Minggu, 30 Agustus 2009

Menjaga Hati

H
akikat kualitas hidup manusia dimulai dari hatinya, Karena itu disebutkan bahwa hati itu adalah kekuatan inti manusia. Dia adalah sekerat daging yang mampu mengalahkan kekuatan Jasad. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “Ingatlah dalam jasad itu ada segumpal daging, jika dia baik, maka baiklah jasad seluruhnya, Jika ia rusak, maka rusaklah jasad itu seluruhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Hadist tersebut menunjukkan betapa pentingnya posisi hati dalam tubuh manusia. Dia tidak hanya sekedar daging, tetapi juga penentu aqidah, penentu budi pekerti, dan penentu segala keputusan dalam hidup kita. Kegundahan hati yang disebabkan oleh problematika hidup yang penuh dengan konplik, persoalan dan tantangan, bisa menyebabkan hati kehilangan cahayanya. Ketika ini terjadi, maka besar kemungkinan kita akan menjadi gagal melampaui ujian hidup.
Ketahuilah, ada hati yang hidup dan ada pula hati yang mati. Tanda-tanda hati yang hidup adalah bersinarnya cahaya akal, sehingga dada menjadi lapang dan gelora nafsu menjadi padam, tunduk, dan lemah, karena pengaruh hawa nafsunya tidak berfungsi lagi. Sebab, jika akal kuat, hawanya menjadi lemah. Rasulullah SAW. bersabda “Setelah menciptakan akal, Allah berfirman kepadanya, ‘Menghadaplah!, Akal menghadap. Allah berfirman lagi kepadanya, Berpalinglah!, Akal berpaling. Kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Diamlah!, Akalpun diam. Setelah itu Allah berfirman, ‘Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan satu ciptaan pun yang lebih kucintai darimu. Dan Aku pasti akan meletakkanmu pada diri makhluk yang paling Kucintai. Denganmu Aku mengambil dan denganmu Aku memberi.’ Setelah itu Allah menciptakan kebodohan, dan berfirman kepadanya, ‘Menghadaplah!’ Ia berpaling. Allah berfirman kepadanya, ‘Berpalinglah’ Ia menghadap. Allah berfirman kepadanya, ‘Diamlah!’ Ia tidak mau diam. Allah kemudian berfirman, ‘Demi keagungan dan KebesaranKu, tidak kuciptakan suatu ciptaan pun yang lebih Kubenci darimu, dan Aku pasti akan meletakkanmu pada makhluk yang paling Kubenci.”
Ketahuilah, hati ini seperti rumah, jika dihuni akan tampak hidup, dan jika tidak, akan rusak karena tak akan terawat dengan baik. Dzikir dan ketaatan merupakan penghuni hati, sedangkan kelalaian dan maksiat adalah perusak hati. Barang siapa lebih banyak berdzikir dan melakukan ketaatan, akan semakin hidup hatinya. Dan barang siapa lalai dan sedikit zikirnya akan mati dengan sendirinya.
Adapun hamba yang hatinya hidup, kita akan melihatnya dicintai masyarakat, berada dalam kesenangan, tenang hatinya, baik perbuatannya, dan berwibawa penampilannya karena cahaya Allah yang memancar dari tubuhnya. Dengan hanya melihat hamba tersebut, jiwa merasakan kenikmatan, Allah SWT. berfirman artinya : “Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (AQ.Al-Hadid 21)
Adapun orang yang hatinya mati, kita akan melihatnya murung, perbuatannya buruk, tidak pernah merasakan ketergantungan dalam keadaan apapun, diliputi kesedihan dan kebencian, tunduk pada nafsu sehingga orang itu menjadi buta dan tidak dapat melihat aib-aibnya. Keadaan ini membuat hati menjadi bingung dan tidak tenang.
Kematian hati, kadang kala diakibatkan oleh sebab-sebab pembawaan, dan kadang-kadang oleh sebab-sebab yang lain yang menyelimuti kehidupan manusia. Adapun hati yang mati karena sebab pembawaan adalah hati yang keras, tidak kan khusyu’, tidak memiliki rasa kasih sayang. Manusia yang berhati seperti ini memiliki fitrah yang buruk, tidak mempunyai kesenangan batin, menyukai keramaian, tidak suka menyendiri, gemar omong kosong dan suka melakukan perbuatan yang sia-sia. Dari itu kita perlu menjaga hati dan nurani, dari berbagai bisikan buruk dan fikiran yang tidak baik. Hati seorang penuh hikmah adalah gudang harta dan sandaran dirinya, setiap kali terlintas dalam fikiran-fikiran buruk, segera dihilangkan dan dialihkan ketempat yang lain dan bermanfaat.
Bisikan yang terbetik dalam hati, sangat beragam, jika tidak segera dihapus, bisikan itu akan melekat kuat dan melahirkan hal-hal yang membahayakan, seperti amarah dan syahwat.
Membersihakan hati dari bisikan dan fikiran yang tidak bermanfaat, harus kita jaga seperti kita menjaga lisan kita, dari ucapan yang tidak pantas untuk diucapkan.
Karena liku-liku kehidupan yang kita lalui adalah semu. Goresan liku kehidupan yang menempel di dalam hati, bisa menyebabkan kehilangan kalbu, Jika hati menjadi gelap, tidak mungkin dapat memancarkan cahayanya, Sinar keimanan tidak dapat menembusnya, Indra keenam akan menjadi tumpul.
Agar hati dan Indra keenam dapat bercahaya, dan dapat mengenal keajaiban-keajaiban Allah. Maka yang harus diperhatikan adalah goresan tentang dunia yang dipandang oleh mata yang kemudian menempel di dalam hati haruslah disingkirkan. Hal itu merupakan belenggu nafsu. Selama nafsu membelenggu hati, maka jangan diharapkan dapat sampai kepada Allah. Orang yang mengharapkan ilmu dari Allah, yang mana dengan ilmu itu dapat menyingkap segala hal yang gaib, haruslah bertaubat dan bertaqwa. Orang yang bertaqwa tidak mungkin melakukan perbuatan buruk dan rendah. Karena taqwa dan perbuatan buruk (maksiat) merupakan dua hal yang bertolak belakang. Maka, mustahil dua hal itu dapat bertemu.
Oleh karena itu, janganlah kita menuruti keinginan-keinginan yang melantur tinggi selangit. Keinginan yang bermuara kepada penguasaan harta benda, kenikmatan dan jabatan duniawi. Jika kita mengumbar keinginan yang sejatinya memiliki nilai rendah itu, maka tak mungkin dapat menggunakan indra keenam yang untuk menyingkap perkara ghaib.
Nafsu memang karunia Allah yang diberikan kepada makhluk yang bernama manusia, tetapi kita harus menjaga sang nafsu dan mengendalikannya, agar tidak terbebaskan dengan begitu saja.
Jika diumpamakan, nafsu itu seperti kuda tunggangan yang liar, yang harus dipegang terus talinya oleh si joki atau diri kita sendiri itulah yang akan diminta pertanggung jawaban kelak dihari kiamat nanti. Ingatlah kita harus menjaga hati kita, tidak mengumbar syahwat terhadap harta, maka kita akan diperbudaknya. Semakin lama makin menggiurkan, sekaligus membutakan mata hati kita, tujuan hidup kita, mungkin akan membelok kepada mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Padahal sebelumnya hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup sekeluarga. Akan tetapi, setelah semua itu terpenuhi, tiba-tiba saja kita ingin mengumpulkan lebih banyak, dan lebih besar lagi.
Jika seseorang merasakan dalam dirinya terdapat ajakan untuk melakukan ketaatan dan seruan untuk membenci kemaksiatan, maka hatinya memiliki cahaya. Cahaya ini akan membimbingnya. Ia bagaikan lampu yang menyala dalam rumah yang gelap. Seandainya tidak ada lampu, maka benda yang paling dekat dengannya ia tak akan mampu melihatnya. Jika cahaya hati tersebut telah bersinar kuat dihati, maka sinarnya akan menjalar hingga ke anggota tubuh.
Dikisahkan bahwa suatu hari seorang ahli bekam mengundang sejumlah orang saleh untuk menyantap hidangan. Dan tanpa sepengetahuan mereka, hidangan yang disajikan ternyata haram. Kendati telah berulang kali berusaha, ternyata mereka tidak dapat menjulurkan tangannya, untuk menikmati hidangan tersebut. Akhirnya mereka meninggalkan rumah ahli bekam itu tanpa memakan apapun.
Demikianlah, hati yang terjaga dan terpelihara, dan bercahaya dan cahayanya dapat menerangi kehidupan.
“Barang siapa yang tidak merasa cukup dengan sedikit harta yang dia miliki, maka harta yang banyakpun tidak akan pernah membuatnya puas. Barang siapa tidak mengamalkan sedikit ilmu yang dia miliki maka ketika memiliki ilmu yang banyak pun dia tidak akan mengamalkannya”
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar