteskan di saluran air kencing, mengobati luka-luka yang tembus sampai ke otak dan luka tikaman yang tembus ke dalam rongga tubuh. Ini adalah sebagian pendapat ulama. (Lihat Al Ikhtiyaaraatul Fiqhiyah, hlm. 108).
Dari ’Aisyah rha., bahwasanya Rasululah SAW. bersabda : ”Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa menggantikanya”. (Muttafaqun’Alaih).
Hadits ini menunjukkan anjuran berpuasa kepada orang yang masih hidup untuk si mayit, dan bahwasa jika seseorang meninggal dalam keadaan memiliki hutang puasa, maka boleh digantikan oleh walinya.
Imam Nawawi berkomentar : ”Para ulama berbeda pendapat tentang mayit yang memiliki tanggungan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, qadha dan nadzar atau lainnya. Apakah wajib diqadha untuknya?
Dalam masalah ini Imam Syafi’i memiliki dua pendapat, yang terpopuler adalah, tidak wajib diganti puasanya, sebab puasa pengganti untuk si mayit pada asalnya tidak sah. Adapun pendapat kedua, disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa sebagai pengganti bagi si mayit, hingga si mayit terbebas dari tanggungannya dan tidak usah membayar kaffarah (memberi makan orang miskin sesuai dengan bilangan puasa yang ditinggalkannya) (Lihat al Majmu’atul Jalilah, hlm. 158).
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai mulai kapan seorang anak yang menginjak dewasa diperintah melakukan ibadah puasa?
Beliau menjawab : ”Anak yang belum dewasa jika ia mampu berpuasa maka pantas diperintah melaksanakannya, dan bila meninggalkannya diberi hukuman”.
Syaikh Hamd bin Atiq ditanya tentang wanita yang mendapati darah haid sebelum terbenam matahari, apakah puasanya dinyatakan sah?
Beliau menjawab : ”Puasanya tidak sempurna pada hari itu”.
Syaikh Abdullah bin Syaikh Muhammad ditanya mengenai orang yang makan (berbuka) di bulan Ramadhan, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : ”Orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan atau minum harus diberi pelajaran (dengan hukuman) supaya jera”.
Syaikh Abdullah Ababathin ditanya tentang orang yang berpuasa mendapatkan aroma sesuatu, bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab : ”Semua aroma yang tercium oleh orang yang sedang puasa tidak membatalkan puasanya kecuali bau rokok, jika ia menciumnya dengan sengaja batallah puasanya”.
Tetapi jika asap rokok masuk ke rongga hidungnya tanpa disengaja tidak membatalkan, sebab amat sulit untuk menghindarinya dari orang yang merokok di dekat kita, tetapi sebaiknya menjauh dari perokok tersebut.
Sebagai muslim, kedatangan dan kehadiran bulan Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan suatu yang amat membahagiakan kita. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah fil Islam mengungkapkan 5 rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan, yaitu : menguatkan jiwa, mendidik kemauan, menyehatkan badan, mengenal nilai kenikmatan, mengingat dan merasakan penderitaan orang lain. Wallahu a’lam.

Risalah Ramadhan (6)


 Rahasia puasa

Sebagai muslim, kedatangan dan kehadiran bulan Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan suatu yang amat membahagiakan kita. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah fil Islam mengungkapkan 5 rahasia puasa, antara lain : Pertama, menguatkan jiwa. Dalam hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya. Lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu dan merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi (mengendalikan) hawa nafsu. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari Allah SWT. sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Firman Allah : ”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhanya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya”. (QS. 45 : 23).
Dengan ibadah puasa, manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, sehingga memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah SWT., sabda Nabi SAW. ada tiga golongan yang tidak ditolak do’a mereka yaitu : orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizhalimi. (Tirmidzi).
Kedua, Mendidik kemauan. Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar.
Karena itu Rasulullah SAW. menyatakan : puasa itu setengah dari kesabaran. Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.
Ketiga, menyehatkan badan. Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan Rasulullah SAW., tetapi juga dibuktikan oleh para dokter atau ahli kesehatan. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.
Keempat, mengenal nilai kenikmatan. Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada mnusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya.
Maka dengan puasa, kita disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperoleh. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah mesikipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil.
Rasa syukur memang membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka se-sungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS 14 :7)
Kelima, mengingat dan merasakan penderitaan orang lain. Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya. Allah berfirman : ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (QS 9 : 103).

 Zakat Fithrah

Dalil yang menganjurkan menunaikan zakat fithrah adalah : ”Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan ia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat”. (Al A’la : 14 – 15).
Dari Ibnu Abbas ra. berkata : ”Nabi SAW. telah mewajibkan zakat fithrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fithrah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat ’Id (hari Raya)”. (Muttafaqun ’Alaih).
Setiap muslim wajib membayar zakat fithrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha’ (+ 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam. Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat ’Id, boleh juga sehari atau dua hari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluarkan zakat fithrah setelah hari Raya. Dari Ibnu Abbas ra. : ”Nabi SAW. telah mewajibkan zakat fithrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir misikin.
”Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat ’Id, maka zakatnya diterima, dan barangsiapa yang membayarkannya setelah shalat ’Id maka ia adalah sedekah biasa”. (Abu Dawud, Ibnu Majah)(dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari).
Zakat fithrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya. Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudri ra. yang menyatakan bahwa zakat fitrah adalah lima jenis makanan pokok. (Muttafaqun ’Alaih). Dan pendapat ini adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Rasulullah SAW. juga terdapat nilai tukar mata uang, dan seandainya dibolehkan tentu Beliau memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi Beliau tidak melakukannya.
Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar (uang) adalah madzhab Hanafi. Yang menganjurkan sesuai ajaran Nabi SAW. yang mempermudah dan bertujuan membantu atau memberikan yang bermanfaat kepada fakir miskin.
Zakat fithrah tidak boleh diberikan kecuali
hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam ’Id. Barangsiapa meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya) sebelum terbenam matahari, maka ia tidak wajib membayar zakat fithrah. Tetapi jika mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia belum terlepas dari tanggungan membayar zakat fithrah).

 Hikmah zakat Fithrah

Diantara hikmah disyari’atkannya zakat fithrah adalah : zakat fithrah merupakan zakat diri, dimana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan
nikmat-Nya.
Zakat fithrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah SWT. dan bersuka cita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila Ma’rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa’di, hlm. 37).
Diantara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas ra. diatas, yaitu zakat merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.

 Hari Raya

Hari Raya adalah saat berbahagia dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Tuhannya, yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan-Nya. Allah berfirman : ”Katakanlah : Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus : 58).
Ketika Nabi SAW. tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi SAW. bersabda : ”Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, yaitu ’Idhul Fitri dan ’Idhul Adha”. (Abu Dawud, An-Nasa’i dengan sanad Hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka cita di hari Raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Maka diperkenankan memperluas hari Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk taat kepada Allah.
Adapun yang dilakukan kebanyakan orang di saat hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan, karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari’atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Hari Raya tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari Raya adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah.
Hari Raya merupakan hari pembagian hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah hari Raya tersebut mereka mendapatkan ampunan. (Lihat Lathaa’iful Ma’arif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 255-258).

 Petunjuk Nabi di hari Raya

Pada saat hari Raya ’Idhul Fitri, Nabi SAW. mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma dengan bilangan ganjil, tiga, lima atau tujuh sebelum pergi melaksanakan shalat ’Id.
Beliau mengakhirkan shalat ’Idhul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat Fithrahnya.
Ibnu Umar sungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi SAW. tidak keluar untuk shalat ’Id kecuali setelah terbit Matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat Beliau senantiasa bertakbir.
Nabi SAW. melaksanakan shalat ’Id terlebih dahulu baru berkhutbah, dan Beliau shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama Beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar diantara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja riwayat Ibnu Mas’ud mengatakan Beliau membaca hamdalah dan memuji Allah serta membaca shalawat.
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir. Sedangkan Nabi SAW. setelah bertakbir membaca Al Fatihah dan Qaaf pada rakaat pertama serta surat Al Qomar dirakaat kedua.
Kadang-kadang Beliau membaca surat Al A’la pada rakaat pertama dan Al Ghasyiyah pada rakaat kedua. Kemudian Beliau bertakbir lalu ruku’ lanjutkan takbir 5 kali pada rakaat kedua lalu membaca Al Fatihah dan surat lain. Setelah selesai Beliau menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu Beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
Beliau selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang shalat ’Id, dan selalu mandi sebelumnya.
Nabi SAW. senantiasa memulai setiap khutbahnya dengan hamdalah dan bersabda : ”Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka ia terputus (dari berkah)”. (Ahmad dan lainnya).
Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata : ”Bahwasanya Nabi SAW. menunaikan shalat ’Id dua rakaat tanpa disertai shalat yang lainnya baik sebelum maupun sesudahnya”. (Bukhari, Muslim dan yang lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ’Id itu hanya dua rakaat, demikian pula mengisyaratkan tidak ada shalat sunnah yang lain, apalagi qobliyah dan ba’diyah. Kalaupun ada shalat tahiyyatul masjid atau dhuha itu perkara lain. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar