Minggu, 30 Agustus 2009

Klasifikasi Anak Menurut Pandangan Islam

”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kendaraan pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (pertanian/perkebunan). Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (Surga)”. (Al Imran : 14)


K
ehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan pelengkap ”elemen” sebuah rumah tangga, karena hadirnya buah hati tersebut akan dapat mempengaruhi status sosial sebuah keluarga di tengah masyarakat. Disamping itu dengan kehadiran anak dapat lebih mempererat ikatan perkawinan pasangan suami istri.
Sering kita dengar pasangan suami istri yang selalu gelisah setelah sekian lama menikah belum juga dikarunia seorang anak, sehingga tak segan-segan dengan berbagai cara ditempuh baik melalui perantara dokter, obat bahkan seorang dukun-pun didatangi guna mendapat pertolongannya.
Kenyataan ditengah masyarakat ternyata tidak semua anak yang terlahir dapat memberikan kebahagiaan terhadap orang tua, hal ini disebabkan perilaku serta sikap anak tersebut yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bahkan agama. Kondisi seperti ini tidak dapat sepenuhnya kita menyalahkan anak, mungkin kita sendiri yang membuat suatu kondisi sehingga terbentuk jiwa dan perilaku anak yang kurang beradab.
Pada awalnya seorang anak yang lahir kedunia ini sudah ditakdirkan dalam kondisi ”fitrah” suci dan bersih, namun kondisi lingkungan yang berada di sekelilingnya-lah yang akan mempengaruhi karakter anak. Keadaan lingkungan dapat mencakup lingkungan keluarga (kondisi keluarga), lingkungan tempat tinggal (masyarakat) maupun lingkungan pendidikan.
Sebuah mafhum hadits menyatakan, ”Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka orang tuanya-lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi dan Majudsi”.
Output setiap anak yang berbeda-beda tersebut seperti yang telah disebutkan hadits diatas, ternyata berasal dari pendidikan dan asuhan orang tua, yang tentu saja sangat menentukan karakter dan keberadaan anak itu sendiri. Apakah dijadikan hamba Allah atau justru anak yang ingkar terhadap Allah.
Berdasarkan Al Qur’an, maka keberadaan anak didalam keluarga maupun masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Qurrota a’yun (penyejuk mata hati)

”Dan orang-orang yang berkata, ”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah bagi kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Furqon : 74)

Pada tingkatan ini, posisi anak dapat ada dirinya terbentuk dari tiga struktur utama yaitu menjadi penyejuk mata hati, baik bagi orang tua, masyarakat dan mendapat ridho dari Allah SWT.
Pada dirinya terbentuk dari tiga struktur utama yaitu : pertama, fisik yang sehat serta struktur jasmani yang kuat ; kedua, otak serta pola fikirnya tidak hanya diisi dengan teori-teori ilmu keduniaan (ilmu matematika, kedokteran, sosial dan lain-lain), tetapi juga dipenuhi dengan ilmu keakheratan (ilmu tentang dosa, pahala, adanya Surga dan Neraka serta hal yang ghaib) ; ketiga, qolbunya atau jiwanya dipenuhi dengan ketauhid-an, ketaqwaan serta akhlak yang terpuji.

2. Ziinatul hayatiddunya (perhiasan dunia)

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhan serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Al Kahfi : 46)

Pada tingkatan ini posisi anak hanya menjadi suatu kebanggaan kehidupan didunia saja dan tidak tergolong dalam kategori anak yang shaleh, pada dirinya terbentuk struktur fisik yang kuat seperti pada tingkatan pertama tetapi kondisi otak serta qolbunya hanya berisi dan berfikir tentang kehidupan dunia tanpa memikirkan dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akherat. Sepintas orang awam menilai dia berhasil, padahal tergolong orang yang merugi.

3. Adduulakum (musuh-musuhmu)

”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At Taghabun : 14)

Pada tingkatan ketiga ini, posisi anak justru dapat menjadi musuh bagi orang tua maupun masyarakat dalam kehidupan dunia lebih-lebih kehidupan akherat. Pada dirinya terbentuk fisik yang sehat tetapi qolbunya hanya cenderung berfikir tentang dirinya sendiri. Apa yang menurutnya baik itulah yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.

Golongan anak pada tingkatan ini sangat membahayakan, sebab selalu menempatkan harga dirinya terlalu mahal, sehingga dalam fikirannya hanya dia sendiri yang benar tanpa mau mendengar nasehat maupun teguran dari pihak lain. Bahkan menutup kemungkinan justru kita yang akan terbawa arusnya yang selalu mengajak kearah perbuatan yang meresahkan dan mengarah kepada murka Allah SWT.

Selaku orang tua selayaknya berharap untuk mendapat anak dengan kategori ”qurrota a’yun” sehingga selain menjadi pelengkap isi keluarga juga mampu mengajak dan membimbing orang tua menuju jalan ke Surga. Untuk mendapatkan tingkatan anak tersebut sangat perlu dan harus mengarahkan dan membimbing anak sedini mungkin dengan pendidikan yang berbasis agama tanpa melupakan pendidikan umum.
”Pemberian terbaik seorang ayah kepada anaknya adalah pendidikan dan adab yang baik”, demikian sabda Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar